Cinta itu indah. Tapi lebih indah lagi jika cinta itu membawa kita semakin dekat kepada Allah, bukan sebaliknya. Ini adalah kisahku, tentang cinta, hijrah, dan pilihan yang tidak mudah. Sebuah kisah yang mungkin bisa menjadi cermin untukmu, wahai saudariku yang sedang mencari cinta sejati.
Awal yang Manis: Cinta pada Sosok Sang Ustadz
Dulu, aku percaya bahwa aku sudah menemukan pangeranku. Seorang ustadz muda yang shalih, cerdas, dan menawan. Ia sering mengisi pengajian di berbagai kota. Bahkan banyak yang mengidolakannya, dari ibu-ibu hingga remaja putri. Aku bangga sekaligus cemburu, tapi tetap percaya bahwa dia lah lelaki yang akan menuntunku ke surga.
Kami dekat, saling memberi nasihat, mengingatkan dalam ibadah, saling mendoakan. Kami menyebutnya "taaruf". Tapi benarkah itu taaruf? Atau hanya bungkus indah dari hubungan yang belum halal?
Persimpangan Hati: Antara Cinta dan Tunduk pada Aturan-Nya
Aku ingin menjadi ustadzah, tapi masih merasa jauh dari kata layak. Aku pun masuk universitas berbasis Islam di kota sendiri, meski harus tinggal di kos karena jarak rumah yang jauh. Di kampus, aku aktif dalam UKM kerohanian. Kajian rutin setiap Minggu menjadi momen yang aku tunggu.
Hingga suatu hari, tema kajian adalah "Cinta dalam Pandangan Islam". Ustadzah yang mengisi kajian menjelaskan bahwa cinta sejati adalah cinta kepada Allah, dan cinta manusia tanpa ikatan halal bisa menjadi sumber dosa dan fitnah.
"Tak ada istilah pacaran Islami. Karena cinta sejati harus dibingkai dalam syariat, bukan hanya niat." — Kajian Tentang Cinta
Aku seperti tersadar dari mimpi panjang. Selama ini aku merasa tidak salah karena tidak pacaran seperti anak muda kebanyakan. Tapi faktanya, aku tetap sering memikirkannya, merindukannya, bahkan mengkhawatirkannya. Bukankah itu juga bentuk cinta yang belum halal?
Keputusan Terbesar: Mengakhiri Demi Hijrah
Aku memutuskan untuk menghentikan hubungan kami. Meski awalnya dia tidak terima, bahkan merasa dituduh, akhirnya aku memilih diam dan menjauh. Aku mulai fokus pada ilmu dan perbaikan diri. Hingga akhirnya kudengar kabar bahwa dia akan menikah dengan orang lain. Hatiku hancur. Tapi aku sadar: dia bukan jodohku.
"Jika dia memang jodohmu, Allah pasti akan mempersatukanmu dalam waktu dan cara yang terbaik." — Doa dalam Penantian
Pelajaran Berharga: Jodoh Adalah Cerminan Diri
Kini aku sadar, terlalu banyak waktu yang kusia-siakan untuk memikirkan seseorang yang bahkan tidak pasti menjadi milikku. Aku menyia-nyiakan hati, tenaga, dan pikiran untuk seseorang yang Allah tidak takdirkan untukku.
“Wanita yang baik untuk lelaki yang baik, begitu pula sebaliknya.” (QS. An-Nur: 26)
Alih-alih berandai-andai tentang cinta, aku memilih sibuk menuntut ilmu. Karena ilmu adalah cahaya, dan hanya dengan ilmu kita bisa mengenal cinta yang hakiki — cinta kepada Allah.
Menjemput Masa Depan dengan Cahaya Hijrah
Sekarang, aku memilih jalan hijrah. Bukan hanya berhenti pacaran, tapi memperbaiki niat dan arah hidup. Aku ingin menjadi wanita yang pantas bagi lelaki shalih — dan itu hanya bisa diraih dengan memantaskan diri, bukan dengan mencari.
"Sibukkan diri dengan ilmu, dakwah, dan amal shalih. Karena jodoh akan datang saat engkau benar-benar siap menerimanya."
Penutup:
Jangan takut kehilangan cinta manusia demi meraih cinta Allah. Karena ketika Allah sudah mencintaimu, maka dunia dan isinya pun akan ikut mencintaimu. Jangan salah langkah dalam cinta, karena cinta yang salah hanya akan menyisakan luka.
Ingin belajar lebih banyak tentang Islam dan cinta yang benar? Kunjungi Kajian Cinta Islami di Medan Dakwah
Posting Komentar