Arikel ini adalah sambungan dari Artikel pertama yang berjudul : Siapakah Sahabat Rosulullah?
Silahakan di baca hingga tuntas :
BERPEDOMAN KEPADA SAHABAT, ADALAH JAMINAN KEMENANGAN
Dalam hadits riwayat Muslim, no 2523 dari jalur Abu Zubair, dari Jabir, dari Abu Sa’id Al Khudri Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
يَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ يُبْعَثُ مِنْهُمُ الْبَعْثُ فَيَقُولُونَ انْظُرُوا هَلْ تَجِدُونَ فِيكُمْ أَحَدًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيُوجَدُ الرَّجُلُ فَيُفْتَحُ لَهُمْ بِهِ ثُمَّ يُبْعَثُ الْبَعْثُ الثَّانِي فَيَقُولُونَ هَلْ فِيهِمْ مَنْ رَأَى أَصْحَابَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيُفْتَحُ لَهُمْ بِهِ ثُمَّ يُبْعَثُ الْبَعْثُ الثَّالِثُ فَيُقَالُ انْظُرُوا هَلْ تَرَوْنَ فِيهِمْ مَنْ رَأَى مَنْ رَأَى أَصْحَابَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ يَكُونُ الْبَعْثُ الرَّابِعُ فَيُقَالُ انْظُرُوا هَلْ تَرَوْنَ فِيهِمْ أَحَدًا رَأَى مَنْ رَأَى أَحَدًا رَأَى أَصْحَابَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيُوجَدُ الرَّجُلُ فَيُفْتَحُ لَهُمْ بِهِ
🍀“Akan datang suatu masa, yang saat itu ada satu pasukan dikirim (untuk berperang)”. Mereka mengatakan: “Coba lihat, adakah di antara kalian seorang sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ?” Ternyata ada satu orang sahabat Nabi. Maka karenanya, Allah memenangkan mereka. Kemudian dikirim pasukan kedua. Dikatakan kepada mereka: “Adakah di antara mereka yang pernah melihat sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam?” Maka karenanya, Allah memenangkan mereka. Lalu dikirim pasukan ketiga. Dikatakan: “Coba lihat, apakah ada di antara mereka yang pernah melihat seorang yang pernah melihat sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ?” Maka didapatkan satu orang. Maka Allah memenangkan mereka. Kemudian dikirim pasukan keempat. Dikatakan: “Coba lihat, apakah ada di antara mereka yang pernah melihat seorang yang pernah seseorang yang melihat sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ?” Maka didapatkan satu orang. Akhirnya Allah memenangkan mereka
Hadits ini menjelaskan kepada kita, betapa mulia kedudukan sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang yang mengikuti mereka. Allah memberi jaminan kemenangan bagi para sahabat dan orang-orang yang mengikuti sahabat. Tentu saja, yang dimaksud dalam hadits bukan hanya sekadar melihat dengan mata kepala saja, namun maksudnya ialah mengikuti pedoman mereka. Sebagaimana yang telah disebutkan tentang definisi sahabat Radhiyallahu ‘anhum.
✅SIAPAKAH YANG DIMAKSUD SAHABAT NABI SHALLALLAHU ALAIAHI WA SALLAM ?
☑️Sahabat adalah, siapa saja yang melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, atau bertemu dengan beliau walau hanya sesaat lalu beriman kepada beliau dan ia mati di atas keimanan.
Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahih-nya (249) dari hadits Al ‘Ala` bin Abdirrahman, dari ayahnya, dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melewati sebuah pekuburan. Lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
فَقَالَ السَّلَامُ عَلَيْكُمْ دَارَ قَوْمٍ مُؤْمِنِينَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللَّهُ بِكُمْ لَاحِقُونَ وَدِدْتُ أَنَّا قَدْ رَأَيْنَا إِخْوَانَنَا قَالُوا أَوَلَسْنَا إِخْوَانَكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ أَنْتُمْ أَصْحَابِي وَإِخْوَانُنَا الَّذِينَ لَمْ يَأْتُوا بَعْدُ
“Salam kesejahteraan atas kalian, wahai penghuni perkampungan kaum Mukminin. Dan aku Insya Allah akan menyusul kalian. Sungguh aku sangat merindukan untuk bertemu dengan saudara-saudara kita”. Para sahabatpun bertanya,”Bukankah kami ini saudara-saudaramu?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,”Kalian adalah para sahabatku, sedangkan saudara-saudara kita adalah mereka yang datang kemudian”.
☑️Hadits ini menunjukkan, bahwa yang dimaksud sahabat ialah, orang yang bertemu dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta beriman kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan yang datang sesudahnya ialah, saudara-saudara beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun orang yang bertemu dan beriman kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, (ia) dinamakan sahabat, baik pertemuan itu dalam waktu yang lama maupun sebentar.
Adapun dalil yang menunjukan bahwa orang yang bertemu dan beriman kepada Rasulullah serta mati di atas keimanan disebut sebagai sahabat ialah, sebuah hadits riwayat Ibnu Abi Syaibah (12/178) dari Zaid Ibnu Hibban, dari Abdullah bin Al ‘Ala’ bin ‘Amir, dari Watsilah bin Al Asqa’, dia berkata, Rasulullah n bersabda:
🍀“Kalian akan tetap berada dalam kebaikan selama di tengah-tengah kalian terdapat orang yang melihat dan menyertaiku. Demi Allah, kalian akan tetap berada dalam kebaikan, selama di tengah-tengah kalian terdapat seorang yang melihat orang yang melihatku, dan menyertai orang yang menyertaiku”.
Di antaranya ialah hadits yang diriwayatkan Ya’qub bin Sufyan, di dalam At Tarikh (2/351), dari Adam, dari Baqiyah bin Al Walid, dari Muhammad bin Abdirrahman Al Yahshabi, bahwa ia mendengar Abdullah bin Basar berkata, Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
طُوْبَى لِمَنْ رَآنِي وَ طُوْبَى لِمَنْ آمَنَ بِي وَلمَ يَرَنِي وَ طُوْبَى لَهُ وَ حُسْنَ مَآبٍ
🍀“Sungguh beruntung orang yang melihatku, dan sungguh beruntung orang yang beriman kepadaku, sedangkan ia belum pernah melihatku. Sungguh baginya keberuntungan dan balasan yang baik”. [Hadits ini juga dikeluarkan oleh Ibnu Abi ‘Ashim di dalam As Sunnah, 1527, dari Ya’qub].
Ibnu Faris, seorang pakar bahasa, ia menjelaskan di dalam Mu’jamu Maqayisil Lughah (III/335) dalam pasal Sha-ha-ba: “Menunjukkan penyertaan sesuatu dan kedekatannya dengan sahabat yang disertainya itu. Bentuk jamaknya adalah shuhab, sebagaimana kata raakib bentuk jamaknya rukab. Sama seperti kalimat ‘ashhaba fulan’, artinya menjadi tunduk. Dan kalimat “ashahbar rajulu”, artinya, jika anaknya telah berusia baligh. Dan segala sesuatu yang menyertai sesuatu, maka boleh dikatakan telah menjadi sahabatnya”.
Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan di dalam Majmu’ Fatawa (IV/464): “Shuhbah adalah istilah yang digunakan untuk orang-orang yang menyertai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam jangka waktu yang lama maupun singkat. Akan tetapi, kedudukan setiap sahabat ditentukan oleh jangka waktu ia menyertai Rasulullah. Ada yang menyertai beliau setahun, sebulan, sehari, sesaat, atau melihat beliau sekilas lalu (ia) beriman kepada beliau. Derajat masing-masing ditentukan menurut jangka waktunya menyertai Rasulullah”.
Abu Hamid Al Ghazali berkata di dalam kitabnya, Al Mustashfa (1/165):
☑️“Siapakah sahabat itu? Sahabat ialah, siapa saja yang hidup bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, atau pernah berjumpa dengan beliau sekali, atau pernah menyertai beliau dalam waktu sebentar maupun lama. Lalu berapa batasan waktunya? Predikat sahabat dinisbatkan kepada siapa saja yang menyertai Rasulullah. Cukuplah disebut sahabat, meski ia hanya menyertai beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam waktu sebentar saja. Namun secara urf (kesepakatan umum) (ialah), mengkhususkannya bagi orang yang menyertai beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam waktu lama”.
✅LARANGAN MENCELA SAHABAT NABI
Imam Muslim meriwayatkan dari hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu , dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لَا تَسُبُّوا أَصْحَابِي لَا تَسُبُّوا أَصْحَابِي فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا أَدْرَكَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلَا نَصِيفَهُ
🍀“Janganlah mencela sahabatku! Janganlah mencela sahabatku! Demi Allah yang jiwaku berada di tanganNya, meskipun kalian menginfaqkan emas sebesar gunung Uhud, niscaya tidak akan dapat menyamai satu mud sedekah mereka, tidak juga separuhnya”*[5].
Hadits ini secara jelas melarang kita mencela sahabat Nabi. Larangan dalam hadits di atas hukumnya adalah haram. Yakni haram hukumnya mencela sahabat Nabi. Termasuk di dalamnya, yaitu semua bentuk celaan dan sindiran negatif yang ditujukan kepada mereka, atau salah seorang dari mereka. Sebab, mencela sahabat Nabi, berarti telah menyakiti Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Imam Ahmad meriwayatkan dalam Al Fadha-il (19), dari jalur Waki`, dari Ja’far -yakni Ibnu Burqan- dari Maimun bin Mihran, ia berkata:
☑️“Ada tiga perkara yang harus dijauhi. (Yaitu): mencela sahabat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, meramal lewat bintang-bintang, dan mempersoalkan takdir”.*
Imam Ahmad juga menulis surat kepada Abdus bin Malik tentang Ushul Sunnah. Beliau berkata di dalam suratnya: ☑️“Termasuk Ushul, (yaitu) barangsiapa melecehkan salah seorang sahabat Nabi, atau membencinya karena kesalahan yang dibuat, atau menyebutkan kejelekannya, maka ia termasuk mubtadi`, hingga ia mendoakan kebaikan dan rahmat bagi seluruh sahabat, dan hatinya tulus mencintai mereka”*[6].
Imam Ahmad meriwayatkan di dalam kitab Al Fadha-il, dari jalur Waki`, dari Sufyan, dari Nusair bin Za’luq, ia berkata, Saya mendengar Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma berkata:
🍀“Janganlah kalian mencela sahabat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sungguh, kedudukan mereka sesaat bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (itu) lebih baik daripada amal ibadah kalian sepanjang umurnya!”[7]
Bersambung
Posting Komentar