Artikel ini lanjutan dari Artikel Sebelumnya Berjudul : Siapakah Sabat Rosulullah Sebenarnya ?
SIKAP AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH TERHADAP PERSELISIHAN YANG TERJADI DI ANTARA SAHABAT
Banyak kita temui perkataan ahli ilmu yang berisi perintah untuk tidak mempersoalkan pertikaian yang terjadi di antara sahabat Nabi Radhiyallahu anhum. Bahkan telah disebutkan adanya ijma’ dalam masalah ini.
Abdurrahman bin Abi Hatim berkata,”Aku pernah bertanya kepada ayahku dan Abu Zur’ah tentang madzhab Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dan para alim ulama yang pernah ditemui oleh keduanya di berbagai belahan dunia, seperti di Hijaz, Iraq, Mesir, Syam dan Yaman, dalam
menyikapi para sahabat. Madzhab mereka ialah, mendoakan kebaikan dan rahmat atas segenap sahabat Muhammad, atas segenap keluarga beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta menahan diri dari memperdebatkan pertikaian di antara mereka.” Demikian pula dinyatakan oleh Imam Al Lalikai dalam Syarah Ushul I’tiqad (321) dan Abul ‘Ala Al Hamdani dalam bukunya yang berisi penyebutan aqidah Ahlus Sunnah dan celaan terhadap perpecahan di halaman 90-91.
Dalilnya ialah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
🍀“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: “Ya, Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang”. [Al Hasyr/59 : 10].
Juga sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Janganlah engkau mencela sahabatku …Abdurrazzaq meriwayatkan di dalam kitab Al Amali (51), dari jalur Ma’mar, dari Ibnu Thawus, dari Thawus, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا ذًُكِرَ أصحابي فَأَمْسِكُوْا و إِذَا ذًُكِرَ القَدَرُ فَأَمْسِكُوْا و إِذَا ذًُكِرَ النُّجُوْمُ فَأَمْسِكُوْا
“Jika sahabatku diperbincangkan, maka tahanlah diri. Jika masalah takdir dipersoalkan, maka tahanlah diri. Jika ramalan bintang-bintang dibicarakan, maka tahanlah diri”.
Makna “jika sahabatku diperbincangkan, maka tahanlah diri …”,
☑️menurut para ulama ialah tidak mengomentari mereka dengan penilaian miring dan negatif. Maksudnya, bukan larangan menceritakan apa yang terjadi, misalnya peperangan Shiffin atau Jamal. Sebab, perkara tersebut memang telah diberitakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian perkara itu merupakan catatan sejarah. Oleh sebab itulah, para ulama menyebutkannya dan menulisnya di dalam kitab-kitab sejarah dan lainnya, bahkan telah dikarang buku khusus yang membicarakan permasalahan tersebut. Begitu pula Ibnu Jarir, Ibnu Katsir dan Ibnu Hajar serta para alim ulama lainnya menceritakan panjang lebar kisah tersebut. Akan tetapi mereka tidak menghujat atau mencela para sahabat, wallahu ta’ala a’lam.
☑️Ibnu Baththah rahimahullah berkata -berkaitan dengan larangan mencampuri pertikaian besar di antara sahabat-:
☑️“Kemudian setelah itu kita harus menahan diri dari pertikaian yang terjadi di antara sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebab, mereka telah melalui berbagai peristiwa bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan telah mendahului yang lainnya dalam hal keutamaan. Allah telah mengampuni mereka dan memerintahkan agar memintakan ampunan untuk mereka, dan mendekatkan diri kepadaNya dengan mencintai mereka. Semua itu Allah wajibkan melalui lisan RasulNya. Allah Maha Mengetahui apa yang bakal terjadi, bahwasanya mereka akan saling berperang. Mereka memperoleh keutamaan daripada yang lainnya, karena segala kesalahan dan kesengajaan mereka telah dimaafkan. Semua pertikaian yang terjadi di antara mereka telah diampuni. Janganlah melihat komentar-komentar tentang peperangan Shiffin, Jamal, peristiwa di kediaman Bani Sa’idah dan pertikaian-pertikaian lain yang terjadi di antara mereka. Janganlah engkau tulis untuk dirimu, atau untuk orang lain. Janganlah engkau riwayatkan dari seorangpun, dan jangan pula membacakannya kepada orang lain. Dan jangan pula mendengarkannya dari orang yang meriwayatkannya.*
☑️Itulah perkara yang disepakati para ulama umat ini. Mereka sepakat melarang perkara yang kami sebutkan tersebut. Di antara ulama tersebut ialah: Hammad bin Zaid, Yunus bin Ubaid, Sufyan Ats Tsauri, Sufyan bin Uyainah, Abdullah bin Idris, Malik bin Anas, Ibnu Abi Dzi’b, Ibnul Munkadir, Ibnul Mubarak, Syu’aib bin Harb, Abu Ishaq Al Fazari, Yusuf bin Asbath, Ahmad bin Hambal, Bisyr bin Al Harits dan Abdul Wahhab Al Warraq; mereka semua sepakat melarang perkara tersebut, melarang melihat dan mendengar komentar tentang pertikaian tersebut. Bahkan mereka memperingatkan orang yang membahas dan berupaya mengumpulkannya. Banyak perkataan-perkataan yang diriwayatkan dari mereka, yang ditujukan kepada orang-orang yang melakukannya, dengan lafazh bermacam-macam, namun maknanya senada. Intinya, (mereka) membenci dan mengingkari orang yang meriwayatkan dan mendengarnya”* [8].
Apabila Umar bin Abdul Aziz ditanya tentang peperangan Shiffin dan Jamal, beliau berkata: “Urusan yang Allah telah mengeluarkan tanganku darinya, maka aku tidak akan mencampurinya dengan lisanku!”[9].
Al Khallal meriwayatkan dari jalur Abu Bakar Al Marrudzi, ia berkata: “Ada yang berkata kepada Abu Abdillah. Ketika itu kami berada di tengah pasukan. Dan kala itu datang pula seorang utusan Khalifah, yakni Ya’qub, ia berkata,’Wahai Abu Abdillah. Apa pendapat Anda tentang pertikaian yang terjadi antara Ali dan Mu’awwiyah?’ Abu Abdillah menjawab,’Aku tidak mengatakan kecuali yang baik. Semoga Allah merahmati mereka semua’”[10].
☑️Imam Ahmad menulis surat kepada Musaddad bin Musarhad. Isinya surat tersebut: “Menahan diri dari memperbincangkan kejelekan sahabat. Bicarakanlah keutamaan mereka, dan tahanlah diri dari membicarakan pertikaian di antara mereka. Janganlah berkonsultasi dengan seorangpun (dari) ahli bid’ah dalam masalah agama, dan janganlah menyertakannya dalam perjalananmu”*[11].
☑️Abu ‘Utsman Ismail bin Abdurrahman Ash Shabuni rahimahullah menyatakan di dalam Aqidah Salaf Ashhabul Hadits: “Ahlu Sunnah berpendapat, wajib menahan diri dari mencampuri pertikaian di antara sahabat Rasul. (Yakni) menahan lisan dari perkataan yang mengandung celaan dan pelecehan terhadap para sahabat”.
✅PERKATAAN ULAMA BERKAITAN DENGAN ORANG YANG MENCELA SAHABAT ATAU BERKOMENTAR MIRING TERHADAP SALAH SEORANG SAHABAT
Imam Al Bukhari menulis sebuah bab dalam Shahih-nya berjudul “Bab : Larangan Mencela Orang Yang Sudah Mati”, kemudian beliau meriwayatkan sebuah hadits dari jalur Adam, dari Syu’bah, dari Al A’masy, dari Mujahid, dari ‘Aisyah Radhiyallahu anha , ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَا تَسُبُّوا الْأَمْوَاتَ فَإِنَّهُمْ قَدْ أَفْضَوْا إِلَى مَا قَدَّمُوا
🍀“Janganlah kalian mencela orang yang sudah mati. Karena mereka telah menyelesaikan amal perbuatan mereka”[12].
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
لَا تَسُبُّوا أَصْحَابِي فَلَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلَا نَصِيفَهُ
🍀“Janganlah kalian mencela sahabatku. Karena sesungguhnya, meskipun kalian menginfaqkan emas sebesar gunung Uhud, niscaya tidak akan dapat menyamai satu mud sedekah mereka, tidak juga separuhnya”.
Di dalam Shahih Al Bukhari dan Shahih Muslim, diriwayatkan dari hadits Al Bara` bin ‘Azib Radhiyallahu ‘anhu, bahwa ia mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الْأَنْصَارُ لَا يُحِبُّهُمْ إِلَّا مُؤْمِنٌ وَلَا يُبْغِضُهُمْ إِلَّا مُنَافِقٌ فَمَنْ أَحَبَّهُمْ أَحَبَّهُ اللَّهُ وَمَنْ أَبْغَضَهُمْ أَبْغَضَهُ اللَّهُ
🍀“Tidaklah mencintai kaum Anshar, kecuali seorang mukmin. Dan tidaklah membenci mereka, kecuali seorang munafik. Barangsiapa mencintai mereka, niscaya Allah mencintainya. Barangsiapa membenci mereka, niscaya Allah membencinya”*[13].
Ibnu Asakir menyebutkan, ketika dihadapkan kepada Umar, seorang Arab Badui menyerang sahabat Anshar dengan kata-kata, ☑️beliau berkata: “Sekiranya dia bukan sahabat Nabi, niscaya cukuplah aku yang menyelesaikannya. Akan tetapi, ia masih termasuk sahabat Nabi”* [14].
Imam Al Lalikai meriwayatkan dari jalur Hambal bin Ishaq, dari Muhammad bin Ash Shalt, dari Qeis bin Ar Rabi`, dari Wa’il dari Al Bahi, ia berkata: “Pernah terjadi pertengkaran antara Ubaidullah bin Umar dengan Al Miqdam, lalu Ubaidullah mencela Al Miqdam, maka Umar berkata: ☑️“Tolong, ambilkan besi tajam, agar kupotong lisannya, sehingga tidak seorangpun sesudahnya yang berani mencela salah seorang sahabat Nabi”*[15].
Al Lalikai juga meriwayatkan dari jalur Sufyan bin Uyainah, dari Khalaf bin Hausyab, dari Sa’id bin Abdirrahman bin Abza, ia
☑️berkata: Aku bertanya kepada ayahku,”
☑️Seandainya aku membawa seseorang yang mencaci Abu Bakar, apa kira-kira yang engkau lakukan?”
☑️Beliau menjawab,”Akan kupenggal lehernya!” aku bertanya lagi: ☑️“Bagaimana jika mencaci Umar?” Jawab ayahku,”Juga akan kupenggal lehernya!”[16].
Ibnu Baththah menyebutkan, bahwa ☑️Sufyan Ats Tsauri berkata: “Janganlah engkau mencela Salafush Shalih, niscaya engkau akan masuk surga dengan selamat”.
☑️Imam Al Lalikai meriwayatkan dari jalur Ma’n bin Isa, ia berkata: Saya mendengar Malik bin Anas berkata,”Barangsiapa mencela sahabat Nabi, maka ia tidak berhak mendapat harta fa’i,* sebab Allah berfirman: (Juga) bagi para fuqara Muhajirin yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan(Nya) -QS Al Hasyr ayat 8-, mereka adalah sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berhijrah bersama Beliau. Kemudian Allah berfirman: Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin) –Al Hasyr : 9-, mereka adalah kaum Anshar. ☑️Kemudian Allah berfirman : Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyanyang.* –Al Hasyr:10. Itulah ketiga golongan yang berhak menerima fa’i. ✅Barangsiapa mencela sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ia tidak termasuk salah satu dari tiga golongan tersebut, dan ia tidak berhak menerima fa’i”* [17].
Al Khallal meriwayatkan dalam kitab As Sunnah, dari jalur Abu Bakar Al Marwadzi, ia berkata: “Saya bertanya kepada Abu Abdullah (yakni Imam Ahmad) tentang hukum orang yang mencela Abu Bakar, Umar dan ‘Aisyah Radhiyallahu anhum. Beliau berkata,’Menurut saya, ia bukan orang Islam.’ Saya juga mendengar Abu Abdillah berkata,
☑️’Imam Malik mengatakan, siapa saja yang mencela sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ia tidak mendapat bagian apapun dalam Islam*
Al Khallal juga meriwayatkan dari jalur Abdul Malik bin Abdul Hamid, ia berkata: “Saya mendengar Abu Abdillah berkata,’Barangsiapa mencela sahabat Nabi, maka aku khawatir ia jatuh ke dalam kekufuran, seperti halnya kaum Rafidhah,’ kemudian beliau berkata,Barangsiapa mencela sahabat Nabi, maka dikhawatirkan ia keluar dari agam
Al Khallal juga meriwayatkan dari Abdullah bin Ahmad bin Hambal, ia berkata: “Aku pernah bertanya kepada ayahku tentang orang yang mencela salah seorang sahabat Nabi, (dan) beliau menjawab,’Menurut saya, dia bukan orang Islam’.”
Al Khallal juga meriwayatkan dari jalur Harb bin Ismail Al Kirmani, dari Musa bin Harun bin Ziyad, bahwa ia mendengar Al Faryabi ditanya oleh seorang lelaki tentang hukum orang yang mencaci Abu Bakar. Beliau (Al Faryabi, Red) menjawab: “Kafir!” Tanyanya lagi: “Bolehkah jenazahnya dishalatkan?” Jawab beliau,”Tidak!” Aku bertanya kepadanya: “Bukankah ia telah mengucapkan La Ilaha illallah?” Beliau menjawab,”Janganlah kalian sentuh jenazahnya dengan tangan kalian, angkatlah jenazahnya dengan kayu, lalu kuburkan dalam lubang kuburnya.”
Imam Ahmad berkata dalam sebuah risalah yang diriwayatkan oleh ☑️Ahmad bin Ja’far bin Ya’qub Al Ishthakhri: “Seorangpun tidak boleh menyebutkan keburukan para sahabat, dan janganlah mencela seorangpun dari sahabat karena aib atau kekurangannya. Barangsiapa melakukan hal itu, maka wajib bagi penguasa menjatuhkan hukuman dan sanksi atasnya. Kesalahannya itu tidak boleh dimaafkan. Pelakunya harus dihukum dan diminta bertaubat. Jika ia bertaubat, maka diterimalah taubatnya. Jika tetap bertahan, maka hukuman kembali dijatuhkan atasnya, dan dipenjara seumur hidup hingga mati atau bertaubat”.
Beliau (Imam Ahmad) berkata di awal risalahnya ini: “Itulah madzab ahli ilmu, ahli atsar dan ahlu sunnah yang teguh memegangnya, di kenal dengannya, yang masalah ini telah diikuti semenjak zaman sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai sekarang ini. Saya telah bertemu dengan para ulama dari Hijaz, Syam dan daerah lainnya berada di atas madzhab tersebut” [18].
Al Qadhi` Iyadh berkata dalam Syarah Shahih Muslim [19]: “Mencela sahabat Nabi dan merendahkan mereka, atau salah seorang dari mereka, (itu) termasuk perbuatan dosa besar yang diharamkan. Nabi telah melaknat orang yang melakukannya”.
Diriwayatkan dari Ibrahim An Nakha-i, ia berkata: “Mencaci Abu Bakar dan Umar termasuk dosa besar”.
☑️Demikian pula dinyatakan oleh Abu Ishaq As Sab’i. Dan disebutkan pula hal itu oleh Ibnu Hajar Al Haitsami dalam kitab Az Zawajir, ia berkata: “Dosa besar yang ke empat ratus enam puluh empat dan empat ratus enam puluh lima ialah membenci kaum Anshar, mencaci salah seorang sahabat Nabi –radhiyallahu` anhum [20].
✅Dari uraian di atas jelaslah, betapa besar dosa mencela sahabat Nabi atau salah seorang dari mereka. Karena Rasulullah Shallal telah melarang mencela orang yang sudah mati dan melarang mencela sahabat beliau. ‘Aisyah Radhiyallahu anha juga mengabarkan, bahwa mereka telah diperintahkan untuk memohon ampunan bagi sahabat Nabi, akan tetapi, mereka justru malah mencela sahabat.*[21]
✅Begitulah kenyataannya, mereka benar-benar mencela sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Orang-orang yang mencela sahabat Nabi itu sebenarnya meniru perbuatan seorang zindiq bernama Abdullah bin Saba’. Oleh sebab itu, mereka merupakan orang yang paling mirip dengan kaum Nasrani yang mencela kaum Hawariyun, pengikut setia Nabi Isa Alaihissallam.*
Imam Al Ajurri meriwayatkan dari jalur Ahmad bin Abdullah bin Yunus, dari Ibnu Abi Dzi’b, dari ☑️Az Zuhri, ia berkata: “Belum pernah aku melihat orang yang paling mirip dengan kaum Nasrani selain pengikut Saba’iyah”. Ahmad bin Yunus berkata,”Mereka adalah kaum Syi’ah Rafidhah.” [22]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata di dalam kitab Ash Sharimul Maslul: “Sejumlah ulama dari kalangan sahabat-sahabat kami (yakni ulama madzhab Hambali) menegaskan kekafiran kaum Khawarij yang meyakini harus berlepas diri dari Ali dan Utsman, dan juga menegaskan kekafiran Rafidhah yang meyakini wajib mencaci seluruh sahabat, dan menegaskan kekafiran orang-orang yang mengkafirkan sahabat, mengatakan mereka fasik atau mencaci mereka”.
Abu Bakar Abdul Aziz berkata di dalam kitab Al Muqni’: “Adapun jika ia termasuk penganut paham Rafidhah yang mencacisahabat, maka hukumnya kafir dan tidak boleh dinikahkan (dengan wanita Ahlus Sunnah Wal Jama’ah). Sedangkan pendapat ulama lainnya, dan inilah pendapat yang didukung oleh Al Qadhi Abu Ya’la, bahwa jika ia benar-benar mencaci sahabat dan menjatuhkan martabat agama dan keshalihan mereka, maka ia kafir karena perbuatan tersebut. Namun jika ia mencacinya tanpa menjatuhkan martabat -misalnya mencaci ayah salah seorang dari mereka, atau mencacinya dengan maksud membuat marah, atau tujuan lainnya- maka ia tidaklah kafir karena hal itu”.
Itulah sikap yang harus dimiliki setiap muslim terhadap para sahabat yang mulia. Sebagaimana dimaklumi, Ahlus Sunnah Wal Jama’ah tidak mengatakan jika sahabat itu ma’shum dari dosa besar ataupun dosa kecil. Boleh jadi mereka melakukan dosa tersebut, akan tetapi mereka tetap yang paling utama, paling baik dan mempunyai kelebihan sebagai sahabat Nabi. Itulah sebabnya mereka mendapat ampunan atas kesalahan yang mereka perbuat. Bahkan mereka mendapat ampunan atas dosa dan kesalahan, yang barangkali, bila dilakukan oleh selain mereka, belum tentu diampuni. Setiap muslim wajib meyakini hal ini dan mempertahankannya. Sebab ini merupakan bagian dari ajaran agama yang diturunkan Allah.
Sebagai penutup tulisan ini, berkut adalah pernyataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah di dalam kitab Ash Sharimul Maslul: “Dalam masalah ini, kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat di antara para ahli fiqih dan ahli ilmu dari kalangan sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, serta (di kalangan) seluruh Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Mereka semua sepakat, bahwa kita wajib memuji para sahabat, memohon ampunan bagi mereka, memohon curahan rahmat bagi mereka, mendoakan mereka (dengan mengucapkan radhiyallahu`anhu), mencintai dan loyal kepada mereka, serta meyakini adanya sanksi yang berat atas orang yang berpandangan buruk tentang mereka”. Wallahul musta’an.
📚[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi Khusus 07-08/Tahun IX/1426/2005M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-7574821]_______
Footnote
[1]. HR Al Bukhari, 3651 dan Muslim, 2533.
[2]. HR Al Bukhari, 3650 dan Muslim, 2535.
[3]. HR Muslim, 2536.
[4]. Musnad Imam Ahmad, IV/126-127; Abu Dawud, 4607; At Tirmidzi, 2676; Ibnu Majah, 42; Ad Darimi, 95. Hadits ini shahih. Dinyatakan shahih oleh At Tirmidzi, Ibnu Hibban, Al Hakim, Al Bazzar, Abu Nu’aim dan Ibnu Rajab ketika mensyarah hadits ini. Tambahan yang terdapat di akhir hadits “Sesungguhnya seorang mukmin ibarat unta yang jinak, apabila di arahkan kepada kebaikan ia pasti menurut” adalah tambahan yang mungkar.
[5]. HR Muslim, 2540.
[6]. Thabaqatul Hanabilah, I/345
[7]. Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Al Fadha-il, 15 dan Al Baihaqi dalam Al I’tiqad dengan sanad shahih. Diriwayatkan juga oleh Ibnu Majah dalam Sunan-nya, 162
[8]. Al Ibanah, karangan Ibnu Baththah, hlm. 268. Bagi yang ingin penjelasan lebih lengkap, silakan lihat kitab As Sunnah, karangan Al Khallal. Beliau telah menulis sebuah bab dalam kitabnya itu tentang teguran keras terhadap orang yang menulis riwayat-riwayat yang berisi hujatan terhadap sahabat Nabi.
[9]. As Sunnah, Al Khallal 717.
[10]. As Sunnah, Al Khallal, 713.
[11]. Thabaqatul Hanabilah, I/344.
[12]. HR Al Bukhari, 1393.
[13]. HR Al Bukhari, 3783 dan Muslim, 75.
[14]. Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyqi, 59/206 dan Al Ishabah I/11, lalu ia menyebutkan sanadnya sendiri, kemudian berkata: “Perawi hadits ini tsiqah”.
[15]. Al Lalikai, 2376.
[16]. Al Lalikai, 2378.
[17]. Al Lalikai, 2400.
[18]. Thabaqatul Hanabilah, I/24.
[19]. Syarah Shahih Muslim, VII/580.
[20]. Beliau telah menulis sebuah kitab yang sarat faidah dalam masalah ini, berjudul Ash Shawaiqul Muhriqah ‘Ala Ahli Rafdh Wad Dhalal Waz Zanadiqah.
[21]. Muslim, 3022.
[20]. Al Ajurri dalam kitab Asy Syari’at, 2028 dan 2030, sanadnya shahih
Posting Komentar