Dan Sebaik-baik Privilege Adalah: Orangtua yang Shalih
Gen Saladin | @gen.saladin | t.me/gensaladin
Negeri kita sedang banyak sekali mendengar kabar duka. Banyak nian rasanya musibah yang terjadi, terlebih jika kita membaca berita tentang kezaliman yang makin menjadi-jadi. Yang di atas angkuh dan menghalalkan segala cara. Yang di bawah diinjak dan direbut hak-haknya. Belum lama ini kita pun melihat panggung warta berita mengisahkan tentang seorang anak muda yang memukul temannya. Ia ditangkap dan lagaknya masih membusungkan dada.
Ia mengira bahwa dirinya akan cepat bebas, karena ia meyakini orangtuanya yang punya relasi dan kedudukan bisa membantunya. Tapi, qadarullah, kita disuguhkan sebuah fenomena yang menggegerkan: orangtuanya yang punya kedudukan itu dicopot dari kuasanya, hartanya disita dan rekening-rekeningnya yang katanya menyimpan 500 miliar pun dibekukan. Tak butuh waktu lama, kita melihat langsung kisah sebuah keluarga yang punya segalanya, berubah menjadi kehilangan semuanya.
Di sini, kita menyadari: ada saatnya harta dan privilege bukannya menolong malah menambah beban dan menyempitkan hidup. Ada masanya kepemilikan dan kedudukan malah dicabut saat manusia sedang merasa di atas angin. Benarlah firman Allah, "...Engkau berikan kekuasaan kepada siapa pun yang Engkau kehendaki, dan Engkau cabut kekuasaan dari siapa pun yang Engkau kehendaki..." (QS Ali Imran 26)
Mudah bagi Allah meninggikan sesuatu, lalu menghempasnya ke tempat terbawah dalam sekejap mata.
Bicara tentang privilege, ada sebuah kisah dalam Al Kahfi yang akan membuatku dan kamu tertegun sesaat. Tertegun lalu menyadari bahwa seindah-indahnya privilege, ternyata ada pada orangtua yang shalih. Kamu akan menemukan kisah itu saat Nabi Musa dan Nabi Khidr melewati sebuah desa yang sama sekali asing dan penduduknya pun tak mengenal mereka berdua.
Mari kita simak bagaimana Al Kahfi membentangkan kisahnya, "Maka keduanya berjalan; hingga ketika keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka berdua meminta dijamu oleh penduduknya, tetapi mereka (penduduk negeri itu) tidak mau menjamu mereka." Saat itu Nabi Musa sedang berguru pada Nabi Khidr. Keduanya telah melewati beraneka peristiwa yang dahsyat. Terlebih bagi Nabi Musa, perjalanan itu sangat berarti bagi beliau sebab banyak ilmu yang luarbiasa.
Ketika sampai ke desa itu, dan saat penduduk desa tak peduli dengan kedatangan dua manusia mulia ini, Nabi Khidr malah mengajak Nabi Musa untuk datang ke reruntuhan sebuah rumah yang reyot dan hampir roboh.
Ayat ke-77 surat Al Kahfi menggambarkan, "kemudian keduanya mendapatkan dinding rumah yang hampir roboh", dan apakah kamu tahu apa yang selanjutnya terjadi?
Nabi Khidr memutuskan untuk memperbaiki rumah tersebut hingga ia menjadi tegak dan kokoh lagi. Bayangkan saja; di desa asing, di tengah-tengah warga yang tak peduli, beliau malah memperbaiki sebuah rumah yang nyaris roboh. Sebuah laku yang ajaib rasanya dilihat mata. Dan saat itulah Nabi Musa berkata, "Jika engkau mau, niscaya engkau dapat meminta imbalan untuk itu.”
Perjalanan Nabi Musa dan Nabi Khidr selesai saat itu juga. Di awal perjanjian, Nabi Khidr memberi syarat agar Nabi Musa tak usah berkomentar atas apa yang dilakukan Khidr. Namun itu sudah kali ketiga, dan Nabi Khidr mengakhiri perjalanan hikmahnya dalam sebuah kalimat, “Inilah perpisahan antara aku dengan engkau; aku akan memberikan penjelasan kepadamu atas perbuatan yang engkau tidak mampu sabar terhadapnya."
Saat menjelaskan alasan mengapa Nabi Khidr merenovasi rumah yang nyaris roboh itu, beliau berkata, "Dan adapun dinding rumah itu adalah milik dua anak yatim di kota itu, yang di bawahnya tersimpan harta bagi mereka berdua, dan AYAHNYA SEORANG YANG SHALIH..." (Al Kahfi 82)
Ya, keshalihan ayah menjadi "privilege" sejati yang membuat orang shalih lainnya —bahkan seorang Nabi— membantu dua anak yatim ini. Padahal, ayahnya telah tiada, namun keshalihannya menjadi magnet yang bahkan menjaga harta anak-anaknya sepeninggalnya.
Posting Komentar