Ketika sejumlah dosen dan ulama dari Indonesia diajak jalan-jalan berkunjung ke campus Standford University di Amerika Serikat, mereka tercengang melihat di ruang kelas itu tetap digunakan papan tulis biasa dengan kapur, bukan white-board, spidol dan LCD. Mereka menganggap sekolah-sekolah di Indonesia ternyata lebih maju.
Apa yang terjadi ini menunjukkan taraf berpikir saat ini dari para intelektual kita, yang terwakili sejumlah dosen dan ulama. Indikator kemajuan diukur dari fasilitas fisik yang dimiliki, bukan dari karya yang orisinil (genuine) dan kemampuan yang berkelanjutan dalam membentuk SDM. Karena itu mereka tidak melihat berapa publikasi ilmiah, paten teknologi atau pemenang hadiah Nobel sains dari Standford University itu.
Sebenarnyalah, kualitas suatu perguruan tinggi utamanya ditentukan oleh tiga hal: kualitas riset (diukur dari karya tulis ilmiah & paten), kualitas belajar-mengajar (diukur dari kompetisi calon maba, rasio alumni per mahasiswa), dan kualitas pengabdian masyarakat (diukur dari kiprah kampus dalam melayani pelbagai issu terkini, baik di pemerintahan, dunia usaha maupun khalayak ramai).
Banyak kampus yang memiliki gedung dan fasilitas megah, namun ternyata nyaris tak memiliki aktivitas riset. Hal ini karena mayoritas dosennya memiliki aktivitas utama di luar kampus, sehingga hanya hadir saat mengajar, tak ada aktivitas riset. Sementara itu dosen tetap yang sehari-hari berada di kampus, kewalahan menghadapi mahasiswa yang sangat banyak. Selain itu, dosen-dosen tetap ini juga sulit mendapatkan peringkat yang lumayan, jika mereka rata-rata cuma S2, sebagian bahkan belum sempat mengurus jabatan fungsional akademiknya.
Seperti apa kualitas universitas di dunia Islam masa lalu?
Pada masa itu, perguruan tinggi terbaik di dunia ada di Gundishapur, Baghdad, Kufah, Isfahan, Cordoba, Alexandria, Kairo, Damaskus dan beberapa kota besar Islam lainnya. Perguruan tinggi di luar Daulah Islam paling-paling hanya di Konstantinopel yang saat itu masih ibukota Romawi Byzantium. Sebenarnya di Yunani tahun 387 SM pernah didirikan Universitas oleh Plato, namun pada awal Milenium-1 universitas ini tinggal sejarah. Universitas Konstantinopel didirikan tahun 849 M, meniru Baghdad dan Cordoba. Universitas tertua di Itali adalah Universitas Bologna berdiri 1088. Universitas Paris dan Oxford berdiri abad ke-11 hingga 12, dan hingga abad-16 buku-buku referensinya masih diimpor dari dunia Islam.
Namun, dari sekian universitas di dunia Islam itu, dua yang tertua dan hingga kini masih ada adalah Universitas al-Karaouiyinne di Fez Maroko dan al-Azhar di Kairo.
Universitas al-Karaouiyinne di Fez – Maroko, menurut Guiness Book of World Record merupakan universitas pertama di dunia secara mutlak yang masih eksis. Kampus legendaris ini awalnya mengambil lokasi di masjid Al Karaouiyinne yang dibangun tahun 245 H/ 859 M, di kota Fes – Maroko. Universitas ini telah mencetak banyak intelektual Barat seperti, Silvester II, yang menjadi Paus di Vatikan tahun 999 – 1003 M, dan memperkenalkan “angka” arab di Eropa.
Universitas al-Karaouiyinne di Fez
Universitas kedua tertua di dunia adalah al-Azhar yang mulai beroperasi sejak tahun 975 M. Fakultas yang ada waktu itu yang paling terkenal adalah hukum Islam, Bahasa Arab, Astronomi, Kedokteran, Filsafat Islam, dan Logika. Universitas al-Azhar didirikan pada 358 H (969 M) oleh penguasa Mesir saat itu, yaitu dinasti Fathimiyah – yang menganut aliran syiah Ismailiyah, sebuah aliran syiah yang oleh kalangan Sunni dianggap sesat karena sangat mengultuskan Ali dan mencampuradukkan Islam dengan ajaran reinkarnasi.
Ketika tahun 1160 M kekuasaan Fatimiyah digulingkan oleh Bani Mameluk yang sunni – sebagai persiapan untuk memukul balik pendudukan tentara Salib di Palestina -, pendidikan al-Azhar yang disubsidi total ini sempat terhenti. Konon di beberapa jurusan yang sensitif syiah, “pause” ini berjalan hingga 17 tahun! Mungkin sebuah cara untuk “memotong generasi”.
Ketika pasukan Mongol menyerang Asia Tengah dan menghancurkan kekuatan kaum Muslimin di Andalusia, Al Azhar menjadi satu-satunya pusat pendidikan bagi para ulama dan intelektual Muslim yang terusir dari negeri asal mereka. Para pelajar inilah yang kemudian berjasa mengharumkan nama Al Azhar.
Pada masa dinasti Utsmaniyyah, Al Azhar mampu mandiri, lepas dari subsidi negara karena besarnya dana wakaf dari masyarakat. Wakafnya pun tak main-main: ada wakaf berupa kebun, jaringan supermarket, armada taksi dan sebagainya.
universitas al azhar kairo
Kegiatan di Al Azhar sempat terhenti ketika pasukan Prancis di bawah Napoleon Bonaparte mengalahkan Mesir pada tahun 1213 H/1789 M. Napoleon sendiri menghormati Al Azhar dan para ulamanya. Bahkan ia membentuk semacam dewan yang terdiri atas sembilan syeikh untuk memerintah Mesir. Namun hal itu tidak menghentikan perang antara kaum Muslimin di bawah pimpinan Syeikh Muhamad Al Sadat melawan imperialis Prancis. Melihat situasi waktu itu akhirnya Imam Agung Al Azhar dan para ulama sepakat untuk menutup kegiatan belajar di Al Azhar karena aktivitas jihad fi sabilillah. Tiga tahun setelah pasukan Prancis keluar dari Mesir, barulah Al Azhar kembali dibuka.
Karena itu, jika ingat jargon “world-class-university”, sudah selayaknya kita tidak perlu ikut-ikutan pada standar yang ditetapkan Barat. Islam tentu memiliki standar sendiri, seperti apa kualitas manusia yang ingin dicetak oleh sebuah universitas. Mereka tidak cuma harus mumpuni secara intelektual, namun juga memiliki kedalaman iman, kepekaan nurani, keshalihan sosial dan keberanian dalam menegakkan amar ma’ruf – nahi munkar serta siap mati syahid dalam jihad fii sabilillah.
Sekarang di Indonesia, beberapa IAIN telah diubah menjadi islamic university yang ingin meraih kembali taraf world-class-university seperti di masa peradaban Islam. Di Malaysia bahkan sudah lama berdiri International Islamic University of Malaysia (IIUM). Namun melihat struktur kurikulum dan budaya keilmuan yang ada saat ini, sepertinya masih perlu upaya keras dari para civitas akademika agar upaya itu memang menghasilkan produk kelas dunia yang khas Islam. Bahasa filosofinya, ada “ontologi” dan “epistemologi” Islam di sana. Untuk itu tentu wajib ada dukungan politik Islam yang memadai.
Namun kita tetap optimis. Karena istilah college yang lazim dipakai di Amerika, ternyata diambil dari istilah Arab “kulliyyat” yang artinya merujuk pada sesuatu yang urgen yang harus dimengerti keseluruhan. Jadi kita optimis, bahwa suatu hari nanti, seluruh kampus akan berubah semakin islamis, menghasilkan alumni yang memiliki kompetensi lengkap, baik secara material, intelektual, emosional maupun spiritual. Inilah kampus bermutu yang sesungguhnya.
Disadur dari tulisan Fahmi Amhar yang berjudul : Kampus Bermutu yang Sesungguhnya
Posting Komentar