Runtuhnya Sebuah Imperium Khilafah

Di dalam Kekhilafahan, kerusuhan meningkat pada akhir abad ke-19. Orang-orang muda yang tertarik pada politik mulai berpendapat bahwa sudah waktunya s


SEJAK AKHIR ABAD KE-18 dan seterusnya, para penguasa Utsmaniyah menyadari bahwa negara mereka sedang mengalami kemunduran. Mereka berusaha untuk mereformasi militer mereka, hanya menemukan bahwa pertikaian antara pasukan baru dan pasukan lama mengancam stabilitas negara.

Perang Krimea (1854–1857; perang memperebutkan wilayah antara Khilafah Utsmaniyah dan pasukan Eropa di Ukraina dekat Laut Hitam) mengungkapkan betapa buruknya teknologi militer Utsmani dibandingkan dengan negara-negara Eropa: mereka tidak memiliki jalur kereta api untuk memindahkan pasukan atau sistem telegraf untuk mengirim pesan. Pada tahun 1870-an

serangkaian pemberontakan di wilayah Balkan, yang didukung oleh Rusia, memaksa Khilafah Utsmaniyah menyerahkan sebagian besar wilayah Eropa yang tersisa.

Namun di lain sisi, runtuhnya Khilafah Utsmaniyah yang terus berlanjut mulai menimbulkan masalah nyata bagi kekuatan Eropa, terutama Inggris, Prancis, Rusia, dan Jerman yang semakin kuat.

Perdamaian antara negara-negara ini bergantung pada konndisi Utsmani yang stabil, karena tidak ada kekuatan Eropa yang ingin melihat saingan mereka mengambil alih kekuasaan di wilayah yang ditinggalkan oleh Utsmani.

Diplomat Eropa mulai berbicara tentang bagaimana langkah mereka dalam menghadapi runtuhnya Khilafah Utsmani yang dulunya perkasa.

Di dalam Kekhilafahan, kerusuhan meningkat pada akhir abad ke-19. Orang-orang muda yang tertarik pada politik mulai berpendapat bahwa sudah waktunya sultan turun, dan agar kesultanan menghentikan upayanya untuk menguasai wilayah yang jauh.

Orang-orang ini, yang kemudian disebut Turki Muda, akhirnya membentuk organisasi politik yang disebut Komite Persatuan dan Kemajuan (Committee of Union and Progress - CUP).

CUP merebut kekuasaan dari sultan pada tahun 1908, kehilangan kekuasaan pada tahun 1912, dan merebutnya kembali pada tahun 1913—tepat pada waktu dimana Khilafah Utsmani dilemparkan ke dalam konflik terbesar yang pernah ada di dunia.

Pada tahun-tahun terakhir abad ke-19 dan tahun-tahun pertama abad ke-20, negara-negara besar Eropa telah terlibat dalam upaya yang semakin bermusuhan untuk memperluas kendali mereka di Afrika, membangun koloni, mendukung pemerintahan yang bersahabat, dan membangun hubungan perdagangan.

Tak satu pun dari negara-negara ini yang mau melihat keseimbangan kekuatan berubah di Eropa, jadi ketika perang dimulai di negara-negara Balkan, semua kekuatan utama bergabung dalam apa yang kemudian dikenal sebagai Perang Dunia I.

Dalam sistem aliansi yang rumit yang menang, Inggris, Prancis, Rusia, dan (setelah 1917) Amerika Serikat — dikenal sebagai Sekutu — bergabung bersama untuk memerangi Austria-Hongaria, Jerman, dan Utsmani.

Pada akhir perang, kemenangan Sekutu, dikombinasikan dengan revolusi politik di Rusia dan runtuhnya Khilafah Utsmaniyah, telah mengubah kondisi politik di Timur Tengah secara radikal.

Perang Yang Membawa Perubahan


MASING-MASING KOMBATAN utama (negara yang berperang) dalam Perang Dunia I berusaha menggunakan perang tersebut untuk memajukan kepentingannya di Timur Tengah.

Utsmani ingin mempertahankan peran mereka sebagai kekuatan dominan di Timur Tengah dan menghentikan upaya Rusia untuk merebut wilayah mereka. Awalnya mereka berharap untuk tetap netral, tetapi hal ini segera terbukti tidak mungkin.

Sementara itu, Jerman ingin memperluas kekuasaan mereka ke Timur Tengah, dan mereka yakin dapat melakukannya dengan mendukung Utsmani. Keduanya dengan demikian berbagi tujuan untuk mempertahankan dan meningkatkan kekuatan masing-masing di wilayah tersebut.

Segera setelah Utsmani berkomitmen untuk bersekutu dengan Jerman, Rusia, Inggris, dan Prancis menjadi bebas untuk bertindak sesuai kepentingan mereka di Timur Tengah.

Kepentingan bersama mereka adalah membatasi kekuatan Jerman, yang muncul sebagai negara adidaya industri dan militer dan ancaman bagi kekuatan ekonomi Sekutu.

Inggris adalah yang paling terlibat dengan negara-negara Timur Tengah: Inggris sudah menguasai Mesir, dan memiliki kepentingan ekonomi di tempat yang kemudian menjadi Irak—terutama setelah penemuan minyak pada tahun 1908.

Kemudian yang terpenting, Inggris juga menawarkan dukungan mereka untuk tujuan yang dikenal sebagai Zionisme, upaya orang Yahudi untuk mendirikan tanah air nasional Yahudi di wilayah Palestina.

Prancis memiliki komitmen serupa, meski lebih terbatas, karena mendukung gerakan kemerdekaan lokal di Lebanon dan Suriah.

Rusia yagn telah lama menjadi musuh Khilafah Utsmani, terus menginginkan wilayah di ujung timur laut kesultanan serta kontrol atas ladang minyak yang ditemukan dan dibor di Irak dan Iran.

Pada tahun-tahun awal perang, kedua belah pihak bertempur sampai berujung kebuntuan di Timur Tengah, berkat dukungan militer Jerman untuk Utsmani.

Tetapi ketika keunggulan di Eropa bergeser ke arah Sekutu, Inggris dan Prancis mulai membuat kemajuan nyata di Timur Tengah.

Inggris merebut pulau Siprus di Mediterania timur, dan pasukannya membangun kekuatan di Irak selatan, sampai ke Baghdad.

Prancis mengamankan kepentingan ekonominya di Suriah. Kemudian Inggris serta Prancis mulai merencanakan bagaimana mereka akan mengelola wilayah tersebut setelah perang.

Adapun, Rusia terbukti tidak mampu memajukan kepentingannya dalam merebut wilayah Utsmani. Pasukan Rusia tidak hanya dibutuhkan untuk memerangi Jerman, tetapi pada tahun 1917 sebuah revolusi komunis di Rusia menggulingkan pemerintahan dan secara efektif menyingkirkan Rusia dari pertarungan untuk membagi kekuasaan di wilayah tersebut.

Di akhir perang, Inggris dan Prancis, bekerja melalui Liga Bangsa-Bangsa (organisasi negara-negara yang dibentuk untuk mempromosikan perdamaian dan untuk membantu negara-negara dalam hubungan internasional), menyusun rencana rumit yang akan memengaruhi masa depan Timur Tengah. Rencana itu dikenal dengan sistem mandat.

Sistem Mandat


WILAYAH YANG DIAMBIL ALIH selama masa perang biasanya dibagi antara negara-negara yang memenangkan perang dan menjadi bagian dari negara-negara tersebut.

Namun, di Timur Tengah, masalahnya jauh lebih rumit. Meskipun Inggris dan Prancis jelas merupakan pemenang di Timur Tengah setelah Perang Dunia I, mereka tidak menginginkan tanggung jawab untuk memelihara koloni di wilayah tersebut.

Namun, mereka ingin memastikan akses berkelanjutan mereka ke perdagangan, minyak, dan transportasi di wilayah tersebut.

Mereka juga merasa perlu untuk menghormati keinginan akan pemerintahan sendiri yang diungkapkan oleh gerakan kemerdekaan lokal yang telah berkontribusi pada kemenangan Sekutu.

Pekerjaan menentukan apa yang akan dilakukan dengan wilayah tersebut jatuh ke Liga Bangsa-Bangsa, yang mengatur sistem mandat untuk memungkinkan Prancis dan Inggris pada akses yang mereka butuhkan sambil menciptakan negara yang pada akhirnya akan dapat berfungsi tanpa bantuan dari luar.

Iklim politik setelah Perang Dunia I mendukung nasionalisme—hak suatu bangsa dengan identitas etnik, budaya, atau agama yang sama untuk membentuk diri mereka sendiri menjadi badan politik berpemerintahan sendiri yang disebut bangsa. Beberapa orang di Timur Tengah siap untuk pemerintahan sendiri.

Turki mengorganisir dirinya sendiri segera setelah perang dan menjadi badan politik independen serta menetapkan perbatasan yang jauh berkurang dari perbatasan Kesultanan Utsmai dan mengumumkan kemerdekaan pada 20 Januari 1921.

Baik Inggris maupun Prancis tidak dapat mempengaruhi kebijakan politik atau ekonomi apa pun di Turki setelah mengklaim kemerdekaan.

Mesir dan Iran juga telah mengembangkan beberapa karakteristik negara modern: mereka memiliki sistem untuk memungut pajak dan menggunakannya untuk menjalankan proyek demi kebaikan negara, seperti membangun jalan dan sistem saluran pembuangan; mereka telah membangun sistem hukum dan pendidikan; mereka memiliki ekonomi yang aktif; dan mereka memiliki perwakilan politik (walaupun itu bukanlah perwakilan yang dipilih, seperti di banyak negara Barat).

Tetapi wilayah lain, termasuk Palestina, Mesopotamia, Suriah, dan Lebanon, dan di selatan hamparan padang pasir yang luas di Jazirah Arab, membutuhkan pengembangan lebih lanjut sebelum mereka dapat menjadi negara merdeka.

Meskipun masing-masing wilayah ini memiliki kelompok lokal yang ingin mengklaim tanggung jawab untuk memerintah, Liga Bangsa-Bangsa menerima argumen Inggris dan Prancis bahwa wilayah ini belum siap untuk pemerintahan sendiri.

Baca Juga  : Kekuatan Perdagangan Yang Mengubah Keadaan

Sebaliknya, Liga Bangsa-Bangsa setuju untuk membagi wilayah itu menjadi beberapa wilayah yang akan diperintah di bawah otoritas Inggris atau Prancis sampai mereka siap untuk pemerintahan sendiri.

Bentuk kekuasaan mereka akan disebut mandat, dan ini harus diawasi dan disetujui oleh Liga Bangsa-Bangsa sehingga mandat ini tidak sekedar menjadi koloni negara-negara sponsor.

Dengan pemahaman inilah pada tahun 1920 Liga Bangsa-Bangsa, sebagian besar mengikuti arahan Inggris dan Prancis, membagi Timur Tengah menjadi negara-negara yang mirip dengan yang ada saat ini.

Bagian timur wilayah itu diberikan kepada Inggris. Sebagian besar wilayah ini pertama kali dikenal sebagai Mesopotamia, tetapi namanya segera diubah menjadi Irak dan gubernur setempat ditunjuk sebagai Raja Faisal I (1885–1933).

Segmen yang lebih kecil, yang dikenal sebagai Kuwait, ditempatkan di bawah perlindungan Inggris. Bagian barat wilayah itu lebih rumit. Bagian tengah dan utara ditugaskan ke Prancis, yang membaginya menjadi dua republik: Lebanon, sebuah negara kecil di pantai Mediterania; dan Suriah, wilayah yang lebih besar yang membentang ke arah timur menuju Irak.

Bagian selatan ditugaskan ke Inggris, dan itu juga dibagi. Tanah antara Mediterania di barat dan Sungai Yordan di timur dikenal sebagai Palestina.

Kontrol atas wilayah ini diperebutkan dengan sengit antara penduduk asli Arab yang dikenal sebagai orang Palestina dan imigran Yahudi yang ingin mendirikan sebuah negara di wilayah yang telah diperintah oleh orang Yahudi sebagai Israel dua ribu tahun sebelumnya.

Karena konflik ini, Inggris menempatkan mandat ini di bawah kendali langsungnya. Di sebelah timur Sungai Yordan adalah sebuah wilayah bernama Transyordania (kemudian menjadi Yordania), menjadi kontrol lokal yang berada di tangan Raja Abdullah I (1882–1951). Di selatan adalah padang pasir Arabia yang luas.

Sementara Inggris mengklaim beberapa ikatan dengan wilayah tersebut, faktanya Inggris memiliki sedikit kekuatan atau pengaruh nyata di wilayah tersebut. Sebaliknya, kontrol diperebutkan antara berbagai syekh dan pemimpin suku, yang paling menonjol di antaranya adalah Abdul Aziz bin Saud (1880–1953).

Percaya bahwa hanya ada sedikit kepentingan ekonomi atau strategis di Arab, Inggris dan Prancis membiarkan orang-orang Arab ini menyelesaikan masalah mereka sendiri. Selama lima belas tahun berikutnya, ibn Saud mengkonsolidasikan kekuasaan di wilayah tersebut dan mendirikan Kerajaan Arab Saudi.

Setelah Runtuhnya Sebuah Imperium


MENURUT BERNARD LEWIS dalam The Middle East, "Perang Dunia Pertama menandai puncak mundurnya Islam sebelum majunya Barat."

Pertempuran panjang antara Timur Tengah Islam dan Barat ini berakhir dengan pecahnya Khilafah Utsmaniyah dan penciptaan banyak negara dengan latar belakang politik dan agama yang saling bertentangan.

Negara-negara yang baru didirikan ini akan berjuang untuk menciptakan identitas independen mereka sendiri seiring berjalannya waktu, tetapi ini bukanlah proses yang mudah. Setiap negara akan menghadapi banyak masalah baik secara internal maupun dari kekuatan luar.

Konflik agama di wilayah tersebut, upaya kelompok-kelompok dengan sudut pandang ekstrim untuk mendapatkan kekuasaan, pengelolaan sumber daya seperti minyak dan air, dan pertempuran terus-menerus untuk menjaga agar budaya Barat tidak merusak tradisi Timur Tengah, semuanya akan berkontribusi dalam membentuk Timur Tengah dan akan memengaruhi cara masing-masing negara berkembang.

Bersambug

Posting Komentar