Masjid Raya Medan mulai dibangun pada tanggal 21 Agustus 1906 di masa pemerintahan Sultan Ma’mun Al-Rasyid Perkasa Alamsyah atau Sultan Deli IX. Dalam rentang tiga tahun, tepatnya tanggal 19 September 1909, masjid secara resmi digunakan untuk pertama kalinya.
Sultan Ma’mum Al Rasyid Perkasa Alam sebagai pemimpin Kesultanan Deli memulai pembangunan Masjid Raya Al Mashun. Keseluruhan pembangunan rampung pada tanggal 10 September 1909 (25 Sya‘ban 1329 H) sekaligus digunakan ditandai dengan pelaksanaan sholat Jum’at pertama di masjid ini. keseluruhan pembangunannya menghabiskan dana sebesar satu juta Gulden.
Sultan memang sengaja membangun mesjid kerajaan ini dengan megah, karena menurut prinsipnya hal itu lebih utama ketimbang kemegahan istananya sendiri, Istana Maimun. Pendanaan pembangunan masjid ini ditanggung sendiri oleh Sultan, namun konon Tjong A Fie, tokoh kota medan dari etnis Thionghoa yang sejaman dengan Sultan Ma’mun Al Rasyd turut berkontribusi mendanai pembangunan masjid ini.
Kesultanan Deli berlokasi di daerah yang kini menjadi Provinsi Sumatra Utara. Pada masa pemerintahan Sultan Ma'moen al- Rasyid (1879-1924), kerajaan Islam itu berkembang pesat meskipun dalam hegemoni kolonialisme Belanda.Raja bergelar Perkasa Alamsyah itu mengangkat Syekh Hasan Maksum sebagai mufti negeri.
Perancang Masjid Raya Al Mahsun
Pada awalnya Masjid Raya Al Mahsun di rancang oleh Arsitek Belanda Van Erp yang juga merancang istana Maimun, namun kemudian proses-nya dikerjakan oleh JA Tingdeman. Van Erp ketika itu dipanggil ke pulau Jawa oleh pemerintah Hindia Belanda untuk bergabung dalam proses restorasi candi Borobudur di Jawa Tengah. Sebagian bahan bangunan diimpor antara lain: marmer untuk dekorasi diimpor dari Italia, Jerman dan kaca patri dari Cina dan lampu gantung langsung dari Prancis.
Siapakah Syeikh Hasan Maksum?
Awalnya, mubaligh kelahiran Labuhan Deli ta hun 1884 itu menolak tawaran sang raja. Sultan Ma'moen sendiri sempat bimbang lantaran menaruh respek yang tinggi terhadap ulama tersebut. Penguasa Deli itu khawatir bilamana permintaan tersebut dipandang akan mengurangi kebebasan sang alim untuk berdakwah. Akan tetapi, mediasi yang dilakukan para pelajar agama seantero Sumatra Timur berhasil menjembatani kedua belah pihak. Syekh Hasan pun menyanggupi keinginan raja Deli itu untuk menobatkannya selaku mufti kerajaan.
Baca Juga : Mengenal Kampung Ramadhan di Medan
Secara keseluruhan, jabatan Syekh Hasan Maksum meliputi mufti kerajaan, penasihat dalam raja bidang hukum Islam, serta imam sekaligus khatib Masjid Raya al-Mashun. Sejak saat itu, ulama tarekat itu bergelar Imam Paduka Tuan. Sebagai seorang pejabat tinggi, Syekh Hasan bertugas antara lain menguji para calon guru agama yang akan mengajar di madrasah-madrasah seluruh negeri Deli. Selain itu, ia juga berkewenangan untuk mengeluarkan surat izin kepada tiap ustadz yang lulus ujian.
Syekh Hasan Maksum termasuk alim yang kharismatik. Namanya dikenang luas bahkan sampai hari ini khususnya oleh masyarakat Sumatra. Dalam buku Riwajat Penghidoepan al- Fadhil Toean Sjech Hasan Ma'som dijelaskan, Hasan Maksum lahir di Labuhan Deli, Sumatera Timur, pada 1302 Hijriah atau bertepatan pada 1884 M. Keluarganya berasal dari kalangan yang cukup terpandang.
Hasan Maksum dididik dengan pengajaran agama Islam. Kecerdasannya pun sudah tampak sejak dirinya masih belia. Menjelang usia 10 tahun, Hasan kecil sempat akan melanjutkan pen didikan ke Inggris. Namun, ayahnya menyarankan putranya itu agar menuntut ilmu ke Makkah al-Mukarramah.
Masjid Raya Medan: Tampilan Masjid Raya Saat Ini
Nah, sebelum Masjid Raya Al Mashun dibangun, Kesultanan Deli lebih dahulu membangun dua bangunan penting. Istana Maimun yang dibangun pada tahun 1888-1891 yang berfungsi sebagai pusat pemerintahan. Bangunan lainnya adalah Gedung Kerapatan Tinggi yang didirikan tahun 1906 sebagai Mahkamah Peradilan.
Setelah masjid raya berdiri, Kesultanan Deli masih terus memajukan peradabannya. Sekitar tahun 1920-an, di bawah kepemimpinan Sultan Amaludin Sani Perkasa Alamsyah, dibangunlah sebuah taman cantik seluas kira-kira 1,4 hektare bernama Derikanpark atau kini dikenal dengan Taman Sri Deli.
Masjid Raya Medan: Area Taman Sri Deli
Menurut ahli sejarah, Istana Maimun, Masjid Raya Medan, dan Taman Sri Deli merupakan kesatuan kompleks. Istana menjadi tempat pemerintahan, masjid sebagai tempat ibadah, dan taman berfungsi untuk santai bagi keluarga kesultanan.
Namun kini, ketiga bangunan tersebut seolah terpisah karena ada jalan raya yang membelah. Jangan khawatir, Anda tetap bisa mengunjungi ketiga bangunan ikonik ini dengan cukup berjalan kaki saja.
Arsitektur Masjid Raya Medan
Buat Anda yang sudah pernah mengunjungi Masjid Raya Medan, pasti terkagum-kagum dengan rancangan arsitekturnya. Mulai dari gerbang masuk hingga interiornya, kita akan mendapati nilai estetika yang tinggi dari masjid ini.
Setidaknya ada dua arsitek yang direkrut Sultan Deli IX untuk merancang Masjid Raya Medan. Theodoor van Erp ditunjuk sebagai arsitek yang merancang masjid, kemudian pengerjaannya dilanjutkan oleh J.A. Tingdeman. Kedua arsitek memang berasal dari Belanda karena belum ada arsitek asli pribumi.
Theodoor van Erp sendiri sudah lebih dulu ditugaskan untuk perancang Istana Maimun. Dan namanya turut terlibat sebagai ahli yang membantu pemugaran Candi Borobudur di Jawa Tengah pada 1907-1911.
Keunikan Desain Masjid Raya Medan
Keunikan yang menjadi ciri khas Masjid Raya Medan terletak pada perpaduan corak Melayu, Arab, India, dan Spanyol. Hal itu bisa kita temukan pada pintu kayu yang dipulas dengan cat warna biru dan kuning. Seperti diketahui, warna kuning memang identik dengan Melayu.
Nilai estetika dan etika yang tinggi pada bagian masjid juga terlihat dari ornamen-ornamen khas Spanyol pada bagian pintu-pintunya serta kaca patri besar warna-warni. Sementara bagian dinding masjid dipenuhi ornamen dengan motif dari India.
Pilar Penyangga Masjid Raya Medan
Bentuk Masjid Raya Medan boleh dibilang cukup unik karena berbentuk segi delapan. Pilar-pilar utama masjid yang berjumlah delapan sudah menggunakan teknologi beton dan dilapisi marmer asli dari Italia.
Bentuk kubah masjid mengadopsi desain ala Moghul (India), senada dengan mimbar yang digunakan saat hari Jum’at dan Ramadhan yang juga memiliki seni bercorak India.
Perpaduan ornamen, segi bentuk, dan pilihan warna pada Masjid Raya Medan tampak presisi dan serasi. Selain itu, masjid ini juga dikenal memiliki Al Qur’an berusia ratusan tahun yang dipajang di pintu masuk jama’ah laki-laki. Anda masih bisa membaca Al Qur’an tersebut meski sudah terlihat tua.
Posting Komentar