Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang telah memicu kontroversi, khususnya dugaan berkaitan dengan kepentingan pengusaha tambang batu bara, dinilai Cendekiawan Muslim Ustadz Muhammad Ismail Yusanto (UIY) sebagai penegasan atau penjelasan dari Undang-Undang Minerba yang sebelumnya berlangsung dan juga menimbulkan kontroversi.
“Bukan kali ini saja, sebenarnya (Perppu) hanya penegasan saja dari apa yang sudah berlangsung sebelumnya,” ujarnya dalam Perspektif PKAD: Gawat!! Perppu Ciptaker Menguntungkan Pengusaha Batu bara & Listrik!! Rabu (4/1/2023) di kanal YouTube Pusat Kajian dan Analisis Data.
Sebagaimana diberitakan, Presiden Joko Widodo telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja pada 30 Desember 2022 sebagai pengganti UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang cacat secara formil.
Dengan kata lain lewat Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020, Mahkamah menyatakan bahwa UU Cipta Kerja berstatus inkonstitusional bersyarat dan meminta pemerintah memperbaikinya paling lama 2 tahun.
Namun alih-alih melaksanakan amar putusan tersebut, pemerintah justru bersikeras memberlakukan kembali UU Ciptaker yang nyata-nyata bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat tersebut.
Tersebut Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu bara (Minerba) yang di dalamnya terdapat ketentuan yang menurut UIY, sangat mencolok yang mengawali polemik dari Perppu dimaksud.
“Bagaimana bisa 380 ribu hektare ladang batu bara itu dikuasai oleh tujuh (perusahaan pemegang) PKP2B (Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara) itu secara eksplisit dikatakan di dalam Undang-Undang Minerba 2020 itu mendapatkan kepastian perpanjangan (konsesi)?” herannya.
Sementara, ladang batu bara yang memiliki potensi cadangan dengan nilai hingga Rp13 ribu triliun, asumsi harga per ton US 70, padahal saat ini harga internasionalnya lebih dari US 350 per ton yang berarti 5 kali lipat, menjadi Rp 65 ribu triliun, menurut UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Minerba secara eksplisit harus dikembalikan ke negara ketika habis masa kontraknya.
“Satu ketentuan yang sebenarnya sangat bagus jika bicara tentang keadilan ekonomi, tentang nilai-nilai kerakyatan dan segala macam itu,” tandas UIY.
Tetapi jangankan menguatkan, kata UIY sekali lagi, pemerintah justru mengubah total ketentuan itu melalui penetapan UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Minerba.
“Diubah 180 derajat, bukan dikembalikan kepada negara, tapi justru diberikan kepastian (perpanjangan konsesi),” ucapnya prihatin.
Bahkan celakanya, imbuh UIY, yang patut dipertanyakan publik adalah durasi kepastian perpanjangannya hingga 2 kali 10 tahun dengan opsi 2 kali 10 tahun lagi.
Pun makin mendapatkan penguatan, disahkan dan ditetapkanlah oleh pemerintah RUU Cipta Kerja (Ciptaker) menjadi UU Nomor 11 Tahun 2020 pada 2 November 2020 lalu.
“Ketika Undang-Undang Cipta Kerja itu ditandatangani pada tanggal 2 November 2020 itu ada satu dari 7 perusahaan (pemegang) PKP2B yang habis masa kontraknya 1 November 2020,” ucapnya, seraya menyebutkan perusahaan terkait adalah PT Arutmin.
Royalti Nol Persen
Tak hanya kepastian perpanjangan masa kontrak, perusahaan batu bara yang dianggap telah melakukan hilirisasi juga tidak akan dipungut royalti.
“Artinya perusahaan ini gratis sama sekali dia mengambil (batu bara) hanya karena dianggap dia berjasa melakukan hilirisasi. Padahal hilirisasi itu, itu hanya sebuah pilihan bisnis,” ulasnya.
Padahal, jelas UIY, pengelolaan sumber daya dimaksud bisa dilakukan juga oleh perusahaan negara dan tak harus dikerjakan swasta.
Malah, masih berkenaan dengan kepentingan pengusaha tambang batu bara, dikeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan disahkan awal Februari 2021.
Di dalam peraturan yang ternyata turunan dari Omnibuslaw Cipta Kerja itu, pemerintah justru mengeluarkan limbah abu terbang dan abu dasar hasil pembakaran batu bara, yang disebut FABA (fly ash and bottom ash) dari kategori limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) yang sebelum itu, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 101 Tahun 2014 masih menggolongkan FABA sebagai limbah B3.
Sementara pada tahun 2021 saja pemerintah sendiri memperkirakan terdapat 17 juta ton FABA yang dihasilkan dan pada 2050 diperkirakan mencapai 49 juta ton. “Sedangkan pada saat yang sama para ahli kesehatan paru-paru pada menyebut abu batu bara dapat menyebabkan penyakit disebut coal workers pneumoconiosis yang berisiko menimbulkan kematian,” bebernya.
Sehingga dari ketentuan itu saja, kata UIY, perusahaan batu bara telah diuntungkan sampai ratusan miliar rupiah. “Kita bisa memahami kenapa rezim ini yang identik dengan para pengusaha ladang batu bara itu mengambil keputusan yang menguntungkan dirinya,” terangnya kemudian.
Oleh karena itu pula, sambung UIY, penting bagi publik untuk memahami semua yang ia paparkan mengenai keberpihakan rezim yang bahkan bisa dikatakan telah bekerja untuk kepentingan oligarki tersebut.
“Ini hal penting yang harus disampaikan kepada publik, apa yang dikatakan sebagai nilai-nilai keadilan sosial, keadilan ekonomi, semakin jauh dari republik ini,” pungkasnya.
Bahayakan Rakyat, UU Cipta Kerja Hukumnya Haram dalam Islam
TELISIK.ID - RUU Omnibus Law Cipta Kerja yang telah disahkan DPR menjadi Undang-Undang (UU) hukumnya haram dalam Islam.
Mudir Ma'had Al Abqary, KH Yasin Muthohar mengungkapkan, Rasulullah SAW bersabda bahwa tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh membahayakan orang lain di dalam Islam.
"Perkara yang mengandung bahaya itu hukumnya haram. Maka hukum asal perkara yang membahayakan adalah haram," katanya dalam video yang berjudul Keputusan yang Dimurkai oleh Allah, di-posting melalui akun Instagramnya, pada Selasa (6/10/2020) kemarin.
Katanya, para ulama menyebutkan, perkara yang mengandung bahaya, baik perbuatan atau benda yang mengandung bahaya, itu wajib dihilangkan.
"Seharusnya anggota dewan yang terhormat, mereka memberikan manfaat, memberikan maslahat dalam menetapkan atau mengesahkan Undang-Undang yang akan membawa maslahat bagi rakyat banyak," tambahnya.
Namun saat ini, lanjut dia, mereka telah mengesahkan Undang-Undang yang akan membahayakan kehidupan masyarakat dan menyulitkan para buruh.
"Undang-Undang Cipta Kerja itu hukumnya jelas haram. Dan mereka akan diancam dengan murka Allah SWT," jelasnya.
Untuk diketahui, Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP) menemukan delapan poin dalam Bab Ketenagakerjaan UU Cipta Kerja yang dinilai berpotensi mengancam hak-hak buruh.
Delapan poin itu ditemukan berdasarkan hasil kajian FBLP setelah UU Cipta Kerja disahkan dalam Rapat Paripurna di DPR, Senin (5/10/2020).
Delapan poin yang mendapat sorotan dalam UU Cipta Kerja, yakni:
1. Masifnya kerja kontrak
Dalam Pasal 59 ayat 1 huruf b disebutkan, pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama.
Pergantian batas waktu pekerjaan yang penyelesaiannya "tiga tahun" sebagai salah satu kriteria perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) menjadi "tidak terlalu lama" bisa menyebabkan pengusaha leluasa menafsirkan frasa tersebut.
Berdasarkan Pasal 59 ayat 4, pengaturan mengenai perpanjangan PKWT dialihkan untuk diatur melalui Peraturan Pemerintah (PP).
Sementara itu, pelanggaran penerapan kerja kontrak selama ini cenderung tidak pernah diusut secara serius oleh pemerintah.
Dengan demikian, PP yang akan dibentuk ke depan sangat berpotensi memperburuk jaminan kepastian kerja.
2. Outsourcing pada semua jenis pekerjaan
Sebelumnya, berdasarkan UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, praktik outsourcing hanya dibatasi pada jenis pekerjaan yang tidak berhubungan langsung dengan kegiatan produksi.
Batasan ini kemudian dihapuskan oleh UU Cipta Kerja. Padahal, praktik kerja outsourcing selama ini hanya menguntungkan perusahaan dan berimbas pada pengurangan hak-hak buruh.
3. Jam lembur yang semakin eksploitatif
Pada Pasal 78, batasan maksimal jam lembur dari awalnya maksimal tiga jam dalam sehari dan 14 jam dalam sepekan menjadi empat jam dalam sehari dan 18 jam dalam seminggu.
Selain akan berakibat pada kesehatan buruh, besaran upah lembur yang diterima juga tidak akan sebanding mengingat upah minimum yang menjadi dasar penghitungan upah lembur didasarkan pada mekanisme pasar berdasarkan PP Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan.
4. Menghapus hak istirahat dan cuti
Berdasarkan Pasal 79, hak istirahat selama dua hari kepada pekerja yang bekerja dalam lima hari seminggu dihapus.
Hak cuti panjang selama dua bulan bagi buruh yang telah bekerja minimal enam tahun juga dihapus oleh UU Cipta Kerja.
5. Gubernur tak wajib menetapkan upah minimum kabupaten/kota
Berdasarkan Pasal 88C UU, disebutkan bahwa gubernur “dapat” menetapkan upah minimum kabupaten/kota.
Artinya, tidak ada kewajiban hukum bagi gubernur untuk menetapkan UMK.
Dengan demikian, kepastian adanya jaminan upah minimum yang selama ini dinarasikan sebagai “jaring pengaman sosial” terancam.
Ketentuan pengupahan yang termuat dalam PP Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan juga diadopsi oleh UU Cipta Kerja yang mengakibatkan semakin kokohnya cengkeraman mekanisme pasar dalam penentuan upah.
6. Peran negara dalam mengawasi praktik PHK sepihak diminimalisasi
Sebelumnya, dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, terdapat kewajiban pengusaha untuk meminta penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial saat melakukan PHK kepada buruh.
Hal ini, kendati sering dilanggar, penting guna memastikan terpenuhinya hak-hak buruh saat terjadi PHK.
Namun, UU Cipta Kerja menghapuskan ketentuan ini.
7. Berkurangnya hak pesangon
Berkurangnya hak itu karena penggabungan atau pengambilalihan perusahaan, perusahaan tutup, sakit berkepanjangan dan meninggal dunia.
Sebelumnya, berdasarkan UU Nomor 13 Tahun 2003, dinyatakan berhak atas pesangon sebanyak dua kali lipat dari perhitungan berdasarkan masa kerja, kini dihapus UU Cipta Kerja.
8. Perusahaan makin mudah melakukan PHK sepihak
Berdasarkan UU Nomor 13 Tahun 2003, diatur bahwa PHK kepada pekerja yang mangkir atau melanggar peraturan perusahaan diatur syarat yang cukup ketat.
Namun, ketentuan ini dihapus oleh UU Cipta Kerja. Hal ini akan mempermudah perusahaan untuk melakukan PHK dengan alasan yang tidak obyektif.
Hal ini juga membuat pengurus dan anggota serikat buruh sangat potensial untuk mengalami PHK sepihak oleh perusahaan. (C)
Reporter: Fitrah Nugraha Editor: Kardin
Sumber Media Umat . Judul Asli : Picu Kontroversi, UIY: Perppu Ciptaker Bentuk Penegasan UU Minerba
Posting Komentar