Oleh: Silmi Dhiyaulhaq, S.Pd. (Praktisi Pendidikan)
Pendidikan di era digital saat ini menghadapi tantangan luar biasa. Menghadapi tantangan tersebut, guru sebagai ujung tombak pendidikan tentulah menjadi pihak yang harus mampu beradaptasi. Untuk meningkatkan kualitas pendidikan melalui guru maka pemerintah mengadakan Program Guru Penggerak (PGP). Guru yang telah lulus dari PGP akan menjadi seorang guru penggerak.
Guru penggerak ini diharapkan menjadi pemimpin pembelajaran dan berperan sebagai agen pendorong transformasi pendidikan di Indonesia. Mereka adalah guru-guru terpilih dari seluruh penjuru Indonesia. (sekolah.penggerak.kemdikbud.go.id). Sebagaimana diketahui, PGP saat ini telah mencapai angkatan 7. Terakhir, sebanyak 7.984 guru dari angkatan 4 dinyatakan lulus oleh Kemendikbudristek, akhir Desember 2022.
Walaupun PGP digadang-gadang mampu mencetak guru yang berkualitas, tetapi faktanya tidak seideal yang dicita-citakan. Baru berjalan beberapa tahun, kini mulai mengemuka pihak-pihak yang mengkritisi program tersebut.
Sejumlah aktivis guru yang bernaung di komunitas Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menilai, program PGP tidak menjadi jaminan adanya perubahan paradigma guru terkait pembelajaran yang diharapkan pemerintah (pikiran-rakyat.com, 4/1/23).
Melalui Presidium FSGI, Fahmi Hatib disampaikan bahwa hasil PGP tidak sejalan dengan apa yang dikehendaki oleh pemerintah. PGP yang sejatinya menginginkan guru-guru yang kompeten menghasilkan SDM unggul, akan tetapi fakta di lapangan menunjukkan, proses seleksi dan pelatihan yang lama bagi calon guru penggerak (CGP) ini, bukannya menjamin perubahan paradigma pembelajaran, tetapi justru telah menyita waktu dan tenaga para CGP.
Ia menambahkan para guru calon guru penggerak (CGP) kerap disibukkan dengan materi pelatihan. Akibatnya, tugas pokok sebagai guru, rentan terabaikan. Menurut dia, kebijakan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) pada program guru penggerak, sebagian besar energi Merdeka Belajar dikerahkan kepada guru penggerak.
Iming-iming calon kepala sekolah, bahkan perubahan nama kantor menjadi serbaguru penggerak, hanya akan berdampak pada kuantitas yang belum tentu berkelanjutan.
Kritik lainnya disampaikan oleh Sekretaris Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), Afdhal. Ia menilai, PGP diskriminatif. Pasalnya, pelatihan metode daring 9 bulan tak mengakomodasi guru daerah terluar, terdepan, dan tertinggal. ”Basisnya tes selektif, tak semua guru dapat menjadi guru penggerak (GP). Label GP saja sudah bias, apalagi aturan Kemendikbudristek menyebut GP menjadi syarat wajib calon kepala sekolah,” katanya.
Ia menambahkan PGP tidak lepas dari keluhan para guru yang selama ini menjadi fasilitator, pendamping, dan asesor program tersebut. “Keluhan yang kami terima adalah mereka tidak bisa jadi kepala sekolah dan pengawas. Padahal, mereka guru-guru berprestasi dan lulus seleksi. Kemendikbud juga menetapkan mereka sebagai pendamping dan asesor PGP.
Kebijakan PGP yang diskriminatif mematikan motivasi sekaligus menutup peluang guru berkualitas meningkatkan jenjang kariernya," katanya. Ia menambahkan, P2G meminta Kemendikbudristek mengubah aturan tersebut, agar lebih berkeadilan dan terasa inklusif bagi guru-guru yang bukan guru penggerak.
Peningkatan Kualitas Guru Setengah Hati dalam Sistem Pendidikan Sekuler
Dalam proses pendidikan peranan guru sangat penting. Guru berperan sebagai penyampai materi pelajaran dan sebagai pembimbing dalam memberikan keteladanan yang baik. Guru harus memiliki akhlak yang baik agar menjadi panutan sekaligus profesional.
Kualitas guru merupakan salah satu faktor utama berhasilnya proses pendidikan. Oleh karena itu, negara bertanggung jawab penuh menyediakan guru yang berkualitas bagi seluruh rakyatnya. Adapun program guru penggerak yang menjadi program andalan dalam meningkatkan kualitas guru terlihat merupakan upaya setengah hati dari pemerintah.
Calon guru penggerak yang dibuat sibuk, tetap wajib mengajar sementara tugas yang harus dikerjakan dalam PGP sangat banyak. Hal ini tentu akan menyita waktu dan mengambil porsi tugas utamanya sebagai guru. Alih-alih pembelajaran menjadi idelal, justru kewajiban utama guru terlalaikan. Guru menjadi tidak fokus dalam menjalankan tugas utamanya.
Kualitas Guru Dijamin dalam Islam
Islam sebagai agama yang sempurna memiliki solusi permasalahan umat termasuk mengurusi sistem pendidikan. Di masa kejayaan Islam, negara memberikan jaminan pendidikan secara gratis dan kesempatan bagi seluruh warga negara, begitu pula guru yang ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi dengan sarana dan prasarana yang disediakan negara.
Semua difasilitasi secara gratis dengan pendidikan yang berkualitas. Kesejahteraan para guru pun diperhatikan negara. Sejarah telah mencatat bahwa guru dalam naungan Islam mendapatkan penghargaan yang tinggi dari negara yaitu pemberian gaji yang melampaui kebutuhannya.
Dalam catatan sejarah peradaban Islam, para guru diapresiasi dengan gaji yang tinggi. Misalnya, pada masa khalifah Umar bin Khattab, guru digaji sebesar 15 dinar per bulan (1 dinar = 4,25 gram emas). Jika dikonversikan ke dalam kurs rupiah saat ini, maka gaji guru pada masa itu adalah sebesar Rp52.287.750 per bulan (1 gram emas= Rp820.200). Begitu pula pada masa Shalahudin Al-Ayubi, gaji guru adalah sebesar 11-40 dinar. Berarti jika gaji tertingginya dirupiahkan, yakni sebesar Rp139.434.000. Masya Allah!
Dengan penghargaan tinggi negara Islam (baca: Khilafah) terhadap guru, maka guru fokus dalam mengajar. Tidak sibuk mencari tambahan sana-sini. Dan yang lebih penting, negara Khilafah tidak membedakan status guru honorer dan ASN, karena semuanya adalah pegawai negara (muwazif daulah). Maka, gaji atas semua guru adalah sama.
Berdasarkan pemaparan di atas kita ketahui bahwa selain mendapatkan gaji yang besar, guru juga mendapatkan kemudahan mengakses sarana dan prasarana untuk meningkatkan kualitas mengajarnya, kuliah ke jenjang yang lebih tinggi. Bukan sekadar pelatihan yang sangat menyibukkan. Dengan mekanisme yang benar sesuai Islam, tentu akan membuat guru bisa fokus untuk menjalankan tugasnya sebagai pendidik dan pencetak SDM berkualitas berjiwa pemimpin yang dibutuhkan negara untuk membangun peradaban yang agung dan mulia.
Selain itu, sistem Islam menjadikan para guru bergerak dengan takwa, bukan semata dengan hati. Dengan ketakwaan itulah, para guru mengajar penuh idealisme dan dedikasi membangun generasi. Rida Allah tetap menjadi hal utama yang dikejar, sehingga para guru akan berupaya menampilkan keteladanan di dalam dirinya. Mereka pun akan mengajar dengan penuh amanah dan sungguh-sungguh demi terciptanya generasi yang tak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga berkepribadian Islam yang tinggi. Mereka mampu menjadi problem solver bagi permasalahan pribadi dan juga umat. Inilah generasi yang terlahir dari sosok guru dalam naungan Islam.
Dari sini, sungguh sangat jauh sekali penjaminan kualitas guru dalam sistem sekuler dengan sistem Islam. Oleh karena itu, hendaknya kita menyadari bahwa sistem pendidikan sekuler tidak akan mampu mewujudkan sistem pendidikan ideal yang dicita-citakan oleh semua. Hanya sistem Islam yang berasal dari Pencipta yang akan mampu mewujudkannya. Tentu menjadi sebuah pilihan cerdas bila kita segera menerapkan sistem pendidikan Islam ini di dalam kehidupan saat ini, tidak menunggu nanti dan tanpa tapi.
Wallahu’alam bishshawab
Disadur dari fb #GuruMuslimahInspiratif --
Posting Komentar