Fenomena kontes kecantikan kini melanda dunia muslimah. Ya, kalau Amerika Serikat punya Miss Universe, Inggris punya Miss Worid, kalau Indonesia punya Miss Muslimah.
Adapun ajang pencarian muslimah tercantik dengan busana paling modis dan fashionable berlabel Worid Muslimah diadakan tiap tahun sejak tahun 2012.
Meski tujuan yang tersurat cukup menyejukkan, yakni mencari muslimah sholihah yang bagus akhlaknya, tartil bacaan Al-qur’annya dan berkepribadian Islam, namun tetap saja yang tersirat adalah, bahwa kontes ini mencari muslimah cantik untuk ikon fashion busana atau kosmetik muslimah.
Bisa dipastikan, pemenang kontes seperti ini sontak akan menjadi model. Baik model foto peragawati yang lenggak-lenggok memperagakan busana muslimah karya para desainer kenamaan.
Wajahnya akan nampang di majalah-majalah muslimah, katalog brand-brand busana muslimah ternama, brosur produk kosmetik, bintang iklan produk muslimah atau bersliweran di panggung-panggung peragaan busana muslimah.
Lantas apa bedanya dengan foto model dan peragawati pada umumnya? Cuma satu: tidak mengumbar kulit tubuh. Adapun dandanan dan make up sama saja, tetap mempertontonkan kecantikan alias tabaruj. Duh!
Haruskah Modis?
Belakangan ini semangat menutup aurat di kalangan muslimah memang menggembirakan. Mereka bahkan membentuk komunitas-komunitas khusus untuk menunjukkan eksistensinya. Dalam menutup aurat, mereka lebih suka menggunakan istilah hijab dan menyebut diri hijaber.
Menurut bahasa, hijab berasal dari kata hajaban yang artinya menutupi. Sedangkan menurut istilah syara’, al-hijab dimaksudkan sebagai suatu tabir yang menutupi badan wanita.
Entahlah, mengapa istilah hijaber lebih disukai. Yang jelas, motto para hijabers ini sangat terkenal, yakni tetap fashionable meski menutup aurat. Mengklaim berpenampilan syar’i tapi tetap modis. Sayangnya, sadar atau tidak, mereka telah terseret filosofi dunia fashion ala sekuler kapitalis pada umumnya.
Seperti diketahui, fashion umumnya diciptakan untuk menonjolkan kecantikan wanita. Fashion harus selalu berubah dan up to date. Selalu memunculkan trend-trend terbaru. Nah kondisi ini turut menyeret para hijabers sehingga mereka merasa harus selalu mengikuti trend busana muslimah teranyar, wajib terlihat fresh dan fashionable dengan model-model busana yang paling up to date. Mereka merasa bangga bila mengenakan busana muslimah merek ternama, karya desainer favorit atau bahkan mix and match dengan busana branded keluaran Barat, yang penting gombrong atau panjang. Seperti memadukan dress tanpa lengan dengan blazer keluaran Zara. Atau memadukan tunik dengan celana pantalon branded dari butik Max dan Spencer.
Padahal, sekali lagi sayang, busana-busana muslimah up to date yang mereka klaim itu, sangat jauh dari nilai-nilai syara’. Bahkan, terkadang yang tampak justru penampilan yang lebih glamour dan lebih tabaruj dibanding wanita pada umumnya yang tidak menutup aurat.
Hal ini tentu muncul keprihatinan. Disatu sisi kita salut dengan semangat berhijab mereka, namun di sisi lain mencuatkan opini di kalangan muslimah bahwa berbusana itu harus modis dan cantik. Padahal bukan itu esensi busana takwa, melainkan sebagai identitas dan penjagaan harga diri.
Jadi keberadaan kontes-kontes kecantikan muslimah semakin menguatkan opini bahwa muslimah itu harus cantik dan trendy, tak kalah dengan wanita-wanita yang tidak menutup aurat. Buktinya kontes inipun selalu mensyaratkan harus berusia muda (17-30 tahun), fotogenik, terlihat menarik saat difoto dalam beberapa angle, tertarik dan minat dengan dunia fashion.
Memang, mereka tak harus mengumbar aurat. Namun, kecantikan tetap saja menjadi poin penilaian. Wajah harus sedap dipandang dan bodi tinggi langsing. Pokoknya urusan kecantikan, nggak kalah dengan peserta kontes ratu-ratu kecantikan umumnya.
Nah, setiap peserta pasti ingin memenangkan kontes yang diikutinya. Apalagi hadiahnya cukup menjanjikan. Selain uang tunai jutaan rupiah, juga kesempatan menjadi terkenal sebagai foto model muslimah. Tentu saja, berbagai cara mereka lakukan untuk itu.seperti memutihkan wajah agar tampak lebih camera face, rajin ke salon sekadar manicure dan pedicure, menjaga kelembaban bibir, diet agar tetap langsing sehingga serasi mengenakan busana muslimah model apapun, dan perawatan lainnya.
Sementara itu, untuk menghasilkan foto yang eye cathing alias enak dipandang, tentunya harus ditunjang make up dan busana terbaik. Dipilihlah produk kosmetik termahal dan baju-baju yang harganya juga selangit. Kalau sudah begini, apa bedanya dengan peserta kontes-kontes ratu kecantikan pada umumnya? Sama-sama mengeksploitasi perempuan.
Sepintas, kontes semacam Worid muslimah dan sejenisnya terlihat bagus, namun sejatinya menebar racun-racun berbahaya. Kontes-kontesan ini hanya akan membuai para muslimah dengan gemerlapnya mimpi-mimpi ala perempuan sekuler: cantik, ngetop dan tajir.
Lebih dari itu, juga akan merusak mental generasi penerus Islam. Saat ini sangat banyak profil-profil hijaber yang dijajakan di media sebagai sosok yang jauh dari nilai-nilai Islam. Seperti adanya penyanyi atau bahkan pedangdut yang berhijab, juga para koruptor uyang menutupi malunya dengan hijab. Berhijab tapi berlenggak-lenggok di panggung, berhijab tapi mendayu-dayu di depan mikrophone.
Demikian pula tokoh-tokoh dalam sinetron di layar kaca yang berhijab tapi perilakunya culas, berhijab tapi pacaran, berjilbab tapi berikhtilat dengan lawan jenis, jalan berduaan dan bahkan pegang-pegangan tangan. Sungguh di luar adab islami dan bahkan terkesan melecehkan.
Secara tidak langsung ini mengajarkan kepada generasi muda, bahwa dengan hijab kita toh tetap bebas. Memang, bukan berarti yang belum atau tidak berhijab boleh berperilaku bebas. Sebab kewajiban berperilaku islami berbeda dengan kewajiban menutup aurat. Tentu yang ideal kedua kewajiban ini sama-sama dijalankan: menutup aurat disertai perilaku islami. Sama seperti kita menjalankan kewajiban salat, zakat dan puasa. Semua kewajiban itu tidak boleh ditinggalkan.
Posting Komentar