Oleh: Silmi Dhiyaulhaq, S.Pd.
Sebanyak 4.122 remaja dari 27 provinsi di Indonesia mengikuti program pelatihan digital melalui Digital Innovation Challenge 2022: Perempuan Inovasi. Dikutip dari website resminya https://inovasi.markoding.com, Digital Innovation Challenge merupakan program 9 bulan yang diselenggarakan oleh Markoding didukung oleh Clé de Peau Beauté dan UNICEF untuk meningkatkan keterampilan abad 21 (21st century skills) untuk memberdayakan anak remaja, khususnya remaja yang terpinggirkan (baca: mengalami ketidakadilan gender), melalui partisipasi aktif dengan bimbingan mentor profesional dan praktisi industri.
Remaja perempuan akan dibekali keterampilan abad 21, keterampilan digital, dan keterampilan wirausaha untuk membuat inovasi solusi digital berkelanjutan untuk menyelesaikan masalah sosial berbasis gender di sekitar komunitas mereka. (Kompas.com, 22/12/22)
Perlu kiranya diketahui bahwa Clé de Peau Beauté merupakan jenama perawatan kulit dan kosmetik premium dari Jepang. Ia memberikan dukungannya kepada Markoding melalui “Power of Radiance Awards”, yang bertujuan untuk memberdayakan anak remaja perempuan melalui pendidikan Sains, Teknologi, Teknik, dan Matematika (STEM) dengan membuat solusi inovasi digital berupa website, mobile apps, game.
Selama tahun 2022, program itu sudah menjangkau 4.122 remaja dari 742 sekolah di tahap SMP/MTs, SMA/MA, SMK, dan PKBM. Puncak kegiatan digelar melalui acara "Demo Day" yang diadakan pada 2 Desember 2022 lalu.
Sebanyak 537 ide solusi telah dikembangkan. Selain itu, dalam implementasinya, program itu juga memperkuat kapasitas 777 guru untuk mendukung pembelajaran melalui serangkaian kegiatan workshop menggunakan sumber daya yang telah terbangun melalui kerja sama dengan UNICEF Indonesia untuk menciptakan solusi permasalahan sosial di komunitas mereka.
Kurikulum Merdeka Belajar dan Kampus Merdeka Menguatkan Ide Kesetaraan Gender
Telah kita ketahui bahwa Pemerintah telah mengeluarkan program Merdeka Belajar, dimana perubahan yang diusung dari Merdeka Belajar adalah transformasi terhadap ekosistem pendidikan, guru, pedagogik, kurikulum, dan sistem penilaian.
Hal-hal yang menjadi fokus perubahan yang diusung 5 kategori ini menunjukkan respons positif dan keterbukaan Kemendikbud dalam mendukung partisipasi, kesetaraan, keterlibatan aktif masyarakat, dan membentuk suasana sekolah yang tidak diskriminatif. (ditpsd.kemdikbud.go.id, 4/5/21)
Lalu, dalam tataran praktik di sekolah ada pembinaan agar tidak terjadi bias gender, seperti penggunaan simbol-simbol dan gambar ilustrasi tidak menunjukan diskriminasi. Upaya tersebut merupakan sebuah upaya responsif gender.
Berdasarkan berbagai kebijakan dalam bidang pendidikan tersebut sangat terlihat bahwa ketidakadilan gender dianggap salah satu masalah dalam pendidikan. Sementara itu, kurikulum merdeka sangat responsif terhadap isu tersebut. Tanpa disadari, Kurikulum Merdeka telah mengakomodir program yang dicanangkan oleh gerakan feminisme global dimana pendidikan menjadi salah satu dari 12 bidang kritis yang dihasilkan dalam The Beijing Declaration and Platform for Action (BPfA), yakni perempuan dalam pendidikan dan pelatihan. Sehingga ketika ada pihak yang ingin menawarkan kerja sama terkait hal tersebut direspon dengan “sangat baik.”
Akar Masalah Pendidikan adalah Sekularisme, bukan Ketidakadilan Gender
Peningkatan pendidikan perempuan dalam kesetaraan gender telah menjadi isu prioritas global sejak tahun 1990-an. Diangkat dalam forum Konferensi Internasional Kependudukan dan Pembangunan (1994), Konferensi Dunia Keempat (1995) tentang Perempuan di Beijing, KTT Milenium (2000), diadopsi dalam Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs), hingga Sustainable Development Goals (SDGs) 2015.
Namun, hingga peringatan Beijing +25 lalu, para pejuang gender masih melaporkan ada 58 juta (setengahnya perempuan) anak usia sekolah dasar (SD) putus sekolah di seluruh dunia; 121 juta anak drop out dari SD dan sekolah menengah pertama (SMP), bahkan di AS saja tercatat 1,2 juta anak drop out dari sekolah menengah atas (SMA). Di Indonesia, data BPS 2018 menunjukkan rata-rata lama sekolah anak perempuan hanya 8,26 tahun (hanya sampai kelas 8 atau 2 SMP), sedangkan rata-rata lama sekolah anak laki-laki adalah 8,90 tahun (sampai kelas 9 atau 3 SMP), tidak bertaut jauh.
Pendidikan memang faktor utama yang menjamin akses seseorang ke dunia kerja, terlebih di era kapitalisme saat ini, dimana jumlah lapangan pekerjaan sangat bergantung pada nilai investasi dan industri yang bersifat profit–oriented. Para investor dan industri privat tidak akan mengambil tenaga kerja kecuali cukup profesional, terdidik, dan terampil.
Walaupun demikian, menjadikan isu kesetaraan pendidikan perempuan dalam perspektif gender yang ujung-ujungnya menjadikan perempuan sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi, pendorong peningkatan PDB per kapita, dan perluasan lapangan kerja yang berdampak pada pengentasan kemiskinan, hanya isu yang dimanfaatkan untuk menutupi ketidakmampuan negara menyediakan jumlah lapangan pekerjaan yang cukup agar setiap individu dapat bekerja. Isu kesetaraan gender akhirnya mengalihkan persoalan mendasar pendidikan. Sistem kapitalisme hanya menjadikan layanan pendidikan mengikuti paradigma pendidikan ala kapitalisme global.
Kesetaraan Gender Bukan Solusi, Islam Solusi Hakiki
Kesetaraan gender dianggap mampu menyelesaikan permasalahan yang membelit perempuan hingga ke akarnya. Apakah benar demikian?
Wacana ini muncul karena adanya anggapan bahwa peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan di masyarakat tidak seimbang. Laki-laki dianggap sebagai kaum nomor satu yang mempunyai hak memimpin, bekerja, dan sejumlah peran di ranah publik lainnya. Sementara kaum perempuan hanya memiliki tempat di sektor domestik sehingga rawan mendapatkan tindak kekerasan dan diskriminasi. Terbatasnya wilayah kaum perempuan ini juga dianggap mengekang dan mematikan kreativitas perempuan sehingga tak bisa mengembangkan diri.
Nyatanya kesetaraan gender bukanlah solusi yang mampu menyelesaikan permasalahan kaum perempuan hingga tuntas. Ide kesetaraan gender justru menjadi penyebab munculnya sejumlah masalah sekaligus menambah keruwetan yang ada. Jika kesetaraan gender mampu menyelesaikan permasalahan perempuan, tentu saat ini mereka tidak lagi menghadapi masalah yang berat. Namun kenyataannya tidak demikian.
Contohnya para perempuan yang bekerja dengan tujuan materi dan eksistensi diri malah menambah masalah baru, seperti tidak sempat mengurus dan mendidik anak sehingga anak kekurangan kasih sayang dan pendidikan.
Melihat kondisi demikian maka kita sebagai seorang Muslim harus meyakini bahwa Islam merupakan sistem hidup sempurna yang diturunkan Allah SWT dan satu-satunya harapan untuk mensejahterakan manusia termasuk di dalamnya kaum remaja perempuan. Islam dengan seperangkat aturannya yang komprehensif telah menetapkan berbagai hukum untuk manusia dalam sifatnya sebagai manusia. Islam juga menetapkan hukum-hukum khusus sesuai dengan jenisnya, laki-laki maupun perempuan dan secara jelas menunjukkan perlawanan terhadap ide kesetaraan gender.
Perbedaan hukum antara laki-laki dan perempuan bukanlah menjadikan perempuan lebih rendah, karena dalam Islam kemuliaan manusia terletak pada ketakwaannya kepada Allah. Perbedaan hukum ini, misalnya kewajiban mencari nafkah ada pada laki-laki, warisan laki-laki dua kali bagian perempuan, dan sebagainya, justru menjamin perwujudan peran masing-masing sesuai dengan kodratnya.
Islam juga menetapkan negara sebagai pengatur urusan umat, yang wajib memenuhi kebutuhan umat, laki-laki maupun perempuan. Islam memiliki mekanisme sempurna yang menjamin pemenuhan kebutuhan pokok setiap individu rakyat, dan justru melarang negara menggunakan mekanisme pasar dalam melayani rakyatnya.
Pada akhirnya, harus kita akui bahwa pelatihan digital dibalut ide kesejahteraan gender, yang diharapkan mampu menjadi solusi masalah remaja perempuan tidak akan mampu mewujudkan janjinya. Oleh karena itu, telah jelas bagi kita untuk menjauhi ide kesetaraan gender serta segera menjadikan Islam sebagai aturan kehidupan agar pendidikan berkualitas seluruh manusia dapat terwujud tak terkecuali kaum perempuan.
Wallahu’alam bishshawab
Posting Komentar