Guys sekarang banyak mitos mengenai kreativitas, dan yang paling berbahaya adalah mitos tentang genius. Siapa dia? Yaitu seorang manusia dengan bakat yang luar biasa, yang muncul tiba-tiba tanpa sumber pengaruh atau pendahulu, terhubung langsung dengan Sang Pencipta, jika insprasinya datang sambarannya seperti kilat, bahkan seperti bohlam lampu menyala dibenaknya.
Lalu menggunakan sisa waktunya untuk mewujudkan ide menjadi karya besar yang diluncurkan ke dunia yang gegap gembita. Jika kita percaya tentang mitos genius ini, berarti kreativitas atau antisosial hanya dilakukan oleh beberapa orang sosok hebat saja. Kebanyakan dari mereka sudah meninggal, seperti Mozart, Einstein, Picassco, Ibnu Sinna, Al Khawrizmi, de el el, yang selebihnya kita hanya ternganga karena pencapaian mereka.
Lalu bagaimana seharusnya cara pandang kita agar sehat mengenai kreativitas, kata Brian Eno, kita harus memandang kreativitas dengan ‘scenius” dengan ini gagasan-gagasan besar sering dilahirkan dari orang-orang kreatif, seniman, penulis, curator, pemikir, perumus teori atau trendsetter lainnya dimana cara ini membangun sebuah zona orang-orang yang punya mimpi besar.
Jika kita teliti sejarah lagi, banyak orang yang kita anggap genius yang sendiri, tapi sebenarnya mereka merupakan bagian dari kelompok orang yang saling mendukung, mengamati karya satu sama lain, saling mencuri ide, dan saling menyumbang gagasan. Scenius tak mengambil apapun dari capaian orang-orang hebat ini. Tapi menyadari bahwa karya bagus tak mungkin muncul begitu saja. Dan juga kreatif dalam aspek tertentu, selalu berupa kolaborasi, hasil pemikiran yang terkait dengan pemikiran lainnya.
Waow keren, begitu juga dengan Islam! Ya Islam, adakah yang lebih indah darinya? Pemikiran yang cemerlang, yang mampu mengubah dunia menjadi peradaban yang tiada duanya yaitu peradaban keemasan yang mampu melahirkan generasi-generasi ulung dan orang genius seperti tokoh diatas.
Tak mengubah pengertian dan tak akan lekang dimakan waktu jika bicara tentang Islam, terlepas banyak yang bisa berubah daengan adanya Islam, ada benci dan juga ada cinta. Jika ada orang yang sangat membenci Islam maka tentunya sangat banyak juga yang mencintai Islam.
Bicara soal cinta, tak mungkin juga jika cinta yang kita miliki terhadapnya kita pendam begitu saja. Karena cinta yang terpancar dari-Nya telah merasuk dalam jiwa kita para pengembannya, cinta yang tertanam karena-Nya mampu membangkitkan pola pikir dan pola sikap kita. Sebuah pola pikir yang mampu gerakkan sikap kita dalam berbagai aspek kehidupan kita yang terealisasikan dalam berbagai langkah
Sebuah langkah-langkah yang tak akan lepas dari cara berpikir kita yang terbentuk dari cinta pada-Nya. Sebuah langkah yang selalu berhubungan dengan hasil pemikiran dan yang terkait dengan pemikiran lainnya.
Inilah konsep scenius yaitu pemberian ruang dan dalam kisah kreativitas untuk kita semua. Menjadi bagian suatu scenius bukan berarti menunjukkan betapa cerdasnya kita atau berbakatnya kita, melainkan apa yang kita kontribusikan gagasan yang kita bagi, kualitas dan percakapan yang kita lakukan. Saat kita lupa masalah genius dan lebih berpikir cara mengembangkan dan berkontribusi pada scenius, kita dapat menyesuaikan harapan sendiri, berpikir kreatif dengan ide-ide yang cemerlang. Dan berhenti bertanya apa yang orang lain berikan, tapi mulai bertanya apa yang kita sumbangkan untuk agama tercinta ini yaitu Islam.
Dengan kondisi carut marut seperti ini guys, tak mungkin kita diam saja, tapi sebaiknya berkontribusi dengan menyumbangkan apa yang kita bisa, agar tak tergerus dengan sebuah system ini. Abaikan kesempurnaan, tapi lebih cintailah sesuatu. Seperti cinta terhadap Islam, cinta terhadap dakwah dan cinta kepada umat.
Pada zaman ini, bergabung dengan scenius sangat mudah guys, bahkan internet juga berupa scenius yang saling terhubung, tak indahkan lagi lokasi fisik, blog, tweetter, FB, google+, IG, serta situs-situs media sosial lainnya grup email, WA, ruang diskusi, forum semuanya sama: tempat vital yang dapat didatangi orang untuk membicarakan hal-hal penting. Tak ada penjaga pintu, penjaga gawang, dan juga perintah-perintah untuk memasuki tempat-tempat ini. Kita nggak perlu kaya, nggak perlu terkenal dan nggak perlu punya CV cemerlang atau gelar yang fenomenal. Di dunia maya semua orang bisa berkarya, seperti seniman, curator, guru dan murid, penulis, dokter, petani, ahli, ataupun pemula mampu sumbangkan sesuatu.
Dan setiap orang diberikan kesempatan untuk berkontribusi sebaik-baiknya, untuk bangkit menuju kebangkitan Islam melalui berpikir scenius dan dakwah fikriyah. Kenapa harus dengan dakwah fikriyah guys? Karena manusia nggak akan berfikir tentang perubahan kecuali kalau sadar bahwa ada realitas yang rusak dan buruk, atau paling sedikit nggak sesuai dengan apa yang dinginkan. Dan agar ada perubahan harus ada penginderaan tentang kerusakan tadi. Tapi sekedar sadar saja nggak cukup guys, harus sadar juga terhadap realitas pengganti yang rusak tadi sesuai yang diinginkan.
Jadi, harus ada aktivitas untuk mengubah pola pikir masyarakat yang awalnya tidak berpikir islami menjadi berpola pikir Islam. Karena pemikiran hanya bisa diubah dengan pemikiran juga bukan yang lain contoh: fisik, tentu bukan kan! Dengan ini umat diajak untuk berpikir tentang realitas yang terjadi saat ini secara nyata banget, sehingga kita ngeh kalau sedang ada masalah yang terjadi pada umat Islam.
Tanpa adanya aktivitas menuju perubahan ini yang fokus pada pemikiran yaitu dakwah yang berusaha untuk membangkitkan taraf berpikir umat, bisa bahaya guys! Karena kalau umat Islam pada nggak sadar dan nggak ngerti kalau sekarang sedang bermasalah, ini sangat mudah sekali bagi orang-orang kafir untuk melemahkan bahkan memperdaya umat Islam. Jadi, menemukan scenius dan bergabung dengannya sangatlah wajib bagi kita, sebab kalo tidak kita akan berada pada zona aman, yang tahu-tahu kita sudah jadi makanan empuk para penjajah.
Scenius punya cara unik untuk berkontribusi terhadap bangsa yaitu berkarya, tanpa kita harus genius dulu, yaitu memanfaatkan setiap waktu untuk berkreasi, berkontribusi, dan berkolaborasi agar impian kita terwujud yaitu kebangkitan. Dan scenius juga sangat menghargai cara penulis dalam menyampaikan ide-idenya untuk kebangkitan. Menurut scenius menulis adalah aktivitas berpikir tingkat tinggi yang telah mengerahkan seluruh waktu dan tenaganya untuk berpikir.
Dan scenius melakukan aktivitas menulis atas dasar kesenangan, memperjuangkan karya dengan semangat cinta, tanpa menghiraukan potensi kesohoran, uang, atau karier, tapi bersedia mencoba apa saja dan berbagi hasilnya. Mereka para scenius mengambil kesempatan, bereksperimen dan mengikuti naluri, kadang tidak professional juga, tapi selalu menemukan hal-hal baru. Jadi tak perlu takut untuk menyampaikan kebenaran melalui menulis walaupun tidak sebagus para professional karena scenius mengajarkan jika ilmu ingin berkembang maka harus terus mencoba dan berbagi.
Setiap Kecerdasan Unik
Di papan tulis, saya menggambar sebatang pohon kelapa di tepi pantai, lalu sebutir kelapa yang jatuh dari tangkainya.
Lalu saya bercerita, ada 4 anak yang mengamati fenomena alam jatuhnya buah kelapa ditepi pantai itu.
Anak ke 1 : Dengan cekatan dia mengambil secarik kertas, membuat bidang segi tiga, menentukan sudut, mengira berat kelapa, dan dengan rumus matematikanya anak ini menjelaskan hasil perhitungan ketinggian pohon kelapa, dan energi potensial yang dihasilkan dari kelapa yang jatuh lengkap dengan persamaan matematika dan fisika.
Lalu psikolog tanya kepada siswa saya : “Apakah anak ini cerdas?”
Dijawab serentak sekelas : “iya… Dia anak yang cerdas.” Lalu saya lanjutkan cerita …
Anak ke 2 : Dengan gesit anak kedua ini datang memungut kelapa yang jatuh dan bergegas membawanya ke pasar, lalu menawarkan ke pedagang dan dia : “bersorak … yesss … laku Rp 5.000”
Kembali saya bertanya ke anak-anak di kelas : “apakah anak ini cerdas?”
Anak-anak menjawab : “iyaa … Dia anak yang cerdas.”
Lalu saya lanjutkan cerita…
Anak ke 3 : Dengan cekatan, dia ambil kelapanya kemudian dia bawa keliling sambil menanyakan, pohon kelapa itu milik siapa? Ini kelapanya jatuh, mau saya kembalikan kepada yang punya pohon.
Saya bertanya kepada anak-anak : “apakah anak ini cerdas?”
Anak-anak dengan mantap menjawab : “Iya … dia anak yang cerdas.”
Sayapun melanjutkan cerita ke empat …
Anak ke 4 : Dengan cekatan, dia mengambil kelapanya kemudian dia melihat ada seorang kakek yang tengah kepanasan dan berteduh dipinggir jalan. “Kek, ini ada kelapa jatuh, tadi saya menemukannya, kakek boleh meminum dan memakan buah kelapanya”.
Lalu saya bertanya : “apakah anak ini, anak yang cerdas?”
Anak-anak menjawab :”Iya … dia anak yang cerdas.”
Anak-anak menyakini bahwa semua cerita di atas menunjukkan anak yang cerdas. Mereka jujur mengakui bahwa setiap anak memiliki “Kecerdas-unikan-nya”.
Dan mereka ingin dihargai “Kecerdas-unikan-nya” tersebut.
Namun yang sering terjadi, di dunia kita, dunia para orang tua dan pendidik, menilai kecerdasan anak hanya dari satu sisi, yakni ?
“Kecerdasan Anak Pertama, Kecerdasan Akademik”, Lebih parahnya, kecerdasan yang dianggap oleh negara adalah kecerdasan anak pertama yang diukur dari nilai saat mengerjakan UN.
Sedang …
“Kecerdasan Finansial” (anak no 2), “Kecerdasan Karakter” (anak no 3) dan “Kecerdasan Sosial” (anak no 4). Belum ada ruang yang diberikan negara untuk mengakui kecerdasan mereka.
Anak anda termasuk nomor berapa?
Saya jadi ingat, dulu sering kami jadikan olok-olokan saat SMA, antara anak IPA dan anak IPS, siapa yang sebenarnya cerdas? Bagaimana kira-kira perasaan buat anak IPS? Terkadang terasa diperlakukan jadi siswa yang terpinggirkan…. Duh menyedihkan…
Anak anda semuanya adalah anak-anak yang cerdas dengan “keunikan dan kecerdasan-nya” masing-masing. Hargai dan jangan samakan dengan orang lain atau bahkan dengan diri anda sendiri.
Mari hargai kecerdasan anak kita masing-masing, dan siapkan mereka dengan 4 Kecerdasan (Akademik, Finansial, Karakter, dan Sosial) sebagai pedoman dimana mereka akan mengarungi lautan hidup kelak.
Tiap manusia lahir dengan kecerdasan dan keunikan masing-masing.
Posting Komentar