Artikel ini sambungan dari :
SELAIN TANTANGAN yang ditimbulkan oleh penjajah Barat, Khilafah Utsmaniyah menghadapi tantangan dari dalam dunia Muslim, terutama dari kekuatan besar Muslim lainnya,
Kerajaan Persia, yang berpusat di Iran saat ini. Pada tahun 1501 seorang Muslim Syiah berbahasa Turki bernama Ismail I (1487–1524) naik ke tampuk kekuasaan sebagai syah (raja), atau pemimpin tertinggi, dari Kekaisaran Persia, yang terletak di sebelah timur. Seperti halnya khalifah dalam Muslim Sunni, Syah Persia memegang kekuasaan baik agama maupun politik.
Ismail dan Syah kemudian memimpin Persia dalam kontes yang sengit dengan Khilafah Utsmaniyah untuk menguasai Jazirah Arab timur (daerah barat daya Asia antara Laut Merah dan Teluk Persia).
Sebagian besar pertempuran sebenarnya mereka lakukan di wilayah Irak saat ini; Bagdad, ibu kota wilayah tersebut, yang dinilai sangat berharga oleh kedua imperium tersebut. Konflik antara kedua imperium ini berlanjut dalam berbagai pertempuran dan peperangan hingga tahun 1823, ketika kedua belah pihak menyetujui perbatasan baru yang memberikan tanah yang setara untuk Utsmani maupun Persia.
Salah satu alasan perdamaian akhirnya dibuat antara keduanya adalah karena mereka terancam oleh ekspansi Rusia dan perlu mengirim pasukan dan sumber daya untuk melawan Rusia. Terlepas dari perdamaian yang dibuat, bentrokan militer yang panjang antara kedua kekuatan Muslim ini memberikan kontribusi besar terhadap berlanjutnya ketidakpercayaan dan permusuhan antara Muslim Sunni dan Syiah.
Selain itu, Utsmani juga menghadapi sejumlah tantangan dari gerakan-gerakan kemerdekaan di dalam wilayah kekuasaannya.
Sejak Mesir dibawa dalam Kekhilafahan Utsmaniyah pada tahun 1517, terbukti menjadi wilayah yang sulit dikendalikan. Meskipun dihuni oleh etnis Arab, orang Mesir bangga dengan sejarah budaya mereka yang khas, yang berasal dari zaman kuno, dan mereka tidak suka menerima instruksi dari para pemimpin Kesultanan Turki.
Mereka berperang dengan penguasa Utsmani mereka untuk mengendalikan kekayaan yang dihasilkan oleh pertanian maju mereka, dan mereka berusaha untuk tetap mengontrol jalur perdagangan yang menyediakan jalur antara Laut Tengah dan Laut Merah. Banyak gubernur Mesir setempat memperebutkan kekuasaan dengan kepala militer Utsmani.
Salah satu gubernur Mesir tersebut, Ali Bey (1728–1773), menguasai Mesir pada tahun 1768, merebut wilayah Hijaz di Jazirah Arab, dan untuk sementara menguasai Suriah sebelum dia kehilangan kekuasaan. Menawarkan bantuannya kepada Utsmani pada tahun-tahun setelah pemberontakan Bey, pasukan Prancis menaklukkan Mesir pada 1798 dan berusaha membangun kendali Prancis di sana. Tetapi kekuatan Eropa lainnya, Inggris, membantu Utsmani menyingkirkan Prancis pada tahun 1801.
Keterlibatan Inggris dimaksudkan untuk memulihkan kekuasaan Utsmani, tetapi setelah 1801 sekutu sultan Utsmani kelahiran Albania bernama Mohammad Ali (1769–1849) muncul sebagai kekuatan baru di wilayah itu. Ali adalah pemimpin yang cakap. Dia dengan cepat memodernisasi Mesir, membangun saluran irigasi untuk menyediakan air ke daerah gurun, meningkatkan teknologi pertanian, membangun sekolah, dan mengembangkan militer yang lebih kuat.
Salah satu penerus Ali, Ismail Pasha (1830–1895), melanjutkan pekerjaan Ali dan memimpin pembangunan Terusan Suez, jalur air penting yang menghubungkan Laut Mediterania dan Laut Merah.
Ketika kebijakan Pasha membawa Mesir ke dalam krisis keuangan, Inggris dan Prancis terlibat, hampir mengambil kendali negara pada tahun 1879 sebelum Inggris memantapkan dirinya sebagai satu-satunya kekuatan di Mesir pada tahun 1882, peran yang dipegangnya sampai negara tersebut mendeklarasikan kemerdekaan pada tahun 1953.
Tantangan besar lainnya terhadap pemerintahan Utsmani datang dari gerakan keagamaan Arab yang dikenal sebagai Wahhabi, sebutan yang muncul mengikuti nama pendirinya, Muhammad bin Abdul Wahhab (1703–1792).
Ibn Abdul Wahhab dan para pengikutnya mengkhotbahkan versi Islam secara fudamental: mereka ingin umat Islam hanya mentakzimkan Nabi Muhammad dan mengikuti Syariah, atau hukum Islam, dengan sangat ketat.
Wahhabi percaya pada ketaatan yang ketat terhadap sholat sehari-hari dan mengecualikan perempuan dari hal-hal seperti pekerjaan, posisi kepemimpinan, kepemilikan tanah, dan bidang kehidupan lainnya yang dianggap oleh Wahhabi hanya diperuntukkan bagi laki-laki.
Pada 1744 Ibn Abdul Wahhab bersekutu dengan seorang pemimpin suku, atau syekh, bernama Muhammad bin Saud (1710–1765), yang memerintah di wilayah Semenanjung Arab di Najd. Bersama-sama, Ibn Saud dan Ibn Abdul Wahhab membangun pengikut dan pasukan, dan mulai merebut kekuasaan di Jazirah Arab bagian selatan.
Pada akhir abad itu mereka menguasai kota-kota suci Mekkah dan Madinah, dan memiliki pasukan maju sejauh utara Suriah. Sementara pasukan Mesir mampu membatasi penyebaran gerakan Wahhabi, Ibn Saud dan keluarganya mempertahankan kendali di daerah gurun Arabia.
Selama Perang Dunia I, Saudi memberikan dukungan untuk Inggris melawan Khilafah Utsmaniyah yang sekarat. Pada tahun 1932 wilayah tersebut memperoleh kemerdekaan sebagai Arab Saudi. Sampai hari ini, orang Saudi mengikuti ajaran Wahhabi yang konservatif.
Bersambung ke :
Posting Komentar