MENJELANG awal abad keenam belas, Kesultanan Utsmaniyah merupakan salah satu peradaban paling kuat dan maju secara budaya di dunia. Dari awalnya sebagai sebuah negara kecil yang didirikan pada tahun 1299 di wilayah yang menjadi Turki saat ini, Kesultanan ini berkembang secara dramatis selama bertahun-tahun.
Pada tahun 1453 Utsmani merebut Konstantinopel, sehingga menghancurkan sisa-sisa terakhir Kekaisaran Bizantium (bagian dari kekaisaran Romawi yang memerintah sejak 330 hingga 1453 M di Asia dan Timur Tengah), dan pada tahun 1516–1517 mereka telah merebut banyak wilayah Timur Tengah, yang saat ini mencakup Mesir, Irak, Lebanon, Palestina, dan Suriah. Pada awal abad ketujuh belas Utsmani telah
berkembang mengusai sebagian besar Afrika utara dan Eropa tenggara, termasuk wialayah-wilayah Yunani, Bulgaria, Rumania, dan negara-negara Balkan (Serbia, Montenegro, Kroasia, Makedonia, Slovenia, dan Bosnia dan Herzegovina).
Para pemimpin Kesultaan Utsamaniyah adalah sultan, atau emperor, yang merupakan keturunan dari pendiri kesultanan, Usman I (1259–1326). Sultan memegang kekuasaan yang sangat besar dalam pemerintahan. Selain sebagai sultan, ia juga dihormati dengan gelar khalifah, gelar yang membuatnya menjadi pemimpin politik dan agama umat Islam.
Sebagian besar orang Turki adalah Muslim, begitu pula sebagian besar orang yang tinggal di Timur Tengah, dan mereka memandang khalifah sebagai pemimpin mereka. Sementara Kekhilafahan Utsmaniyah resmi menjadi negara Muslim, ekspansinya yang cepat menempatkannya pada kendali atas daerah-daerah dengan populasi besar orang Kristen dan populasi yang lebih kecil orang Yahudi.
''Hebatnya masyarakat polietnis [banyak etnis] dan multireligius ini berhasil,’’ tulis Benjamin Braude and Bernard Lewis dalam Christians and Jews in the Ottoman Empire: The Functioning of a Plural Society. ‘‘Tradisi dan praktik hukum setiap komunitas, khususnya dalam hal urusan pribadi—kematian, pernikahan, dan warisan—dihormati dan ditegakkan di seluruh kekhilafahan. ... Peluang untuk kemajuan dan kemakmuran terbuka dalam berbagai tingkatan untuk semua rakyat Kekhilafahan.''
Meskipun mereka tidak menerima semua hak umat Islam, warga agama minoritas menikmati kualitas hidup yang jauh lebih baik di bawah kekuasaan Muslim daripada minoritas serupa di Eropa pada saat yang sama.
Di puncak kekuasaan dan pengaruhnya, Khilafah Utsmaniyah mungkin merupakan peradaban paling maju di dunia. Mereka memiliki sistem pemerintahan yang luas yang mampu mengumpulkan pajak dan mengumpulkan pasukan untuk menghadapi musuh-musuhnya. Mereka memiliki budaya agama yang stabil, bersama jutaan orang beriman yang setia.
Selama Abad Pertengahan (500–1500 M), ketika pembelajaran dan seni sebagian besar menghilang dari Eropa karena jatuhnya peradaban Yunani dan Romawi dan penciptaan kerajaan-kerajaan kecil yang berfokus pada kelangsungan hidup dan peperangan, warga Muslim Utsmaniyah melestarikan pembelajaran dan filosofi Yunani, dan mereka membangun masjid besar dan karya seni.
Pada tahun-tahun awal Khilafah Utsmaniyah, umat Islam pada umumnya memandang rendah orang-orang dari Barat sebagai orang barbar yang mengikuti agama yang bobrok dan memiliki masyarakat yang lebih primitif.
Namun, seiring kemajuan budaya Eropa selama abad kelima belas, keenam belas, dan ketujuh belas, interaksi antara Utsmaniyah dan Eropa meningkat. Muslim menawarkan barang-barang pertanian kepada orang Barat seperti kapas, gula, dan buah jeruk; mereka memperkenalkan teknik pembuatan kertas yang telah mereka pelajari dari orang Cina, memungkinkan penyebaran buku cetak lebih cepat; dan mereka berbagi pengetahuan unggul mereka tentang matematika, kimia, dan sains lainnya.
Sultan Sulaiman I (1494–1566) memerintah dari tahun 1520 hingga 1566, dan Khilafah Utsmaniyah mempertahankan kekuatannya hingga abad ke-17. Akan tetapi, menjelang akhir abad ke-17, tanda-tanda yang jelas mulai muncul tentang pergeseran besar dalam perbandingan kekuatan antara negara-negara Barat dan wilayah yang dikuasai oleh Utsmaniyah.
Banyak sejarawan memandang tahun 1683 sebagai tanda pergeseran tersebut, karena pada tahun inilah pasukan Austria mengalahkan pasukan Utsmaniyah yang berusaha merebut ibu kota Austria, Wina. Tidak hanya tentara Utsmaniyah tampil sangat buruk, tetapi adanya perjanjian yang akhirnya mengakhiri perang antar negara (perjanjian Carlowitz, ditandatangani pada tahun 1699) menghukum Utsmaniyah, memberi penghargaan kepada Austria, dan mengungkap kemampuan negosiasi perwakilan dari Inggris dan Belanda.
Kekalahan militer dan syarat-syarat perjanjian yang memalukan telah mengirimkan gelombang kejutan ke seluruh komunitas Muslim Utsmani.
Menurut Bernard Lewis, menulis dalam The Middle East: A Brief History of the Last 2.000 Years, umat Islam saat itu bertanya, ‘‘Mengapa orang-orang kafir yang malang [orang yang tidak percaya pada agama tertentu], yang sebelumnya selalu ditaklukkan oleh tentara Islam yang gemilang, sekarang menang, dan mengapa tentara Islam menderita kekalahan di tangan mereka?” Jawabannya, terungkap selama beberapa abad berikutnya, yakni Barat telah mulai mengungguli Timur Tengah dalam hal kekuatan militer dan teknologi, perdagangan, organisasi politik, dan keyakinan.
Bersambung ke :
Disadur dari buku : Runtuhnya Turki Utsmani berkembangnya sekat negara bangsa di dunia
Posting Komentar