Oleh: Silmi Dhiyaulhaq, S.Pd.
Moderasi beragama kembali diaruskan oleh Kementerian Agama (Kemenag) melalui program terbarunya yaitu Program Pendidikan Profesi Guru (PPG) Pra Jabatan bagi pendidik madrasah.
Program ini akan diakselerasi pelaksanaannya mulai tahun 2023. Akselerasi PPG Pra Jabatan bagi pendidik madrasah ditargetkan untuk mencetak guru moderat, inovatif, dan inspiratif yang dikenal sebagai guru MODIIS. Akselerasi ini sudah melalui kajian dalam proses diklat kepemimpinan nasional dan merupakan program perubahan. (kemenag.go.id, 6/12/2022)
Untuk diketahui bahwa akselerasi PPG Pra Jabatan akan dijadikan upaya untuk mencetak New Teacher yakni Guru Baru yang profesional dan moderat serta digital mindset dalam mencerdaskan kehidupan bangsa sekaligus menjawab persoalan-persoalan kekinian. "New Teacher” hadir untuk menyapa generasi milenial yang memiliki ketangkasan global.
Adapun alasan perlunya “New Teacher” ini karena dianggap penting untuk merespon tantangan era revolusi industri 4.0 dan era disrupsi. Dalam beberapa tahun terakhir, perkembangan budaya digital kian tak terbendung. Saat ini, semua elemen masyarakat telah berangsur-angsur bertransformasi mengikuti arus tersebut, termasuk guru.
Arus besar dari generasi muda yang akrab disebut generasi milenial dan zilenial atau Gen Z. Sebab, dalam genggaman mereka, berbagai informasi, mulai dari teks, video hingga permainan dengan mudah didapatkan, tak lain melalui media smartphone dan perangkat digital lainnya. Kondisi ini tentu menuntut guru untuk terus melakukan pengembangan kompetensi diri dalam merespon era digital. Guru harus meningkatkan digital skill dan ilmu yang adaptif dalam merespon zaman.
Bedakan Hadharah dan Madaniyah dalam Islam
Apa yang dicanangkan oleh Kemenag dalam menjawab tantangan perkembangan zaman tentu perlu diapresiasi. Mewujudkan guru yang memiliki kemampuan digital yang mumpuni di era revolusi industri 4.0 memang diperlukan. Hanya saja jangan dicampur dengan program moderasi. Sebab moderasi merupakan ide berbahaya apabila sampai diterima oleh masyarakat. Terlebih yang menyampaikannya adalah seorang guru madrasah.
Kita ketahui bahwa moderasi beragama merupakan penghalusan istilah dari sekularisme, pluralisme (sinkretisme agama), dan liberalisme. Dalam moderasi beragama diajarkan bahwa semua agama sama. Tidak boleh ada yang mengklaim agamanya yang benar, lalu diajarkan toleransi beragama yang kebablasan. Mencampuradukkan akidah agama Islam dengan agama lain. Tentu ini merupakan hal yang sangat berbahaya.
Maka, perlu kita bedakan bahwa dalam Islam dikenal ada hadharah (peradaban/kebudayaan), ada pula madaniyyah (benda-benda). Hadharah adalah sekumpulan pemahaman/ide tentang kehidupan. Hadharah yang boleh diambil oleh seorang Muslim hanyalah hadharah Islam saja. Ia tidak boleh mengambil hadharah di luar Islam, seperti sekularisme, pluralisme, materialisme, dan lain-lain.
Sementara teknologi, sekalipun dari Barat maka itu bebas nilai. Seorang Muslim boleh mengambil teknologi baik yang berasal dari Islam maupun dari Barat. Terkait hal ini, maka tidak ada masalah apabila seorang Muslim memanfaatkan teknologi. Apalagi teknologi tersebut digunakan untuk kemaslahatan umat dan sarana untuk menyebarluaskan ajaran Islam (dakwah).
Adapun madaniyyah (benda-benda), maka ia dibagi dua. Pertama, benda yang terkait dengan hadharah tertentu. Maka seorang Muslim tidak boleh menggunakan madaniyyah yang terkait hadharah di luar Islam, seperti benda salib, patung, pakaian biarawati, dan lain-lain. Kedua, madaniyyah yang tidak terkait hadharah tertentu seperti laptop, mobil, smartphone, dan lain-lain. Maka Muslim dapat menggunakannya.
Oleh karena itu, seorang Muslim harus memahami tentang perbedaan hadharah dan madaniyyah agar tidak tertukar. Jangan sampai terjadi, hadharah Barat diambil sementara teknologi yang hukumnya mubah (boleh) diambil malah dijauhi. Ini akan menyebabkan kemunduran dan keterbelakangan umat Islam.
Moderasi Agama Berbahaya
Moderasi beragama bukanlah program baru. Ia dulu diperkenalkan oleh kalangan Islam Liberal, sekitar tahun 2000-an. Saat itu tidak laku. Banyak masyarakat dan ulama menolak.
Pada tahun 2005 melalui Keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor: 7/MUNAS VII/MUI/II/2005 Tentang Pluralisme, Liberalisme Dan Sekularisme Agama, MUI mengeluarkan fatwa bahwa pluralisme, sekularisme dan liberalisme agama adalah paham yang bertentangan dengan ajaran agama Islam. Umat Islam haram mengikuti paham pluralisme, sekularisme dan liberalisme. Namun sayang, seiring semakin sekulernya rezim maka moderasi ini kembali digaungkan bahkan terus diaruskan.
Hal ini di-amin-kan oleh Hamid Fahmy Zarkasyi saat menyampaikan bahwa liberalisasi ini terus berjalan. Pengajar Filsafat Islam dan Direktur Pascasarjana UNIDA Ponorogo ini menambahkan, “Momentum perubahan kurikulum menjadi puncak dari itu (liberalisasi) secara akademik dan sosial.” Sungguh mengerikan karena semua program ini dijalankan dengan sangat halus dan tidak terasa. Bahkan, para praktisi pendidikan mungkin tidak menyadari telah menjadi kepanjangan tangan dalam program moderasi ini apabila tidak berhati-hati.
Perlu ditegaskan kembali bahwa moderasi Islam ini berbahaya. Ketua Forum Doktor Muslim Indonesia, Ahmad Sastra menyebutkan bahwa “Moderasi Islam menjadikan umat meragukan ajaran Islam, tidak bangga dengan agamanya, dan sinkretisme dengan pemikirian di luar Islam.”
Beliau menambahkan, “Pun demikian, kata wasathiyah yang kerap dihubungkan dengan moderat jelas berbeda maknanya. Wasathiyah bukan moderat. Jihad bukan terorisme. Khilafah bukan khilafahisme dan radikalisme. Itu penyebutan salah dan fatal."
Apa yang disampaikan Ketua Forum Doktor Muslim Indonesia itu dapat dijumpai pada beberapa tafsir. Misalnya, di dalam Tafsir Jalalain (1/149) disebutkan bahwa makna ‘ummat[an] wasatha’ dalam QS al-Baqarah ayat 143 adalah ‘khiyar[an] wa ‘udul[an]’ (umat terbaik dan adil).
Hal senada disebutkan dalam Tafsir Ibnu Katsir (1/454), makna ummat[an] wasatha adalah ‘khiyaral ummah’ (umat terbaik).
Dalam Tafsir Ath-Thabari (3/141) juga disebutkan ‘wa ammal wasatha fa innahu fi kalamil ‘arab al-khiyar’ (wasatha dalam Bahasa Arab artinya adalah yang terbaik).
Jadi, ummat[an] wasatha bukanlah umat moderat sebagaimana pengertian Barat.
Dengan demikian istilah moderasi Islam lebih merupakan upaya mengubah ajaran Islam ke arah liberal. Karena itu tidaklah mengherankan, atas nama moderasi, ajaran Islam yang dipandang membahayakan eksistensi sekularisme/kapitalisme/liberalisme maupun sosialisme/komunisme dihilangkan, atau diarahkan sesuai dengan pandangan ideologi kapitalisme ataupun komunisme tersebut.
Berdasarkan hal tersebut, sangat disayangkan apabila guru madrasah mengajarkan Islam moderat kepada generasi. Seharusnya, guru madrasah menjadi salah satu benteng pertahanan generasi dari gempuran pemikiran liberal. Guru madrasah hendaknya turut mengokohkan Islam kafah ke tengah generasi milenial dan gen Z bukan malah mengokohkan Islam moderat.
Wallahu’alam bishsshawab.
Posting Komentar