Guru Mendidik, Melakukan Kekerasan?

Modus kekerasan fisik yang dilakukan guru yang mengatasnamakan pendisiplinan siswa berupa cubitan, pukulan dan tamparan, bentakan, makian, dijemur di




Guru Mendidik, Melakukan Kekerasan?

Oleh. Mustaqimatin

Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mencatat, sepanjang 2022 terdapat sejumlah kasus perundungan yang terjadi di dunia pendidikan. Bahkan, tidak sedikit siswa yang harus meregang nyawa akibat kasus tersebut. Ketua Dewan Pakar FSGI Retno Listyarti mengatakan, perundungan berupa bully dan kekerasan fisik yang terjadi dilakukan oleh pendidik maupun sesama peserta didik. Salah satu kasus yang merenggut nyawa, yakni kasus di Ponpes Darussalam Gontor Ponorogo, Jawa Timur.

(Sindonews.com, 4 Januari 2023)

Selanjutnya, Retno menambahkan, kekerasan fisik dan pembullyan masih terus terjadi di lingkungan sekolah yang dilakukan pendidik dengan dalih mendisiplinkan. Beberapa alasan mengapa guru mendisiplinkan dengan kekerasan yaitu, misalnya, karena peserta didik ribut saat di kelas, siswa tidak mengembalikan buku cetak yang dipinjamkan sekolah, siswa tidak bisa menjawab pertanyaan guru, dan siswa tidak ikut pembelajaran. “Namun pelaku perundungan di satuan Pendidikan selama 2022 lebih didominasi peserta didik terhadap peserta didik lainnya,” pungkasnya.

Modus kekerasan fisik yang dilakukan guru yang mengatasnamakan pendisiplinan siswa berupa cubitan, pukulan dan tamparan, bentakan, makian, dijemur di bawah sinar matahari, hingga hukuman lari keliling lapangan sebanyak 20 putaran. (Tempo.co 30 Oktober 2019)

Penanganan masalah kesiswaan, terutama terkait kedisiplinan terus menjadi pembicaraan di kalangan pendidik.  Bagaimanapun guru bertanggung jawab terhadap pengembangan pribadi siswa agar menjadi anak didik yang cerdas, berkarakter positif dan bermental kuat.   Hanya saja di tengah proses pendidikan tidak jarang ditemukan kendala dan tantangan yaitu anak didik yang tidak disiplin, sengaja atau tidak sengaja  melakukan beberapa pelanggaran. Juga saat ini masih banyak dijumpai anak didik yang tidak beradab kepada guru. 

Karena itu, para guru tidak jarang menempuh cara-cara (agak) keras untuk mendisiplinkan siswa. Pendekatan ini -biasanya berupa pemberian hukuman- dianggap lebih mampu membuat siswa disiplin, meski kadang bisa berujung kepada bahaya jika berlebihan dan disertai dengan sikap emosional guru.  Selama beberapa waktu, cara-cara ini tidak mendapat kritik dari masyarakat bahkan ada dukungan dari sebagian orang tua.

Seturut dengan lahirnya kebijakan terkait perlindungan anak, pendisiplinan di dunia pendidikan yang kerap diikuti dengan hukuman atau tindakan keras dari guru mendapat perhatian dan kritik karena termasuk dalam tindak kekerasan dan pelanggaran hak anak. Di sisi lain, di lingkungan sekolah juga marak ditemukan aksi kekerasan atau perundungan yang dilakukan sesama peserta didik.  Aksi kekerasan ini meliputi kekerasan fisik, verbal, seksual dan sosial.

/ Disiplin = Kekerasan /

Disiplin merupakan perasaan taat dan patuh terhadap nilai-nilai yang dipercaya merupakan tanggung jawabnya. Pendisiplinan adalah usaha usaha untuk menanamkan nilai ataupun pemaksaan agar subjek memiliki kemampuan untuk menaati sebuah peraturan. (Wikipedia) 

 Disiplin ada sikap positif yang harus dimiliki seseorang, untuk kebaikan dan pengembangan dirinya sendiri, maupun bergaul ditengah masyarakat.  Perundungan (bahasa Inggris: bullying) menurut Wikipedia adalah penggunaan kekerasan, ancaman, atau paksaan untuk menyalahgunakan atau mengintimidasi orang lain. 

Disiplin memang perlu ketegasan, konsistensi, pembiasaan bahkan pemaksaan.   Disiplin tidak  selalu  dilakukan dengan kekerasan. Tapi, tidak bisa dipungkiri adanya proses pendisiplinan di sekolah dengan kekerasan yang bisa menyebabkan luka fisik, batin dan trauma pada anak didik yang berdampak jangka panjang pada tumbuh kembangnya.  

Karenanya, semua setuju, disiplin yang mengarah pada tindak kekerasan harus dihentikan, apalagi di lingkungan sekolah tempat belajar yang seharusnya penuh kenyamanan dan keamanan. Kekerasan yang berarti penghilangan kehormatan, jiwa, melukai adalah sebuah kezaliman. 

Hanya saja, bila diperhatikan, propaganda anti kekerasan saat ini memang massif digaungkan di berbagai tempat, termasuk di dunia pendidikan.  Ide ini (anti kekerasan sejatinya adalah bagian kampanye anti kekerasan yang bernuansa liberal yang tentu saja pengembannya adalah ideologi sekuler liberal.

Anti kekerasan sama saja dengan menguatkan liberalisasi atau nilai nilai HAM dan kebebasan. Nilai nilai yang melandasi adalah nilai sekuler dan liberal. Kekerasan adalah sesuatu aktivitas yang dianggap melanggar kebebasan seseorang.

Masih belum hilang ingatan kita, seorang guru yang mengingatkan muridnya untuk berperilaku sopan, menutup aurat menggunakan pakaian muslim (kerudung) dianggap melakukan kekerasan verbal. Bisa jadi, ada seorang guru yang mengingatkan untuk tidak melakukan pergaulan bebas (pacaran), mengajak sholat, dan kebaikan yang lain bisa dikategorikan melakukan kekerasan. 

Jika perbuatan guru tersebut membuat anak didik merasa terpaksa, terganggu, tertekan atau tidak nyaman. Sikap guru yang sebenarnya bagian dari penanaman disiplin di sekolah akan dianggap kasus kasus kekerasan karena pemaksaan.

Kondisi ini tentu menjadi dilema bagi para guru yang ingin mengingatkan muridnya agar taat atau disiplin, yaitu melakukan kebaikan atau mengurungkan perbuatan buruknya. Karena bisa dianggap melakukan tindak kekerasan. 

Sementara itu, pendidikan yang sekuler saat ini membuat anak didik tidak mengenal agama hingga jauh dari agama, anak didik tidak mau diatur dengan aturan agama dan memiliki kebebasan terhadap dirinya.  Jadilah murid akan semakin sulit untuk dinasehati atau diingatkan oleh guru jika perilakunya tidak tepat dan salah, bahkan bisa jadi menganggap menasehati adalah sebuah pemaksaan. 

/ Mendisiplinkan ala Pendidikan Sekuler Liberal /

Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan mendorong penerapan program budaya disiplin positif sebagai solusi untuk mendisiplinkan tanpa kekerasan. Salah satu langkah dalam menerapkan budaya disiplin positif adalah dengan membentuk lingkungan kelas yang mendukung terciptanya budaya positif, yaitu dengan menyusun kesepakatan kelas. Kesepakatan kelas yang efektif dapat membantu dalam pembentukan budaya disiplin positif di kelas. Hal ini juga dapat membantu proses belajar mengajar yang lebih mudah dan tidak menekan.

Kesepakatan kelas berisi beberapa aturan untuk membantu guru dan murid bekerja bersama membentuk kegiatan belajar mengajar yang efektif. Kesepakatan kelas tidak hanya berisi harapan guru terhadap murid, tapi juga harapan murid terhadap pengajar. Kesepakatan disusun dan dikembangkan bersama-sama antara guru dan murid. 

Disiplin positif adalah disiplin tanpa ancaman atau tanpa hukuman. Harapannya, disiplin positif dapat meningkatkan kesadaran murid dalam membentuk karakter positif. Disiplin positif dibuat melalui kesepakatan antara guru dan murid, hingga merasa terlibat dan bertanggungjawab dalam menjalanankan disiplin tersebut.

Tampaklah, kesepakatan adalah kata kunci yang selalu digunakan dalam sistem liberal yang diyakini akan menciptakan keharmonisan, kesetaraan, bukan kekerasan. 

Saat guru dan murid sepakat tentang aturan yang akan diterapkan di sekolah atau kelas, maka penerapannya diyakini tidak akan menghantarkan kepada tindak kekerasan. Guru pun tidak bersifat otoriter menindak murid yang melanggar. 

Sekilas jargon anti kekerasan ini tampak baik dan membawa kebaikan bagi generasi.   Mendidik, mendisiplinkan anak didik tanpa kekerasan akan lebih efektif membangun karakter positif anak didik.

Padahal, selama landasan yang digunakan dalam penerapan program ini adalah sekuler liberal, maka disinilah titik kritis bagi anak didik. Mereka akan semakin berpola pikir sekuler dan liberal dan jauh dari Islam.  Pola pikir liberal justru akan menjadi alasan untuk melakukan tindakan apapun, perilakunya akan semakin bebas, sulit atau cenderung tidak mau mengikuti aturan atau nasehat guru. 

Kalaupun ada yang siswa yang berhasil mencapai kedisiplinan, motivasi atau dorongan yang dilakukan adalah nilai moral semata, bukan nilai-nilai agama (ruhiyah).  Hal ini bertentangan dengan pandangan seorang muslim yang harus mengkaitkan perbuatan dengan keimanannya.  Aturan yang disepakati pun bisa jadi bukan berstandar syariat.

Beginilah saat kehidupan diatur dengan sistem sekuler liberal, tidak terkecuali dalam sistem pendidikan. Penerapannya akan terus menjadi jalan untuk menancapkan ide-ide sekuler liberalnya dalam seluruh celah sistem pendidikan. Tak cukup kurikulumnya, metode belajar mengajar, output siswa, budaya sekolah pun tak luput  dari sekulerisasi dan liberalisasi.

Tentu saja ini akan menjadikan generasi muslim kehilangan jati dirinya sebagai muslim sejati.

Karenanya, para pendidik harus semangat mengkaji Islam kaffah agar bisa menjaga anak didiknya dari arus sekulerisasi sekaligus berkontribusi  melakukan perubahan dari sistem saat ini yang rusak menuju sistem shohih, sistem Islam.

==============================

Sumber : Fb : Guru Muslimah Inspiratif

Posting Komentar