Gaya Penafsiran dan Model Tafsir Al Quran

Yang dimaksud dengan gaya penafsiran (uslûb at-tafsîr) adalah cara masing-masing ahli tafsir dalam menafsirkan al-Qur’an sesuai dengan tendensi yang m

Gaya Penafsiran dan Model Tafsir Al Quran








Gaya Penafsiran dan Model Tafsir Al Quran

Yang dimaksud dengan gaya penafsiran (uslûb at-tafsîr) adalah cara masing-masing ahli tafsir dalam menafsirkan al-Qur’an sesuai dengan tendensi yang menjadi kecenderungannya. Misalnya, ada yang mempunyai tendensi kebahasaan, sehingga dalam penafsirannya sangat memperhatikan gaya bahasa dan makna yang terkandung di dalamnya. 

seperti az-Zamakhsyari yang terkenal dengan tafsirnya, al-Kasyyâf. Ada yang mempunyai tendensi teologis, sehingga sangat memperhatikan aspek akidah, seperti Fakhruddîn ar-Râzi, yang terkenal dengan tafsirnya, Mafâtîh al-Ghayb. 

Ada yang mempunyai tendensi hukum dan fiqih, sehingga aspek hukum dan fiqih sangat menonjol dalam tafsirnya, seperti Abû Bakar ar-Râzi, yang terkenal dengan tafsirnya, Ahkâm al-Qur’ân. Ada yang mempunyai tendensi historis dan kesejarahan, sehingga meneliti kisah-kisah dan menambahkan kisah-kisah dalam al-Qur’an sesuai dengan keinginanannya dari buku-buku sejarah, tanpa melihat sesuai atau tidak, seperti ‘Alâuddîn ‘Alî bin Muhammad al-Baghdadi atau yang dikenal dengan al-Khâzin, yang terkenal dengan tafsirnya, Bâb at-Ta’wîl fî Ma’ânî at-Tanzîl.

Inilah tendensi dan perhatian yang diberikan oleh ahli tafsir dalam menafsirkan al-Qur’an yang menjadi gaya penafsiran mereka pada zaman dulu. Hal yang sama juga dilakukan oleh ahli tafsir pada zaman kontemporer. Di antara mereka, juga bahkan ada yang terpengaruh dengan budaya dan peradaban Barat, yang kemudian mempengaruhi tafsir mereka. 

Sebut saja, Muhammad ‘Abduh, yang terkenal tafsirnya, Juz ‘Amma dan al-Manâr, yang berusaha mengkompromikan pedaban Barat dengan Islam; Thanthâwi al- Jawhari, yang terkenal dengan tafsirnya, al-Jawâhir fi Tafsîr al-Qur’ân, yang berusaha memasukkan sains dalam kitab tafsirnya. Karena itu, kitab-kitab seperti ini pada dasarnya jauh dari substansi tafsir, dan tidak layak disebut tafsir bagi kaum Muslim. 

Inilah secara umum gambaran tentang gaya penafsiran para ahli tafsir. Adapun model tafsir yang berkembang di kalangan ummat Islam, bisa dikembalikan kepada sumber penafsiran yang menjadi rujukan mereka, bisa diklasifikasikan menjadi dua: tafsîr bi al-manqûl aw al-ma’tsûr dan tafsîr bi ar-ra’yi. 

Tafsir Bi al-Ma’tsûr 

Model tafsir bi al-Ma’tsûr ini adalah seluruh kitab tafsir yang disusun dengan menggunakan sumber manqûl atau riwayat, baik al- Qur’an, as-Sunnah, pandangan sahabat maupun Isrâ’îliyyât. Model tafsir seperti ini, contohnya seperti tafsir al-Qur’an al-‘Adlîm, yang ditulis oleh Ibn Jarîr at-Thabari, tafsir al-Muharrir al-Wajîz, karya Ibn ‘Athiyyah, tafsir al-Qur’ân al-‘Adlîm yang ditulis oleh Ibn Katsîr, tafsir ad-Durr al-Mantsûr, karya as-Suyûthi.  

 Tafsir Bi ar-Ra’yi 

Model tafsir bi ar-Ra’y[i] ini adalah seluruh kitab tafsir yang disusun dengan menggunakan sumber kebahasaan atau dirayah. Model tafsir seperti ini, contohnya seperti tafsir al-Kasysyâf, yang ditulis oleh az-Zamakhsyari, tafsir Mafâtîh al-Ghayb, karya Fajkhruddîn ar-Râzi, tafsir al-Bahr al-Muhîth yang ditulis oleh Abû Hayyân 

 Tafsir Bi al-Isyârah

 Model tafsir bi al-Isyârah ini adalah seluruh kitab tafsir yang disusun dengan tidak menggunakan salah satu dari kedua sumber di atas, baik riwayat maupun dirayah. Karena itu, sesungguhnya tafsir seperti ini tidak bisa dimasukkan sebagai tafsir. Sumber utama tafsir ini adalah kontemplasi, atau apa yang dikenal dengan makna batin al- Qur’an, yang ditemukan ketika membacanya. Model tafsir seperti ini, contohnya seperti tafsir an-Naysâbûri, yang ditulis oleh an- Naysâbûri, tafsir Futûhât al-Makkiyah, karya Ibn ‘Arabi, tafsir al- Alûsi yang ditulis oleh Syihâbuddîn al-Alûsi.

 

 

Metode Baku Tafsir al-Qur’an

Dengan melihat gaya penafsiran dan model tafsir di atas tampak bahwa ada ragam tafsir dengan gaya dan bentuknya. Namun, harus difahami bahwa semuanya tadi berkaitan dengan uslûb tafsîr, yang dikembangkan oleh masing-masing ahli tafsir. Adapun berkaitan dengan metode yang seharusnya ditempuh oleh ahli tafsir, sehingga mendapatkan tafsir ideal sebagaimana yang berkembang pada zaman Rasul dan para sahabat, bisa dirumuskan sebagai berikut: 

Dari Aspek Kebahasaan

 Sebagaimana yang telah dinyatakan sebelumnya, bahwa al- Qur’an telah diturunkan dalam bahasa Arab yang jelas dan terang, sehingga tidak ada satu kata atau lafadz pun dalam al-Qur’an yang merupakan kata atau lafadz non-Arab. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa kata atau lafadz Arab itu ada yang digunakan sebagaimana konotasi dasarnya, yang dikenal dengan istilah haqîqah, baik lughawiyyah, ‘urfiyyah maupun syar’iyyah. 

Ada yang digunakan keluar dari konotasi dasarnya karena adanya indikasi dan hubungan tertentu, yang dikenal dengan istilah majâz dan kinâyah. Ada yang digunakan berdasarkan prinsip derivatif, yang dikenal dengan istilah isytiqâq. Ada juga yang digunakan dengan konotasi yang sama dengan asalnya, namun dimodifikasi sebagai istilah Arab, setelah mengalami pengaraban, yang dikenal dengan istilah ta’rîb. 

Sebagai contoh, ketika al-Qur’an menyatakan: Maka sekarang campurilah mereka (Q.s. al-Baqarah: 187). 

Konotasi frase: Bâsyirûhunna (campurilah mereka) tidak bisa difahami dengan konotasi mubâsyarah secara mutlak, yaitu menyentuh isteri. Sebab, konteks seruan mubâsyarah ini berkaitan dengan larangan melakukannya di waktu puasa, bukan di malam harinya, dimana konteks ini berkaitan dengan jimak, dan bukan hanya sekedar menyentuh. Sebab, menyentuh termasuk mencium, tatkala siang dan malam hari ketika berpuasa tidak dilarang. Maka, konotasi mubâsyarah ini harus difahami sebagai haqîqah syar’iyyah, yang harus ditafsirkan dengan konotasi syar’i, bukan bahasa (lughawiyyah) atau konvensi (‘urfiyyah).

Pendek kata, dari aspek kebahasaan ini, al-Qur’an harus ditafsirkan sesuai dengan apa yang dituntut oleh bahasa Arab yang digunakan oleh orang Arab, yang diambil dari keempat sumber --- haqîqah, majâz, isytiqâq dan ta’rîb di atas. 

Dari Aspek Rasionalitas 

 Aspek rasionalitas di sini adalah sudut pandang yang didasarkan pada batasan akal. Akal itu sendiri tidak bisa berfungsi kecuali jika ada empat komponen:

  1. realitas yang terindera
  2. otak yang sehat (waras)
  3. panca indera dan penginderaan
  4. informasi awal

Jika keempat komponen akal tersebut terpenuhi, maka fungsi akal dalam konteks idrâk itu pasti akan berjalan. Namun jika tidak, misalnya realitasnya tidak terindera, sehingga panca indera dan penginderaan manusia tidak bisa menjankaunya, maka fungsi akal dalam konteks idrâk tersebut tidak bisa berjalan. Meski demikian, akal tetap berfungsi untuk memahami makna teks atau informasi, sehingga fungsi akal hanya memahami apa yang disampaikan, tidak lebih. Sebagai contoh, ketika Allah berfirman :

 Katakanlah (Muhammad): Allah itu adalah Maha Esa. (Q.s. al- Ikhlâs: 1). 

 Lafadz: Ahad adalah lafadz yang secara kebahasaan bisa difahami dengan makna apa adanya, yaitu Maha Esa, yang juga berarti satu. Konotasi kebahasaan ini sudah jelas. Mengenai substansi satu, tidak perlu dijelaskan. Misalnya, apakah satunya Allah itu merupakan angka, yang berkonotasi aksidental, ataukah bukan, sebagaimana yang dikembangkan oleh Plato? Sebab, pembahasan mengenai substansi satunya Allah ini tidak bisa dijangkau oleh akal. Karena itu, penjelasan terhadap lafadz: Ahad tersebut harus tetap kembali kepada batasan akal yang terbatas, sehingga harus tunduk pada konotasi kebahasaan yang ditunjukkan oleh kata atau lafadz Arabnya saja.

 

Aspek Muhkam dan Mustâsyabih


Jika ada nas yang menjelaskan satu konteks makna, yang satu muhkam dan yang lain mutasyâbih, maka yang muhkam harus menjadi pemutus bagi yang mutasyâbih. Misalnya, firman Allah:

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki. (Q.s. al-Mâidah: 6).

 Lafadz: Arjulakum (kaki kalian) ada yang membaca dengan bacaan mutawatir, dengan me-nashab-kan lafadz tersebut karena faktor ‘athaf pada lafadz: wujûhakum (wajah kalian), yang menjadi obyek (maf’ûl bih) kata: faqghsilû (basuhlah). Ada juga bacaan mutawatir dengan: Arjulikum yang di-‘athaf-kan pada lafadz: ru’ûsikum (kepala kalian). Karena itu, lafadz Arjulakum ini mutasyâbih, yang mempunyai dua makna:

  1. Kaki mengikuti hukum wajah dan tangan, sehingga hukumnya harus dibasuh.
  2. Kaki mengikuti hukum kepala, sehingga hukumnya cukup dengan diusap.

Maka, jika mengikuti bacaan yang pertama, hukumnya cuma satu, yaitu harus membasuh kaki. Maka, yang pertama disebut muhkam. Namun, jika mengikuti bacaan kedua, bisa dua hukum; Pertama, membasuh kaki, dengan alasan bahwa status arjul tersebut memang majrûr, namun bisa dihukumi manshûb. Kedua, mengusap kaki, dengan alasan statusnya majrûr. Maka, yang kedua disebut mutasyâbih. Dalam konteks seperti ini, yang pertama lebih dikuatkan, ketimbang yang kedua. Inilah yang dimaksud, bahwa muhkam harus menjadi pemutus yang mutasyâbih.

Aspek Korelasi Ayat Dalam Surat Dengan Integralitasnya

Istilah sûrat sebagai istilah dengan konotasi kumpulan ayat adalah istilah yang digunakan oleh Allah dalam al-Qur’an, seperti yang dinyatakan dalam surat an-Nûr: 1 atau al-Baqarah: 23. Jika melihat realitas ayat dan sistematikanya dalam surat bersifat tawqîfi, maka realitas ini membuktikan, bahwa ayat-ayat dalam surat tersebut merupakan satu kesatuan integral. Di sinilah korelasi satu ayat dengan ayat lain dalam satu surat itu menemukan bentuknya. Atau, yang oleh ahli tafsir disebut Munasâbât Ayât wa Ukhrâ (korelasi ayat satu dengan yang lain). Maka, untuk menafsirkan ayat al-Qur’an, harus tetap memperhatikan korelasinya dengan ayat sebelum dan setelahnya.

Aspek Multiriwayat atau Dalâlah

Jika ada banyak riwayat atau dalâlah yang ditunjukkan oleh nas al-Qur’an, maka diperlukan tarjîh. Dalam hal ini, tarjîh atas berbagai riwayat atau dalâlah tersebut menjadi salah satu penentu.
Inilah metode baku yang harus dijadikan pedoman dalam menafsirkan al-Qur’an. Wallâh[u] a’lam bi as-shawâb.

 

 

 

Ulumul Quran Praktis  (Pengantar untuk Memahami al­Quran) Karya Drs. Hafidz Abdurrahman, MA 

 

Posting Komentar