Sambungan..
Mulianya Orang Berilmu
Sobat, bukti secara logis sampe bukti sejarah sudah kita paparkan tentang betapa pentingnya ilmu. Saatnya kita akan tunjukkan bukti dalil mengenai kedudukan yang mulia bagi orang yang berilmu. Are u ready? Go!
Pertama,
Allah akan meninggikan derajat orang yang berilmu di akhirat dan di dunia.
Di akhirat, Allah akan meninggikan derajat orang yang berilmu beberapa derajat sesuai dengan amal dan dakwah yang mereka lakukan. Sedangkan di dunia, Allah meninggikan orang yang berilmu dari hamba-hamba yang lain sesuai dengan ilmu dan amalan yang dia lakukan.Allah Ta’ala berfirman:
Artinya:
Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Kedua :
lmu adalah warisan para Nabi.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi, dan sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, mereka hanyalah mewariskan ilmu. Barangsiapa yang mengambilnya, maka dia telah memperoleh keberuntungan yang banyak. (HR. Abu Dawud, Tirmidzi)
Ketiga :
Oang yang berilmu akan mendapatkan seluruh kebaikan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Barangsiapa yang Allah kehendaki mendapatkan seluruh kebaikan, maka Allah akan memahamkan dia tentang agama. (HR. Bukhari dan Muslim)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Setiap orang yang Allah menghendaki kebaikan padanya pasti akan diberi kepahaman dalam masalah agama. Sedangkan orang yang tidak diberikan kepahaman dalam agama, tentu Allah tidak menginginkan kebaikan dan bagusnya agama pada dirinya.” (Majmu’ Al Fatawa, 28/80).
Islam sangat memuliakan kedudukan ilmu. Dalam Islam, seorang muslim wajib mencari ilmu, bahkan sejak ia masih dalam buaian ibunya. Sampai kapan? Sampai ia meninggal dunia. Artinya, tidak ada garis finish dalam mencari, mengajarkan dan mengamalkan ilmu.
Sikap puas diri dengan ilmu yang telah diperoleh menunjukkan kebodohan dirinya sendiri. Oleh karena itu, Imam Bukhari pernah mengingatkan, “Belajarlah, berilmullah, sebelum engkau berkata dan beramal.” Atau kita coba ingat perkataan Umar bin Khatab “al-ilmu qablal ‘amal. Ilmu itu mendahului amal”.
Ibnu Hajar Al-Atsqolani menyebutkan dalam kitab Fath al- Baari bahwa ilmu yang hukumnya fardhu ‘ain untuk dicari oleh setiap muslim adalah: “Ilmu syar’i yang bermanfaat mengetahui kewajiban mukallaf dari perkara din-nya, baik urusan ubadah dan mu’amalah. Serta ilmu tentang Allah, sifat-Nya, dan kewajiban kita terhadap urusan tersebut, dan menyucikan-Nya dari kekurangan. Adapun semua itu berputar pada tafsir, hadits, dan fiqh.” (Fath al-Baari 1/141)
Jelas, menuntut ilmu sangat perlu bin penting. Jika selama ini kita merindukan umat bangkit dan berjaya maka, ya Ilmu kuncinya. Bersegeralah mencarinya, sebagaimana Imam Syafi’iy pernah sampaikan, "Sesungguhnya kehidupan pemuda itu, demi Allah hanya dengan ilmu dan takwa (memiliki ilmu dan bertakwa), karena apabila yang dua hal itu tidak ada, tidak dianggap hadir (dalam kehidupan)."Jleb!
Sobat, Imam Syafi’iy nggak asal bunyi dengan perkataannya. Beliau membuktikan perkataannya pada dirinya sendiri. Coba bacalah sejarah tentang pemuda Syafi’iy, dia menggadaikan masa kecilnya untuk mencari ilmu. Berguru kepada para ahli ilmu, salah satunya Imam Maliki. Hasilnya? Pada umur belia, Syafi’i berhasil menghafal di luar kepala kitab Al-Muwaththa karangan gurunya. Selain itu beliau juga hafal Al-Qur’an sebelum dia baligh. Sungguh luar biasa kan? Mantabs!
Seorang Imam Syafi’i wajib kita teladani. Tak hanya terkagum- kagum dengan perjalanan hidupnya, tapi kita wujudkan dalam sikap. Menjadi manusia pembelajar yang getol mencari ilmu. Seorang pemikir dari Beirut, Musthafa Al Ghalayaini berkata: “Adalah terletak di tangan para pemuda kepentingan umat ini, dan terletak di tangan pemuda juga kehidupan umat ini”. Kemudian Musthafa Kamil, pemikir dari Mesir berkomentar: “Pemuda yang bodoh, beku (tidak punya ruh jihad) untuk memajukan bangsa, matinya itu lebih baik daripada hidupnya.”. Jleb bin jebret nih!
Menuntut ilmu adalah salah satu cara meningkatkan taraf berpikir, tentu bukan hanya ilmu yang dipelajari di sekolah. Ilmu yang bukan hanya sekedar membuat pintar. Bukan ilmu yang sekedar dipelajari, tapi untuk diterapkan dalam kehidupan. Ilmu yang bisa membentuk pemahaman, karena pemahamanlah yang melahirkan perilaku. Sebagaimana Syekh Taqiyudin An-Nabhani sampaikan dalam kitab Nidzam al-Islam bahwa “Kebangkitan seorang sangat tergantung kepada pemahamannya.”
Sehingga tergantung pemahaman apa yang sekarang merasuki jiwa pemuda kita. Jika yang masuk pemahaman Islam maka yang muncul perilaku Islam, tapi sekali lagi asalkan ilmu yang dipelajari untuk diterapkan. Sebab betapa banyak kita punya orang pintar, tapi nyatanya nggak membekas dalam perilaku. Dan apa jaminan kalo banyak orang pintar, banyak sekolah, Islam langsung bisa bangkit? Tidak! Mengapa? Ini sebabnya;
(1) Kalo yang dipelajari tidak memberikan bekas pada perbuatannya;
(2) Kalo yang dipelajari bukan hal yang mendasar/fundamental. Generasi terdahulu lahir juga dari kelompok menuntut ilmu.
Rasul dan para sahabat berkumpul di rumah seorang sahabat bernama Arqam bin Arqam. Sejarah juga pernah mencatat Muhammad al- Fatih, sang penakluk Konstantinopel yang juga lahir dari pembinaan majelis ilmu dengan gurunya Aa’ Syamsudin. Maka generasi sekarang juga harus lahir dari majelis ilmu. Sekali lagi bukan ilmu yang bermakna ilmu pelajaran sekolah saja, tapi ilmu kehidupan, ilmu yang lebih mendasar tentang pondasi kehidupan (aqidah). Sebab, jika ilmu tanpa dilandasi dengan pondasi yang benar (shahih) dan kokoh, maka bisa jadi merusak seperti yang dilakukan Barat. Dari majelis pembinaan ilmu itulah, akan lahir generasi gemilang pemicu kebangkitan umat.
Generasi gemilang Islam juga bisa kian mengkilap setelah ‘diproduksi’ oleh pemerintahan yang menerapkan Islam sebagai ideologi negara. Sebagaimana pernah dulu Khilafah Islamiyah, untuk mencerdaskan kaum Muslimin dan rakyatnya secara umum, Khilafah Islamiyah menyediakan lembaga-lembaga keilmuan. Islam membangun ribuan al-Katatib, yakni wadah keilmuan untuk mempelajari al- Quran, menulis dan berhitung. Dibudayakan juga diskusi-diskusi keilmuan di masjid-masjid untuk melayani pertanyaan-pertanyaan dari masyarakat soal fikih, hadis, tafsir dan bahasa. Bahkan Muqri Rasy’an bin Nazhif ad-Dimasyqi mendirikan lembaga keilmuan Quran (untuk
mempelajari al-Quran) pada tahun 400 H di Damaskus. Sementara khusus untuk hadis, didirikan oleh Nuruddin Mahmud bin Zanky, juga di Damaskus. Selain itu, madrasah (sekolah) dan jami’ah (universitas) juga didirikan.Al-Hakam bin Abdurrahman an-Nashir telah mendirikan Universitas Cordova yang saat itu menampung (mahasiswa) dari kaum muslimin maupun orang Barat. Selain itu dibangun pula Universitas Mustanshirriyah di Baghdad. (Muhammad Husein Abdullah, Studi Dasar-dasar Pemikiran Islam, hlm. 158-159)
Sekali lagi, keilmuan disini bukan hanya soal IPTEK, bahkan maju dalam IPTEK saja bukan jaminan untuk bisa bangkit, tapi harus didasari oleh pondasi (aqidah) Islam. Lihat saja, Perancis adalah negara maju, tapi moral warga negaranya rata-rata bejat. Prostitusi ada di mana-mana, judi nggak dilarang, pun pergaulan bebas di kalangan remaja bangsa Perancis sudah amat parah. Seperti mengikuti jejak Perancis, Amerika juga didera dengan berbagai kasus; kriminalitas yang angkanya terus meroket, seks bebas yang makin menggila, pelacuran, judi, dan peredaran minuman keras dan narkoba menjadi bagian dari kehidupan negara adidaya ini. Ironi bukan? Di satu sisi, mereka digdaya dalam iptek, tapi di sisi lain, mereka terpuruk dalam moral.
Kenapa bisa begitu? Karena kebangkitan mereka tidak benar. Kebangkitan yang masih rentan dengan kegagalan di masa depan. Sebab, kebangkitan mereka dibangun di atas pondasi akidah yang rapuh, bahkan rusak. Trus gimana yang bener?
Posting Komentar