FINDING THE LIGHT : Kewajiban Menutut Ilmu dan Proses Berpikir (3)

Kebangkitan umat menurut Syekh Taqiyuddin an-Nabhaniy dalam kitab Hadayats ash-Shiyam kebangkitan didefinisikan sebagai “irtifa’ul fikri” atau peningk

Inilah Kebangkitan hakiki

Kebangkitan umat menurut Syekh Taqiyuddin an-Nabhaniy dalam kitab Hadayats ash-Shiyam kebangkitan didefinisikan sebagai “irtifa’ul fikri” atau peningkatan taraf berfikir. Meningkatnya taraf berfikir bukan berarti kaum muslimin harus bersekolah ke jenjang yang tinggi atau mendirikan banyak sekolah sehingga kaum muslimin jadi pintar dan cerdas. Bukan, bukan seperti itu. Tapi yang dimaksud dengan peningkatan taraf berfikir disini adalah perubahan keadaan dari rendah menjadi tinggi.

Dalam lintasan sejarah kebangkitan peradaban dunia, kita    menyaksikan    betapa mabda’ (ideologi) merupakan pondasi    kebangkitan    atau rahasia kebangkitan umat atau bangsa. Sejarah mencatat ada negara-negara yang mengalami kebangkitan dengan kebangkitan    pola    pikirnya seperti    kebangkitan    Rusia dengan   melakukan   Revolusi  Bolshevik 1917 di bawah pimpinan  Lenin  setelah  bersama-sama  menganut pemikiran komunis. Orang-orang kapitalis pun mengalami kebangkitan sejak Revolusi Prancis dan Revolusi Industri di Inggris pada akhir abad 18 awal abad 19. Bangsa Arab pun mampu bangkit dengan memeluk pemikiran Islam sejak abad ke-7.


Maka tepat sekali jika dikatakan, Ahmad al-Qashash, dalam bukunya  Dasar-Dasar  Kebangkitan  bahwa  “keberadaan  mabda’ (ideologi) pada suatu umat adalah sebab kebangkitannya.” Sehingga

 dalam hal ini kita tidak cukup hanya berbicara bangkit hanya sekedar bangkit, tapi kita harus mencari bangkit yang benar (shahih) dan hakiki.

Untuk  mewujudkan  kebangkitan  yang  kita  cita-citakan memang butuh keseriusan dari kita semua, kaum muslimin. Meski kita masih remaja, bukan berarti nggak boleh serius. Justru seharusnya, masa remaja kita gunakan untuk mengasah supaya bisa mempertajam kemampuan berpikir kita. Lebih khusus lagi kemampuan untuk berpikir islami. Ada beberapa tahap yang bisa kita jadikan sebagai jalan untuk meniti kebangkitan yang hakiki. Dalam kitab an-Nahdhah (hlm. 132- 155), karya Ustadz Hafidz Shalih, dijelaskan sebagai berikut:

Pertama, setiap muslim kudu menyadari tugasnya sebagai pengemban dakwah. Allah Swt. berfirman:


Kedua, setiap muslim harus memahami Islam sebagai sebuah mabda,  alias  ideologi.  Dengan  begitu,  kita  bisa  menjadikan  Islam sebagai pedoman hidup kita. Islam bukan hanya mengatur urusan sholat, zakat, puasa aja, tapi sekaligus mengurusi masalah ekonomi, politik, pendidikan, hukum, peradilan, pemerintahan, dsb.

Ketiga, kita kudu berjuang menegakkan Islam.  Keempat, melakukan kontak pemikiran dengan masyarakat, nggak cuma diem

 doang. Sebarkan ide-ide Islam kepada mereka. Kalo ternyata timbul pro dan kontra, itu wajar. Rasulullah saw. saja pernah merasakannya. Tenang. Kita di jalur yang benar.

Kelima, harus jelas dalam berjuang. Artinya, kita kudu fokus dan membatasi mana yang pokok, dan mana yang cabang. Allah swt berfirman:

Katakanlah: "Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik". (QS Yusuf [12]: 108).

Keenam, harus berani melakukan shiraul fikriy (pertarungan pemikiran)  dengan  berbagai  ide  sesat  yang  ada  di  masyarakat. Misalnya, sampaikan bahwa demokrasi sesat, nasionalisme itu tercela, sekularisme  adalah  bagian  dari  kekufuran  dan  sebagainya.  Itu sebabnya, perjuangan Boedi Oetomo yang katanya sebagai tonggak kebangkitan, ternyata malah menuju kemunduran. Kenapa? Karena menyerukan nasionalisme. Nah, pemuda Islam, harus berani melawan itu semua!

Ketujuh, selalu meng-update perkembangan yang terjadi di masyarakat dan berikan solusinya dengan ajaran Islam. Kedelapan, kita harus bisa menunjukkan kelemahan dan kepalsuan sistem kufur yang tengah mengatur kehidupan masyarakat kita saat ini. Supaya mereka juga ngeh, bahwa selama ini ternyata hidup dalam lingkungan yang tidak islami. Itu sebabnya kita juga mengajak kaum muslimin untuk berjuang melanjutkan kehidupan Islam.


Let’s Move On

Awalnya istilah MOVE ON populer dipakai sebagai trigger bagi mereka yang ditolak atau putus cinta. Karena buat yang putus cinta, bagi mereka hidup itu seakan sudah berhenti alias mati suri gitu, makanya muncullah istilah penyemangat “MOVE ON” yang menandakan hidup itu harus terus bergerak dan berlanjut. Tapi seiring waktu, istilah MOVE ON, dipakai secara umum untuk siapa aja yang stagnan, mandeg, atau galau arah hidupnya, trus memilih untuk bergerak, bangkit alias MOVE ON.

Kalo  boleh  diibaratkan,  masyarakat  kita  dalam  menyikapi problematika  di  dalam  kehidupannya,  bisa  dikelompokkan  jadi  3: kelompok pemain, penonton, dan masyarakat luar.

Pertama “pemain”, mereka yang sadar dan siap serta udah bergerak bersama untuk menyelesaikan masalah di atas. Bahkan mereka berjibaku, layaknya pemain bola professional, membina dan melatih dirinya dalam ilmu, sehingga nanti ketika benar-benar terjun ke masyarakat bisa ngasih problem solving persoalan masyarakat. Mereka inilah yang memilih Move On. Dalam khazanah Islam, mereka disebut pengemban dakwah.


Kedua “penonton” alias komentator, mereka ngeliat sih fakta kerusakan di tengah masyarakat, tapi mereka suka banget komentar terhadap perjuangan yang dilakukan oleh kelompok pertama. Ada yang komentarnya mendukung, tapi nggak sedikit yang sok pinter, sok jago, padahal dia sendiri aksinya nggak pernah ada. Ada juga penonton disini yang layaknya supporter fanatik, kalo menang ikut senang, giliran kalah bikin ulah dan masalah.



Ketiga “masyarakat luar”, mereka nggak ngeliat atau bahkan cuek dengan kondisi disekitarnya. Persis kayak masyarakat diluar stadion yang nggak ambil pusing dengan apa yang terjadi di dalam stadion, saat pertandingan berlangsung. Entah mau rusuh kek, menang kek, kalah kek, bodo amat, emang gue pikirin. Nah, kira-kira begitu di kelompok yang ketiga ini, menyaksikan kerusakan masyarakat, cuek aja, “yang penting nggak nimpa gue dan keluarga gue”, gitu pikirnya.



Idih jangan sampe ya, kita ada di kelompok ketiga maupun kedua, yang sekedar komentar apalagi cuek dengan kondisi kerusakan di sekitar kita. Kita kudu di kelompok pertama, karena Move On itu menunjukkan kita itu care. Move On itu kontribusi yang bisa kita sumbangkan atas problematika di negeri ini. So, apakah kita masih diam saja, layaknya kelompok ketiga tadi? Atau hanya jadi penonton, kayak kelompok kedua? Kalo iya, maka itu tandanya kita masih belum MOVE ON.

Ok, kita kan udah nyadar nih bahwa kita kudu Move On alias bergerak, tapi tentu nggak asal bergerak dong. Iya, jangan-jangan kita mirip ayam yang baru aja disembelih ketika nunggu ajalnya datang,



dia bergerak tak tentu arah kesana-kemari. Nah, kita tentu nggak mau seperti itu dan nggak boleh kayak gitu. Trus gimana dong?



Gini ya, kita ini musti sadar sesadar-sadarnya kalo kita ini muslim. Artinya seluruh problematika apa saja, kita harus tanya atau standarisasi pake Islam. “Loh, apa bisa, kan Islam cuman ngatur ibadah ritual doang?”. Heum, komentar kayak begini ini harus diluruskan.

Coba kita tengok dalam al-Qur’an maupun hadis, apa Islam cuman ngatur ibadah thok? Enggak kan? Coba nanti liat lagi deh, kalo perlu baca terjemahannya juga nggak papa, bahwa al-Qur’an maupun hadis  mengatur  hidup  manusia  dari  tidur  sampe  masalah  dapur. Masalah ibadah sampe urusan pemerintah. Mulai dari kita bayi sampe urusan mati. Semua diatur Islam secara syamilan wa kamilan (lengkap dan menyeluruh).

… Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agama-mu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agama bagimu … (al-Ma’idah [5]: 3).

Artinya, Islam bukan hanya agama ritual, tapi Islam sebagai way of life jalan hidup seorang muslim. Sehingga Islam tidak mengenal istilah  sekularisme,  pemisahan  agama  (Islam)  untuk  mengatur kehidupan.

Nah, tentang bagaimana problem solving terhadap masalah yang ada di sekitar kita sangat tergantung kita dalam memahami Islam. Kenapa umat Islam sekarang memposisikan Islam di pojok masjid, cuman doain orang mati, hanya dibawa ketika pergi haji? 

Itu karena umat memahami Islam layaknya agama yang lain, yang nggak ngatur masalah kehidupan.

Maka, sudah saatnya umat Islam menyadari kesalahan ini dengan serta menjadikan Islam sebagai ideologi (way of life). Karena umat Islam dulu pernah berjaya, sejahtera, mulia ketika jadikan Islam sebagai ideologi. Baca sejarah Islam yang jujur pasti akan menemukan bahwa Islam pernah menaungi dunia selama berabab-abad. Sejarawan Barat. Seperti Carleton S pernah mengakui: “Peradaban Islam sanggup menciptakan sebuah negara adidaya kontinental yang terbentang dari satu samudera ke samudera yang lain, dari iklim utara hingga tropik dan gurun dengan ratusan juta orang tinggal di dalamnya, dengan perbedaan kepercayaan dan asal suku

Sekali lagi, kalo kita mau jujur, umat ini dulu pernah bangkit, pernah Move On dengan Ideologi Islam yang terpelihara dalam sistem syariah dan khilafah.Yuk ngaji yuk! Ngaji Islam sebagai the way of life, yang melingkupi seluruh aspek kehidupan tanpa kecuali. []

Posting Komentar