Dewasa Itu Pilihan : Baligh dan Kewajiban Sebagai Mukalaf

Jadi gini sob. Sadar atau nggak, kehidupan yang kita lalui penuh dengan pilihan. Apa yang kita miliki, apa yang kita lakukan hari ini adalah hasil pil



Dewasa? Apa yang ada dibenakmu sobat, kalo mendengar kata ‘dewasa’? Hura-hura? Pesta? Gaul? Pacaran? Galau? Bukan anak-anak? Tumbun jakun? Bulu ketiak? Mimpi basah? Nggak

boleh cengeng? Sosok yang idealis? De el el...

Tapi apapun gambaran dibenak sobat sekalian tentang dewasa, pasti sobat pernah dengar pernyataan kayak gini :

...Pliss deh, aku tuh udah dewasa, jadi bisa nentuin mana yang baik dan yng buruk buat Aku..”?

Pernah  nggak  sih  dengar?  Pernah  ya?  Bahkan  sering. Biasanya omongan kayak gitu meluncur mulus dari mulut teman kita, ketika mereka dilarang begini dan begitu sama bokap or nyokapnya. Kenapa bisa jadi kayak gitu? Satu sisi, sebagian orang tua khawatir kalo  anaknya  sudah  bertambah  besar  tapi  belum  bisa  terarah hidupnya. Sementara di sisi yang lain, si anak ngerasa emang udah saatnya menentukan jalan hidupnya sendiri.

Ada pameo yang cukup juga sering kita dengar, bahkan pernah jadi tagline iklan di teve. Bunyinya gini “Tua itu pasti, dewasa itu pilihan”. Kalo boleh kita reka-reka maksud dari kalimat itu menunjukkan kalo dari segi runtutan usia, yang namanya tua pasti bakalan datang, tapi nggak setiap mereka yang bertumbuh badannya, bertambah usianya, otomatis mereka dewasa secara pemikiran.

Coba deh perhatikan masih aja ada orang yang tambah tua, tapi kelakuannya kayak anak-anak. Udah remaja, doyannya ngambek kaya anak balita. Kenapa ya tingkat kedewasaan orang bisa beda- beda? Ukurannya apa? Aih-aih...sabar ya, kita bahas satu persatu. Duduk manis, plis!

Dewasa itu pilihan

Jadi gini sob. Sadar atau nggak, kehidupan yang kita lalui penuh dengan pilihan. Apa yang kita miliki, apa yang kita lakukan hari ini adalah hasil pilihan dari masa lalu kita. Coba kamu yang hari ini nggak bisa matematika, yang ngerjain soal matematika rasanya sulit banget. Pertanyaannya, kamu ngalamin kayak gitu bukan tiba-tiba kan? Tapi karena kemarin-kemarin kamu nggak milih belajar matematika lebih sungguh-sungguh. Tul nggak?

Buat kamu yang sekarang nyesel karena ngerasa nggak sebanding dengan teman-teman kamu yang bisa jadi juara di kelas, yuk perhatikan, kira-kira kenapa bisa kayak gitu? Yupz, karena hari- hari sebelum hari ini, kamu malas belajar, kamu nganggap enteng belajar, kamu dilenakan dengan permainan, waktumu lebih banyak untuk sekadar berajojing ria, dan sebagainya. Baru nyadar, tiba-tiba kita udah gede, udah dewasa.

Nggak ada yang maksa kita jadi dewasa. Meski memang secara fisik nggak ada yang bisa menghindar kalo dari bayi, bakalan jadi kanak-kanak, trus remaja atau dewasa, lalu nanti akan tua. Tapi dewasa itu hanya perubahan fisik, dari nggak ada jakunnya buat yang cowok tiba-tiba ada jakunnya.

 Dari sebelumnya pipi mulus nggak ada jerawat, eh lha koq pipi rasanya bergelombang alias si jerawat setia nempel di muka kita. Suara kita juga mulai dari ada perubahan, trus rambut di ketiak juga pada muncul, dan seterusnya.

Kalo  tumbuhnya  jakun,  rambut  ketiak  dan  sejenisnya  itu emang pertumbuhan alami, hampir semua orang yang dari kecil menuju dewasa akan ngalamin hal kayak gitu. Sementara kalo urusan dewasa, nggak cuman tumbuh secara fisik. Boleh jadi seseorang dewasa secara fisik, tapi gimana dengan secara psikologis dan pemikiran? Nah, disinilah yang penting kita bahas, sob. 

Kenapa? Karena kalo tumbuh atau berubahnya fisik kita, maka Allah nggak bakal menghisab kita, nggak bakal minta pertanggungjawaban atas tumbuhnya rambut ketiak, jakun dan sebagainya. Tapi kalo urusan kedewasaan kita secara pemikiran, Allah bakalan minta pertanggungjawaban. Lho koq?

Iya, karena dewasa yang sesungguhnya dalam pengertian Islam adalah orang yang sejatinya sejak saat itu sudah dikenai taklif (beban) hukum, alias biasa yang disebut mukallaf. Maka di fase inilah setiap pilihan perbuatan yang kita kerjakan, bakal Allah minta pertanggungjawaban.  

Beda  banget  ketika  kita  masih  kecil  alias sebelum kita baligh, Allah tidak membebankan hukum bagi anak kecil. Namun ketika sudah dewasa, disitulah pembebanan hukum itu dimulai.

Jadi kalo ada pernyataan “..aku sudah dewasa, sudah bisa nentuin mana yang benar, dan mana yang salah...”, maka pernyataan itu nggak ada salahnya. 

Tapi, sayang sejuta sayang kalo pernyataan itu cuman pemanis bibir, percuma kalo pernyataan itu dipake teman- teman remaja untuk menghindar dari ‘kekangan’ orang tua. Maaf bukan nuduh, tapi memvonis, hehe.... Emang kenyataannya banyak yang gitu. Nggak sedikit, teman remaja meski sudah dewasa, tapi masih suka salah pilih menentukan mana benar, mana yang salah.

Sob, sekarang kita udah gede dan dewasa, mampu menggunakan akal kita dengan sempurna (akil baligh), maka sejak saat inilah proses pilihan itu jatuh kepada kita. Mau jadi apa? Mau kemana? Mau dimana? Itu semua tergantung pilihan kita. Orang disekitar cuman bisa menganjurkan, menyuruh, menasehati, selanjutnya kita yang ambil keputusan atas diri kita sendiri.

Coba perhatikan dengan benar, sob. Kalo pas di titik ini, saat kita sedang ambil keputusan, adalah momen yang super super puenting. Sedang seperti apakah kondisi kita saat di titik itu? Sedang galau nggak punya pegangan? Pas nggak punya pengetahuan (tsaqofah) Islam yang mumpuni? Atau pas nggak dekat dengan Islam? Nah, kalo salah satu kondisi itu terjadi pada kita, maka yakinlah pada saat itu, akan hanya ada dua keadaan pada diri kita. Pertama, bingung menentukan pilihan; atau, kedua, kita memilih pilihan yang keliru.

Sekali lagi, titik saat kita ambil keputusan adalah pada saat kita sudah baligh (dewasa). Meskipun kemampuan ‘untuk memilih’ bisa kita tanamkan sejak kecil (sebelum baligh), tapi kalo kita bicara batas seseorang ketika dimintai pertanggungjawaban atas pilihannya.

 Maka, saat kita seperti sekarang inilah, saat kita sudah dewasa, saat kita sudah seharusnya menemukan jati diri kita.

Biar lebih jelas, coba simak ilustrasi berikut ini. Ada seorang anak kecil (balita), disodorin tiga buah, yakni buah apel, buah pear, dan buah kesemek. Trus, kita minta si anak kecil tersebut milih salah satu benda, misalnya saja apel. Sebagai anak balita, awalnya bisa jadi dia bingung milih, karena belum ada informasi sebelumnya (ma’lumat sabiqah) tentang ketiga benda tadi. Apalagi, kalo misalnya si anak balita tersebut, belum pernah sama sekali melihat fakta atau diperlihatkan ketiga buah tersebut.

Then, ketika kita minta dia menunjuk apel, bisa jadi dia milih apel. Akan tetapi, bisa saja dia ragu-ragu, trus dia letakkan apel, dan diambilah buah pear. Suatu saat dia ragu lagi, dia letakkan buah pear, trus diambil buah kesemek. Begitu seterusnya, sampai dia yakin kalo diantara ketiga buah itu, salah satunya adalah apel Sekilas ketiga buah tersebut memang memiliki kemiripan, tapi ada ciri-ciri khusus yang membedakan ketiganya. Nah, informasi awal tentang ketiga benda tersebut menjadi penting bagi si anak balita tadi. Kemudian dilanjutkan dengan memberikan gambaran fakta ketiga buah tersebut.

Sehingga kalo suatu saat kita coba lagi percobaan diatas, dan minta si anak kecil tadi atau mungkin kita yang udah dewasa untuk menunjuk mana apel, maka tanpa ragu anak kecil dan kita yang udah dewasa yang udah paham informasi dan fakta apel, akan tetap pada pilihannya. Kenapa bisa seperti itu? Karena otak kita sudah bisa mengaitkan antara informasi dengan fakta dari ketiga buah tersebut.

Nah, ilustrasi diatas coba kita bawa ke pembahasan tentang ‘sebuah pilihan’. Kita yang sudah akil baligh (dewasa), ketika diminta untuk membuat sebuah pilihan maka akan sama kejadiannya, jika kita tidak tahu atau tidak paham terhadap apa yang mau kita pilih. Dimana ketidakpahaman itu muncul dari, “tidak adanya informasi tentang apa yang kita pilih”, serta “fakta seputar apa yang kita mau pilih”, maka kita akan bingung.

Kalo misal terkait hal yang lebih spesifik, ketika kita diminta milih jalan hidup yang baik dan benar yakni Islam, versus jalan hidup yang mungkin selama ini kita jalani. Maka itu pun juga sangat tergantung dari pemahaman (mafhum) kita tentang Islam.

Kita sebagai seorang muslim yang sudah dewasa yang sudah bergaul dengan lingkungan kita, sehingga bisa jadi, jati diri kita adalah jati diri lingkungan tempat dimana kita hidup yang bergaya hidup sekular. Yang mengukur benar-salah dengan ukuran kemanfaatan. Mengukur baik-buruk sesuai selera masyarakat. Yang menjadikan Islam, sebagai ajaran yang terpinggirkan. Maka bisa dipastikan, itulah fakta dan informasi yang masuk menjejali otak kita.

Kita  yang  dibentuk  oleh  lingkungan  seperti  itu,  kemudian dihadapkan pada sebuah pilihan, misalnya harus memilih Islam sebagai jalan hidup (way of life), maka apa yang terjadi? Kalau tidak bingung, pastilah resistensi alias penolakan. Sekali lagi, bingung atau penolakan itu muncul karena pemahaman terhadap

Islam nggak ada, atau informasi yang masuk dalam benak kita, maklumat tentang Islam yang salah. Maksudnya ‘maklumat Islam yang salah’, adalah informasi tentang Islam bukan sebagai way of life, standar of life, melainkan Islam hanya sebatas ajaran ritual belaka.

Di  sisi  yang  lain  ada  beberapa  faktor  yang menyebabkan kita ragu atau salah dalam menentukan pilihan hidup. Faktor-faktor itu antara lain: faktor diri sendiri, faktor teman, faktor keluarga, faktor masyarakat, dan faktor negara.

Pertama: Faktor diri sendiri, lebih terkait dengan mafhum tentang mental block. Kalo kita terlanjur mengutuk diri sebagai “bodoh, miskin, ahli maksiat, dll”, itulah yang bakal tertanam dalam benak pikiran kita, kemanapun kita pergi. Maka jadi sangat penting disini bahwa penanaman aqidah Islam sejak dini. Aqidah Islam yang tidak hanya sekedar terucap di lisan, tapi juga menancap dalam hati, serta mewujud dalam perbuatan sehari-hari. Selanjutnya tantangan dan pengalaman hidup sepahit apapun, akan bisa kita lalui, karena kita telah menyiapkan bentengnya, berupa aqidah Islam yang menancap kuat.

Kedua:  Faktor  teman  juga  bisa  menghalangi  kita  dalam menentukan pengambilan keputusan atas sebuah pilihan. Maka dengan siapa kita berteman itu menjadi sangat penting bagi pembentukan jati diri kita. Mungkin ada teman pernah berbisik di telinga kita, “kamu tidak akan jauh lebih baik, ketika berani memilih Islam sebagai jalan hidupmu”.

 Kalo ada teman yang bilang gitu, maka ada dua hal yang bisa kita lakukan;pertama, biarkan teman kita ‘menggonggong’, kita tetap saja berlalu. Kedua, kita membalik dan membantah apa yang dibilang teman kita tadi, dan justru kita ingin mengajak teman kita mengikuti langkah kita.

Ketiga: Faktor selanjutnya adalah keluarga. Keluarga adalah salah satu sekolah kehidupan. Bisa jadi, kita seperti sekarang ini, karena dibentuk oleh keluarga kita. Mungkin ada yang mengeluh dan kecewa karena dilahirkan dari keluarga yang miskin, nggak paham Islam dan seterusnya. Memang, kita nggak bisa memilih dilahirkan dari keluarga yang mana dan bagaimana. Tapi yakinlah setelahnya, kita bisa memilih untuk seperti apa dan mau bagaimana, karena coba perhatikan, kita dengan mereka yang soleh, dengan mereka yang sudah taubat, punya waktu yang sama, yakni 24 jam sehari, yang dimakan juga sama, hidup pun di bumi yang sama. Lalu kenapa kita masih ragu untuk memilih Islam? 

Keempat:    Berikutnya    adalah    faktor    masyarakat. Masyarakat, akan menjadi faktor eksternal yang ikut mempengaruhi pembentukan kepribadian kita. Masyarakat yang cenderung permisif (serba bebas), akan mengajari kita menjadi orang yang permisif juga. 

Banyak orang tua atau keluarga mengeluh terhadap anaknya menjadi seperti  yang  tidak  diinginkan,  karena  ternyata  lingkungan  atau masyarakat lebih berhasil membentuk karakter si anak. 


Orang tua yang mendidik anaknya agar menjadi soleh, tapi ternyata lingkungan tempat bergaulnya kurang mendukung, maka terbawalah si anak pada pergaulan. Demikian pula dengan kita, kalau tidak kuat benteng yang kita bentuk, maka benturan dari masyarakat yang sekular, permisif, akan mempengaruhi kita mengambil keputusan untuk memilih Islam. 

Kita jadi minder untuk tampil Islami, hanya karena gara-gara kita berpikir masyarakat banyak yang belum melakukan itu. Kita jadi enggan untuk menjadi soleh, karena gara-gara melihat masyarakat yang menurut
 
ukuran sudah soleh, seperti bergelar haji, ustad, kyai, tapi ternyata melakukan kemaksiatan juga Kelima: Faktor yang terpenting juga adalah negara, dengan kebijakannya berupa aturan dan perundangan, akan bisa mengatur corak masyarakat seperti apa yang akan dibentuk oleh negara. Sementara kita ada di dalam masyarakat dan negara tersebut. 

Sebuah negara yang melakukan pembiaran terhadap pemikiran sekularisme, menerapkan   undang-undang   yang   mengakomodir   liberalisme, menggandeng orang-orang yang mengusung pluralisme, maka negara itu akan menjadikan kita, sebagai warga negaranya, tidak jauh dari paham-paham tersebut.

 Kalo pun toh ada, individu yang secara etika baik, tapi tidak menjamin pemikirannya terbebas dari sekularisme. Ibarat wadah dan isi, seorang yang telah memilih Islam sebagai way of life hanya akan bisa bertahan, hanya akan betah, atau hanya akan bisa dihasilkan, jika wadahnya juga Islam. Artinya, Islam sebagai syariah juga harus diterapkan dalam negara tersebut, agar individu, keluarga dan masyarakat yang Islam, bisa terwadahi dengan wadah yang benar, dan tentunya mendapat ridlo Allah. 

Nah, dengan memahami beberapa faktor yang mempengaruhi kita dalam mengambil keputusan tentang pilihan hidup kita, tentang jati diri kita. Maka dengan demikian sampailah kita pada satu pemahaman bahwa untuk menentukan pilihan jati diri, bukan hanya faktor individu saja, melainkan butuh faktor lingkungan dan bahkan negara. 

Karena memang faktanya, kita tidak hidup sendiri, kita hidup dalam sebuah lingkungan dan negara beserta peraturannya.

Faktor  keluarga,  masyarakat  dan  negara  jugalah  yang berkontribusi memberikan informasi dan juga fakta tentang Islam. Jika ketiga komponen tersebut, menyuguhkan Islam sebagai yang tertuduh, Islam hanya cukup di masjid, Islam tidak lebih hanya ajaran penenang batin, maka bisa dipastikan, kita akan ragu bahkan menolak memilih Islam. Tapi sebaliknya jika yang kita dapat dari bergaul dengan teman, keluarga dan masyarakat berupa Islam yang utuh, Islam sebagai solusi kehidupan, Islam yang pernah berjaya, maka senegatif apapun kata orang di sekitar kita tentang Islam, bisa kita lewati dengan mudah.
Sehingga tidak perlu berpikir terlalu lama untuk memutuskan. 

Sekaranglah saat yang tepat untuk membuat pilihan dan menjatuhkan pilihan hanya kepada Islam sebagai way of life. Allah berfirman : Kemudian  apabila  kamu  telah  membulatkan  tekad,  maka bertawakallah kepada Allah” (QS. Ali ‘Imran [3]: 159). 


Posting Komentar