Hukum syara menurut istilah pakar ushul fiqih adalah seruan (khithab) Syâri yang berkaitan dengan aktivitas hamba (manusia), berupa tuntutan (al-iqtidla), penetapan (al-wadl‟i) dan pemberian pilihan (at-takhyir).
Dalam definisi tersebut dikatakan as-Syâri‟, tidak dikatakan Allah agar bisa mencakup juga Sunnah dan Ijma‟, sehingga tidak ada dugaan bahwa yang dimaksud dengan khithab itu hanya al Quran saja.
Disebutkan pula (dalam definisi) yang berkaitan dengan aktivitas hamba (manusia), tidak menggunakan kata mukallaf; agar bisa mencakup hukum-hukum yang berkaitan dengan anak kecil dan orang gila. Seperti hukum tentang zakat atas harta yang dimiliki anak kecil dan orang gila.
Dari definisi tersebut jelas sekali bahwa hukum syara terbagi dua bagian:
Pertama: Seruan Syâri‟ yang berkaitan dengan penjelasan hukum atas perbuatan manusia; berupa tuntutan dan pemberian pilihan. Ini disebut dengan khithab taklifi, yaitu seruan yang berarti tuntutan, baik tuntutannya pasti (jazm) atau tidak pasti (ghair jazm), atau yang dimaksudkan seruannya berupa pilihan antara megerjakan atau tidak.
Kedua: Seruan Syâri‟ yang menjelaskan perkara-perkara yang dituntut oleh hukum atas perbuatan manusia, yaitu perkara–perkara yang menentukan terwujudnya suatu hukum atau kesempurnaannya. Ini disebut dengan khithab wadl'i.
Berdasarkan penjelasaan di atas maka bagian pertama menjelaskan tentang hukum-hukum atas perbuatan hamba.
Sedangkan bagian kedua menjelaskan hukum-hukum itu sendiri.Bagian pertama kita bisa melihatnya dengan jelas bahwa ia berkaitan dengan perbuatan hamba (manusia). Begitu pula bagian yang kedua bisa dilihat dengan jelas keterkaitannya dengan perbuatan hamba.(meski tidak secara langsung).
Karena perkara yang terkait dengan perkara lain yang berhubungan dengan sesuatu berarti terkait pula dengan sesuatu tersebut.
Dengan demikian, hukum syara adalah seruan syâri yang berkaitan dengan perbuatan hamba (manusia), baik berupa iqtidla (tuntutan), takhyir (pilihan) ataupun wadli.
Sebelum menjelaskan kedua bagian hukum syara tersebut kita mesti mengetahui terlebih dahulu siapa yang berhak mengeluarkan hukum atas perbuatan ataupun benda; atau biasa disebut dengan istilah al-Hâkim.
Siapakah Yang dimaksud dengan al-Hâkim?
Maksud dari dikeluarkannya suatu hukum adalah menentukan sikap manusia atas suatu perbuatan. Apakah dia akan mengerjakannya atau akan meninggalkannya, atau memilih (salah satu) diantara keduanya. Begitu pula atas suatu benda, apakah akan mengambilnya atau meninggalkannya, atau akan memilih (salah satu) diantara keduanya.
Semuanya tergantung pada pandangan manusia terhadap sesuatu; apakah perkara tersebut baik atau buruk; atau tidak baik dan juga tidak buruk.
Berdasarkan hal ini maka obyek pengeluaran suatu hukum atas perbuatan atau benda adalah menetapkan hasan (baik) dan qabih (buruk)nya suatu perbuatan atau benda. Penetapan tersebut bisa ditinjau dari tiga aspek, yaitu:
- Dari aspek fakta
- Dari aspek kesesuaian atau tidaknya dengan tabi‟at manusia
- Dari aspek pahala dan siksa, atau dari aspek pujian dan celaan.
Untuk aspek pertama dan kedua, maka penetapan dan pengeluaran suatu hukum diserahkan kepada manusia itu sendiri, yakni kepada akalnya. Contohnya, akal manusia menetapkan bahwa ilmu itu baik, dan bodoh itu buruk; karena berdasarkan kenyataan ilmu dan bodoh itu memperlihatkan adanya kesempurnaan atau kekurangan. Akal juga mampu menetapkan bahwa menyelamatkan orang yang tenggelam itu baik, dan membiarkannya celaka adalah buruk; karena tabiat manusia cenderung untuk menyelamatkan orang yang akan binasa.
Sedangkan aspek ketiga, yakni aspek pahala dan siksa, maka penetapannya hanya bisa dilakukan oleh Allah Swt, yakni Syâri. Seperti, iman itu baik dan kufur itu buruk, ta‟at itu baik dan maksiat itu buruk.
Terhadap perkara-perkara ini akal tidak mampu mengeluarkan hukum. Karena akal didefinisikan sebagai pemindahan (pencerapan) atas fakta yang telah diindera ke dalam otak dibarengi dengan adanya informasi sebelumnya yang akan menafsirkan fakta tersebut, kemudian mengkaitkan antara fakta dengan informasi. Berdasarkan definisi di atas maka akal tidak akan mampu mengeluarkan hukum atas sesuatu yang tidak bisa diindera, seperti petunjuk (huda), kesesatan (dlalal), halal, haram, ta‟at, maksiat, dan sejenisnya.
Menentukan apakah suatu perbuatan itu diridhai Allah sehingga akan diberikan pahala, atau dibenci Allah sehingga akan dikenakan siksa, adalah diluar kemampuan akal, kecuali jika telah ada berita (informasi) dari Allah. Itulah dalil aqli tentang penetapan hasan dan qabih. Sedangkan dilihat dari aspek dalil syar‟i, maka syara telah menjadikan penetapan hasan dan qabih terbatas pada perintah syara semata, yaitu perintah Allah dan Rasul-Nya. Hal ini bisa dijelaskan dengan mengambil nash-nash dari Al Qur‟an dan as-Sunnah.
Allah Swt berfirman:
Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. (TQS. an-Nisa [4]: 5)
Katakanlah: 'Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu' (TQS. Ali Imran [3]: 31)
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(Nya), dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (Sunnahnya). (TQS. an-Nisa [4]: 59)
Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil amri diantara mereka tentulah orang - orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil amri). (TQS. an-Nisa [4]: 83)
Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih. (TQS. an-Nuur [24]: 63)
Rasulullah saw bersabda:
Barangsiapa yang membuat sesuatu (perkara) baru dalam urusan kami ini, yang tidak berasal darinya, maka hal itu tertolak. Tidak beriman salah seorang diantara kalian sehingga aku lebih dicintai daripada keluarganya, hartanya dan seluruh manusia.
Dari penuturan diatas jelas bahwa yang memiliki wewenang untuk mengeluarkan hukum atas perbuatan dan benda adalah syara, bukan akal. Hal itu dilihat dari aspek pahala dan siksa atas suatu perbuatan.
Dalam perkara ini tidak dikecualikan dua aspek yang telah dijelaskan sebelumnya, karena akal mampu menetapkan baik dan buruknya suatu perbuatan atau benda dilihat berdasarkan faktanya dan dari aspek kesesuaian atau tidaknya dengan tabiat manusia. Sedangkan dari aspek pahala dan siksa, akal tidak akan mampu mengeluarkan hukum karena hal ini termasuk kedalam aspek ketiga sebagaimana yang telah dijelaskan.
Anda mampu menetapkan berdasarkan akal bahwa ilmu itu baik, akan tetapi menetapkan bahwa ilmu itu berpahala atau membawa implikasi pada siksaan tidak mampu ditentukan oleh akal. Yang mampu menentukannya adalah syara. Anda dengan akal mampu menetapkan bahwa menolong orang tenggelam itu adalah (perbuatan) baik, akan tetapi menetapkan bahwa menolong orang yang tenggelam itu akan mendapatkan pahala, tidak bisa ditentukan oleh akal, tetapi ditentukan oleh syara.
Ini telah dijelaskan dalam pembahasan aspek yang ketiga. Dengan demikian, yang mempunyai wewenang mengeluarkan hukum atas perbuatan atau benda adalah syara semata, bukan akal.
Disadur dari kitab TASIRIL WUSHUL ILAL USHUL ‘Atho’ bin kholil
Posting Komentar