APA ITU PEMIKIRAN ISLAM?
Pendahuluan
Sebuah pemikiran tidak jarang dinisbatkan kepada orang yang menyebarkan dan mengadopsinya sehingga dinyatakan, misalnya, “pemikiran Eropa” atau “pemikiran Rusia”; kadang- kadang juga dinisbatkan kepada peletak dasar pemikiran itu sehingga sering dinyatakan, “pemikiran Marxis”, “pemikiran Plato”, dan “pemikiran Hegel”.
Suatu pemikiran juga acapkali disandarkan pada kaidah dasar (al-qâ‘idah al-asasiyyah) yang menjadi landasan pemikiran tersebut sehingga dinyatakan, misalnya, “pemikiran Islam”. Disebut demikian karena kaidah dasar yang membangun pemikiran tersebut adalah akidah Islam. Akidah Islam bukan berasal dari orang Arab atau manusia lainnya. Akidah Islam berasal dari Allah swt Dialah yang telah memberi nama bagi ideologi (mabda’) dan agama ini dengan nama Islam. Allah swt berfirman:
Sesungguhnya agama yang diridhai di sisi Allah hanyalah Islam. (TQS Ali Imran [3]: 19).
Pemikiran Islam, baik yang dinukil dari orang Arab atau dari selain orang Arab, tetap dipandang sebagai pemikiran Islam. Oleh karena itu, tidak ada perbedaan antara pemikiran yang dinukil dari Imam Syafi’i, Imam al-Bukhari, Muhammad Asad an-Namsawi atau Abul A’la al-Mawdudi. Semuanya merupakan pemikiran Islam, meskipun terdapat keragaman ras atau bahasa pada individu-individu yang melakukan ijtihad atau yang menukilnya. Akan tetapi, pemikiran orang Arab sebelum datangnya Islam, bukanlah pemikiran Islam. Oleh karena itu, “pemikiran Islam” merupakan penyebutan sebuah pemikiran dengan sebuah sebutan yang sempurna, tanpa ada penambahan ataupun pengurangan. Dengan demikian, semua pemikiran yang bersumber dari Islam, disebut dengan “pemikiran Islam.”
Saya menyatakan demikian karena saya telah melihat hubungan yang kuat antara orang Arab dan Islam serta antara bahasa Arab dan Islam. Allah swt telah berfirman:
Dialah Yang telah mengutus kepada kaum yang ummi (buta huruf) seorang rasul di antara mereka. (TQS al-Jumu‘ah [62]: 2).
Mengenai Al Qur’an, Allah telah berfirman:
Ini (al-Qur’an) adalah dalam bahasa Arab yang terang. (TQS an-Nahl [16]: 103).
Sesungguhnya Kami telah memudahkan al-Qur’an itu dengan bahasamu (Muhammad) agar mereka mendapatkan pelajaran. (TQS ad-Dukhan [44]: 58).
Saya menyadari bahwa nash-nash al-Qur’an dan as-Sunnah tidak mungkin dipahami dengan pemahaman yang benar dan mendalam, kecuali dengan bahasa Arab; tidak mungkin pula berijtihad, yakni melakukan penggalian (istinbâth) hukum-hukum syariat, kecuali dengan bahasa Arab. Atas dasar ini, potensi Arab (orang Arab dan bahasa mereka) dan Islam adalah ibarat saudara kembar yang tidak bisa dipisahkan. Tatkala potensi Arab dipisahkan dari Islam, Daulah Islamiyah menjadi lemah, dan kemudian hancur.
Defenisi Pemikiran Islam
Sebuah defenisi yang benar harus memenuhi dua hal: ‘menyeluruh” (jâmi‘an) sekaligus “mencegah” (mâni‘an). Yang dimaksud dengan menyeluruh (jaami’an) yaitu mencakup seluruh bagian-bagian dan sifat-sifat dari sesuatu yang didefinisikan. Dan yang dimaksud dengan mencegah (maani’an) yaitu mencegah masuknya makna asing ke dalam sesuatu yang didefinisikan. Berdasarkan alasan di atas, saya mendefinisikan pemikiran Islam sebagai: Upaya menilai fakta dari sudut pandang Islam.
Dengan demikian, pemikiran Islam mengandung tiga hal, yakni:
(1) fakta (al-wâqi‘); (2) hukum (justifikasi); (3) keterkaitan fakta dengan hukum.
Fakta dapat berupa benda maupun perbuatan. Fakta berupa benda hanya memiliki dua macam hukum, yakni mubah (halal) dan haram. Buah anggur, misalnya, hukumnya mubah, sedangkan khamar hukumnya haram. Dalam konteks benda ini, ada sebuah kaidah syariat yang diambil dari nash-nash al-Qur’an dan al- Hadis:
Hukum asal setiap benda adalah mubah, kecuali ada dalil yang mengharamkannya.
Sedangkan jika fakta itu berupa perbuatan, maka hukumnya ada lima, yakni fardhu (wajib), mandub (sunnah), mubah, makruh dan haram. Misalnya, puasa Ramadhan hukumnya wajib, shadaqah hukumnya sunnah (mandub), makan roti mubah, berbicara di WC makruh, dan riba itu haram.
Kaidah syara yang dinisbahkan kepada perbuatan adalah:
Hukum asal setiap perbuatan adalah terikat (dengan hukum syara).
Hukum atas fakta harus diambil dari dalil-dalil syara yaitu Kitabullah dan Sunnah Rasul, dan apa-apa yang ditunjukkan oleh Kitabullah dan Sunnah Rasul, yaitu Ijma’ Sahabat dan Qiyas.
Pemikiran Islam ada dua macam, yaitu pemikiran yang berkaitan dengan aqidah, seperti keimanan kepada Allah, kepada Rasul-rasul-Nya, kitab-kitab-Nya dan hari akhir.
Asas-asas Pemikiran Islam
Pemikiran Islam dibangun di atas dua asas, yakni akal dan syara.
1.Akal
Islam telah memerintahkan manusia untuk memperguna- kan akalnya. Allah mendorong manusia untuk memperhatikan alam semesta dan apa saja yang ada di dalamnya dengan cermat, sehingga dapat menghantarkan kepada keimanan tentang adanya Al-Khaliq, yang menciptakannya. Allah swt berfirman :Dan pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tiada memperhatikan? (TQS. Adz Dzaariyaat [51]: 21).
Maka perhatikanlah manusia itu, dari apa dia diciptakan. (TQS. Ath-Thaariq [86]: 5)
Apakah mereka tidak memeperhatikan pada kerajaan langit dan bumi dan segala sesuatu yang telah diciptakan Allah. (TQS. Al A’raaf [7]: 185).
Dengan pengamatan seperti ini, manusia bisa membuktikan adanya al Khaliq Yang Maha Kuasa.
Dengan akalnya, manusia bisa menjangkau keberadaan al- Khaliq Yang Maha Esa yang telah menciptakan makhluq. Dengan akalnya pula, manusia bisa membuktikan bahwa Al-Qur’an adalah kalamullah, dan Mohammad adalah Rasulullah. Oleh karena itu, akal merupakan asas bagi aqidah Islam. Sekaligus menunjukkan bahwa aqidah Islam adalah aqidah aqliyyah. ‘Aqidah yang menjadi asas bagi pemikiran Islam. ‘Aqidah yang dibangun berdasarkan akal.
2.Syara’
Sumber pemikiran Islam, dengan seluruh bagiannya, adalah hukum syara yang bersumber dari wahyu, yaitu Al-Qur’an dan As- Sunnah dan apa yang ditunjuk oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah yakni ijma sahabat dan qiyas. Syara merupakan asas pemikiran Islam. Sampai kapanpun, pemikiran Islam tidak akan keluar dari syara. Agar suatu pemikiran dianggap sebagai pemikiran Islam maka harus digali dari dalil-dalil syara. Misalnya jihad, syura, dan iman kepada adanya jin. Semuanya merupakan pemikiran Islam yang datang dari dalil-dalil kitabullah dan sunnah Rasul. Adapun imperialisme, teori Darwin, ataupun pemikiran sosialisme, bukanlah pemikiran Islam. Bahkan pemikiran Islam telah menjelaskan sikapnya terhadap pemikiran-pemikiran semacam ini.
Ciri khas pemikiran Islam akan hilang jika terpisah -secara keseluruhan atau sebagian- dari wahyu. Allah melarang kita untuk melakukan pemisahan ini. Firman Allah:
Barang siapa yang mencari selain Islam sebagai agama, maka sekali-kali tidak akan diterima darinya dan dia pada hari akhirat termasuk orang yang merugi. (TQS. Ali Imran [3]: 85).
Pemikiran Islam tidak menerima tambal sulam, sebagaimana yang dilakukan sebagian orang yang mengambil perekonomian Marxis atau Kapitalisme, sedangkan akhlaq atau interaksi sosialnya diambil dari pemikiran Barat. Bahkan mereka terpesona dengan setiap hal baru dan asing- kemudian menginsersikannya pada pemikiran Islam.
Ciri Khas Pemikiran Islam
Pemikiran Islam memiliki beberapa ciri khas, antara lain: bersifat komprehensif (syumuliyyah), luas, praktis (‘amaliy), dan manusiawi.
Kekomprehensifan Pemikiran Islam
Pemikiran Islam mengatur semua aspek kehidupan manusia, seperti politik, sosial kemasyarakatan, perekonomian, kebudayaan, dan akhlaq. Islam hadir dengan membawa aturan yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan Tuhannya, dengan dirinya sendiri dan dengan orang lain. Aturan yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya tercakup dalam aqidah dan ibadah. Sedangkan aturan yang mengatur hubungan antara manusia dengan dirinya sendiri tercakup dalam hukum- hukum tentang makanan, pakaian, dan akhlaq. Selebihnya adalah aturan yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lain, semisal, masalah mu’amalah, ‘uqubaat, dan politik luar negeri. Allah swt berfirman:
Dan Kami telah menurunkan kepadamu al kitab sebagai penjelas segala sesuatu. (TQS. An Nahl [16]: 89)
Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu dan telah kucukupkan untukmu nikmat-Ku. (TQS. Al Maa-idah [5]: 3)
Setelah memahami kedua ayat di atas seorang muslim tidak boleh menyatakan bahwa, ada sebagian perbuatan manusia yang tidak ada status hukumnya dalam Islam.
Keluasan Pemikiran Islam
Keluasan pemikiran Islam, disebabkan karena, para ulama mungkin untuk melakukan istinbath (menggali) hukum-hukum syar’iy dari nash-nash syara tentang perkara baru apapun, baik perbuatan maupun benda. Dalil-dalil syara hadir dalam bentuk gaya bahasa yang mampu mencakup perkara apa saja hingga hari kiamat. Apabila ditanyakan kepada seorang muslim saat ini, apa dalil syara tentang kebolehan mengendarai roket, pesawat, atau kapal selam, kemudian ia meneliti dalil-dalil syara untuk mengetahui hukumnya, niscaya dia akan menemukannya dalam firman Allah:
Dan dia menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang ada dibumi semua. (TQS. Al Jaatsiyah [45]: 13).
Dan suatu tanda (kebesaran Allah yang besar) bagi mereka adalah bahwa Kami angkut keturunan mereka dalam bahtera yang penuh muatan dan Kami ciptakan bagi kereka kendaraan seperti bahtera itu. (TQS. Yaasiin [36]: 41-42).
Atau jika ada yang menanyakan, apakah umat Islam boleh memiliki bom atom, maka dia akan menjumpai hukum syara tentang perkara itu dalam firman Allah:
Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka, kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu. (TQS. Al Anfaal [8]: 60).
Pemikiran Islam merupakan Pemikiran yang Bersifat Praktis (‘Amaliy)
Hukum-hukum Islam hadir untuk diterapkan dan dilaksanakan di tengah-tengah kehidupan. Manusia tidak akan dibebani melebihi apa yang dia sanggupi. Allah berfirman:
Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan kesanggupannya.(TQS. Al Baqarah [2] : 286).Demi masa, sesungguhnya manusia itu dalam keadaan merugi, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shaleh. (TQS. Al ‘Ashr [103]: 1-3).
Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman diantara kalian dan orang-orang yang mengerjakan amal shaleh, bahwa sungguh dia akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi… (TQS. An Nuur [24]: 55).
Pemikiran Islam pernah diterapkan di tengah-tengah manusia selama 13 abad, dalam sebuah negara adidaya di dunia.
Pemikiran Islam Merupakan Pemikiran Bersifat Manusiawi
Islam menyeru kepada manusia dalam kapasitasnya sebagai manusia, tanpa melihat lagi ras atau warna kulitnya. Firman Allah swt:
Hai manusia beribadahlah kepada Tuhanmu… (TQS. Al Baqarah [2]: 21).
Katakanlah: Hai manusia, sesungguhnya aku (Muhammad) adalah utusan Allah untuk kalian semua. (TQS. Al A’raaf [7]: 158).
Dan aku jadikan kalian bersuku-suku dan berbangsa-bangsa supaya kalian saling kenal mengenal. (TQS. Al Hujuraat [49]: 13).
Rasulullah saw bersabda:
Aku diutus untuk orang yang berkulit merah maupun berkulit hitam.
Orang-orang selain orang Arab pun telah beriman kepada agama ini, seperti Persia, Romawi, India dan sebagainya. Demikianlah, Islam telah mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju cahaya, dari keterpurukan menuju kebangkitan.
Keistimewaan Pemikiran Islam di antara Seluruh Pemikiran Sebelumnya
Keistimewaan pemikiran Islam dibanding agama-agama samawi sebelumnya dan dari pemikiran ‘ciptaan’ manusia adalah:
- Agama-agama sebelumnya ditujukan kepada kelompok manusia tertentu dan jaman tertentu. Sedangkan Islam ditujukan kepada seluruh manusia hingga hari kiamat. Para rasul terdahulu (sebelum Rasulullah saw) diutus khusus untuk kaum mereka. Setelah itu, para pengikutnya mengabaikan risalah rasulnya, dan merubah pemikiran-pemikirannya, setelah rasulnya wafat. Sedangkan Muhammad saw diutus kepada seluruh umat manusia. Beliau adalah penutup para Nabi.
- Risalah-risalah rasul terdahulu hanya memecahkan beberapa bagian tertentu dari persolan kehidupan manusia seperti aqidah, ibadah, hubungan laki-laki dan wanita atau persoalan makanan. Sedangkan syari’at Islam hadir untuk memecahkan seluruh aspek kehidupan manusia, dan mengatur seluruh interaksi manusia, baik ‘interaksi’ manusia dengan Tuhannya, hubungan dia dengan dirinya sendiri dan interaksinya dengan orang lain.
- Mu’jizat para rasul terdahulu bersifat temporal, akan berhenti dan lenyap bersamaan dengan wafatnya rasul tersebut. Misalnya, mu’jizat tongkat Nabi Musa, kemampuan menghidupkan orang mati yang dimiliki Nabi Isa, mu’jizat Nabi Sulaiman berupa kemampuannya menundukkan burung, Jin dan angin, serta mu’jizat unta betinanya Nabi Shalih. Sedangkan mu’jizat Nabi Muhammad saw bersifat kekal dan abadi sampai hari kiamat. Mu’jizat itu berupa Al-Qur’an al- Kariim yang senantiasa menantang manusia untuk membuat yang serupa dengannya. Inilah satu-satunya kitab yang dijanjikan oleh Allah untuk dipelihara (dijaga), seperti dalam firmannya: Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan al Qur’an dan kami pulalah yang akan menjaganya. (TQS. Al Hijr [15]: 9).
- Tiga keistimewaan di atas berhubungan dengan risalah samawiyyah. Adapun, dibandingkan dengan pemikiran yang dibuat oleh manusia, Islam berbeda dengan pemikiran- pemikiran tersebut. Sebab, Islam berasal dari Pencipta semesta alam. Dialah Sang Pencipta yang mengetahui dan memahami karakteristik manusia. Oleh karena itu, tak seorang pun yang sanggup membuat sistem yang bersifat menyeluruh, sempurna dan rinci untuk mengatur kehidupan manusia layaknya aturan yang diturunkan oleh Sang Pencipta kepada manusia. Demikianlah, apa yang dianggap baik oleh sebagian manusia, kadang-kadang akan dianggap buruk oleh yang lain. Di sisi lain, tidak mungkin secara bersamaan mereka rela dengan aturan yang dibuat orang lain. Bahkan jika golongan yang tidak ridha tadi berhasil memegang tampuk pemerintahan, niscaya mereka akan mengganti sistem -yang tadinya dibuat oleh orang sebelumnya- sesuai dengan apa yang mereka sepakati dan inginkan. Sebab lain yang menjadikan aturan buatan manusia, tidak sempurna dan tidak layak untuk mengatur manusia secara keseluruhan, adalah tidak adanya pemahaman dari pencipta sistem itu tentang perbedaan –karakter-- masing-masing individu yang hidup dalam masyarakat. Mereka juga tidak memahami perkara-perkara apa saja yang akan muncul dan berkembang di masa mendatang. Sedangkan Allah, Dialah yang mengetahui apa yang akan terjadi. Islam telah mengatur keseluruhan aktivitas manusia maupun benda yang digunakan sebagai pemuas kebutuhan manusia, baik kebutuhan naluri maupun jasmani. Allah telah memaparkan nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah, dengan paparan yang komprehensif, untuk menjelaskan status hukum bagi setiap perkara yang akan terjadi, baik yang menyangkut perbuatan manusia maupun benda yang digunakan oleh manusia.
Transformasi yang Dihasilkan oleh Pemikiran Islam di Dalam Kehidupan Manusia
- Pemikiran Islam telah mengubah manusia dari penyembahan terhadap selain Allah seperti patung dan api, kepada penyembahan terhadap Allah semata.
- Pemikiran Islam telah mengubah pandangan mereka tentang kehidupan, dari cara pandang yang dangkal menuju cara pandang yang mendalam lagi jernih (nazharatan ‘amiiqatan mustaniiratan) yang merupakan cerminan dari aqidah Islam, yaitu pemikiran menyeluruh tentang alam semesta, manusia dan kehidupan, dan apa yang ada sebelum dan sesudah kehidupan dunia, serta tentang hubungan antara kehidupan dunia dengan kehidupan sebelum dan sesudahnya.
- Pemikiran Islam telah mengubah ikatan-ikatan yang ada pada mereka seperti ikatan kepentingan (al mashlahiyyah), kesukuan (al qabiliyyah), dan patriotisme (al wathaniyyah) kepada ikatan ideologis, sebagai sebuah sebuah ikatan yang langgeng lagi kokoh. Adapun ikatan-ikatan sebelumnya bersifat temporal dan lemah.
- Pemikiran Islam telah mengubah tolok ukur aktivitas kehidupan mereka dari manfaat-egoisme kepada tolok ukur halal dan haram. Apabila halal, mereka mengerjakan dan mengamalkannya, sedangkan jika haram, mereka segera menjauhi dan membencinya.
- Pemikiran Islam telah mengubah asas hubungan kenegaraan. Sebelumnya, hubungan kenegaraan dibangun di atas kepentingan-kepentingan materi, ketamakan dan kepongahan, kemudian menjadi tegak di atas asas penyebaran pemikiran Islam dan mengembannya kepada seluruh umat manusia.
- Pemikiran Islam telah mengubah persepsi tentang kebahagiaan pada diri umat. Sebelumnya, kebahagiaan tercermin dalam pemenuhan terhadap syahwat dan segala bentuk kenikmatan dunia. Setelah itu, persepsi kebahagiaan, beralih kepada mencari ridha Allah. Akhirnya, mereka tidak takut akan kematian, dan berharap syahid di jalan Allah. Sebab, mereka telah memahami bahwa dunia ini hanyalah jalan menuju akhirat.
Posting Komentar