Cabang Ilmu Bahasa Arab : Nahwu Definisi, Manfaat Dan Contohnya

kaidah-kaidah ilmu, yang berfungsi untuk mengetahui keadaan/bentuk akhir suatu kalimat berbahasa arab ketika merangkap (dengan kalimat lain), yakni i’
Cabang Ilmu Bahasa Arab : Nahwu Definisi, Manfaat Dan Contohnya


Ilmu bahasa Arob terdapat dua belas cabang ilmu, yakni diantaranya ilmu lughoh, ilmu tahsrif, ilmu nahwu, ilmu ma'ani, ilmu bayan, ilmu badi', ilmu arudh, ilmu qowafi, ilmu qawanin alkitabah, ilmu qawanin alqiro'ah, ilmu insya'ir rosa'il wal khothbi, ilmu muhadhoroh, diantaranya pula ilmu tarikh, akan tetapi yang ditekankan dan dimaksudkan disini adalah ilmu nahwu.

Ilmu nahwu tentu saja kita sudah sering mendengarnya. Bagi pemula penting kiranya sebelum kita membahas apa saja yang menjadi pembahasa ilmu nahwu, maka kita terlebih dahulu memahmi apa itu Ilmu Nahwu. 

Definisi Ilmu Nahwu

Secara sederhana, ilmu ini mempunyai definisi:


علم بقواعدَ يُعرَف بها أحوالُ أواخرِ الكلِم العربيةِ حال تركيبها من الإعراب والبناًء وما يتبع ذلك 


“kaidah-kaidah ilmu, yang berfungsi untuk mengetahui keadaan/bentuk akhir suatu kalimat berbahasa arab ketika merangkap (dengan kalimat lain), yakni i’rab, bina dan sebagainya”


Dari definisi tersebut, dapat diketahui bahwa objek kajian ilmu ini hanyalah huruf akhir dari kalimat-kalimat berbahasa arab. Adapun untuk mengkaji bagian awal atau bagian tengah daripadanya diatur dalam ilmu lain yang bernama ilmu sharaf. Berkenaan dengan hal ini, ada sebuah ungkapan yang sangat masyhur, yaitu:


الصرفُ أُمُّ العلومِ والنحوُ أبوها

“ilmu sharaf adalah ibunya ilmu dan ilmu nahwu merupakan bapaknya”

Ungkapan ini mengandung arti bahwa ilmu sharaf bertindak laksana ibu, yang –biasanya- mengurus anak dari semenjak lahir hingga dewasa (awal dan tengah). Sementara ilmu nahwu bertindak layaknya bapak, yang mengurus anak pada masa dewasa hingga ia mampu berdiri sendiri (akhir kepengurusan).

Menutu Kitab Alkawakib Addurriyah Mutammimah Al-ajrumiyah Syaikh Muhammad Ibn Ahmad Ibn Abdil Barii Ahdal Rahimahulloh : Ilmu nahwu secara istilah adalah ilmu yang menjadi ushul, dasar, landasan untuk mengetahui keadaan akhir sebuah kata, baik i'robnya ataupun bina'nya.

Sementara itu menurut Disebutkan pula ilmu nahwu secara istilah oleh para Ulama Nahwu adalah: 

العلم بالقواعدِ التي يُعرف بها احكام اوخرِ الكلمات العربية في حال تركيبها : مِن الاعراب و البناء و ما يتبع ذلك.

Adalah sebuah ilmu dengan bermacam qoidah yang akan diketahui dengan ilmu tersebut hukum hukum akhir dari kata kata berbahasa Arob pada keadaan susunannya : dari i'rob dan bina' serta apa saja yang mengikutiya.

فتعرفهُ لغةً : يطلقُ على معانٍ كثيرةٍ، منها :

١. القصدُ تقولُ : نحوْتُ جهةَ زيدٍ أي : قصدتُها.

٢. المثلُ  تقولُ  : زيدٌ نحو عليٍ أي : مثله.

٣. المقدارُ تقولُ: عندي نحوُ ألفٍ. أي :قدرُ ألفٍ. و المعنى الأول أكثرُها و اظهرُها.


Adapun definisi nahwu secara bahasa dalam kitab Kitab Attuhfah Alwushobiyah. dikaitkan hal itu dengan banyak makna, diantaranya :

1. Alqosdu yakni niyat atau tujuan : 

نحوْتُ جهةَ زيدٍ. Aku (berpaling) menuju arah Zaid. Yakni yang menjadi maksud arah tujuannya.

2. Almitslu yakni serupa atau semisal : 

زيدٌ نحو عليٍ : Zaid serupa dengan Ali. Yakni serupa dengannya.

3. Almiqdar yakni takaran :

عنديْ نحو ألفٍ : Aku memiliki setakar seribu. Yakni takaran seribu.

Dan makna yang pertama lebih banyak digunakan dan lebih nampak apa yang menjadi definisi dari nahwu.


Manfaat dan kegunaan Ilmu Nahwu 

Manfaat dan kegunaan mengkaji ilmu nahwu adalah sebagaimana diungkapkanan Syeikh Ibrahim al-Baijuri dalam kitabnya, al-‘Amrithi, sebagai berikut:

صَوْنُ اللّسان عن الخطإ في الكلام والإستعانة على فهْم كلام الله وكلام رسولِه 

“menjaga lisan dari kesalahan dalam berbicara, dan membantu dalam memahami kalamullah (al-Qur’an) dan kalam Rasul-Nya (al-Hadist)”


Penggagas Ilmu Nahwu

Hampir semua pakar linguistik Arab bersepakat bahwa gagasan awal yang kemudian berkembang menjadi Ilmu Nahwu muncul dari Ali bin Abi Thalib saat beliau menjadi khalifah. Gagasan ini muncul karena didorong oleh beberapa faktor, antara lain faktor agama dan faktor sosial budaya (Dlaif, 1968:11; Al-Fadlali, 1986:5). Yang dimaksud faktor agama di sini terutama adalah usaha pemurnian Al-Qur'an dari lahn (salah baca).

Adapun mengenai tokoh yang dapat disebut sebagai peletak batu pertama Ilmu Nahwu, nampaknya ada perbedaan pendapat di kalangan para ahli. Sebagian ahli mengatakan, peletak dasar Ilmu Nahwu adalah Abul Aswad Ad-Du'ali. Sebagian yang lain mengatakan, Nashr bin 'Ashim. Ada juga yang mengatakan, Abdurrahman bin Hurmus (Dlaif, 1998:13). 

Namun, dari perbedaan-perbedaan pendapat itu, yang paling populer dan diakui oleh mayoritas ahli sejarah adalah Abul Aswad. Pendukung pendapat ini adalah dari golongan ahli sejarah terdahulu antara lain Ibnu Qutaibah (wafat 272 H), Al-Mubarrad (wafat 285 H), As-Sairafiy (wafat 368 H), Ar-Raghib Al-Ashfahaniy (502 H), dan As-Suyuthiy (wafat 911 H), sedangkan dari golongan ahli nahwu kontemporer antara lain Kamal Ibrahim, Musthofa As-Saqa, dan Ali an-Najdiy Nashif (Al-Fadlali, 1986:9-17). Penokohan Abul Aswad ini didasarkan atas jasa-jasanya yang fundamental dalam membidani lahirnya Ilmu Nahwu. 

Abul Aswad Ad-Du'ali (wafat 69 H) adalah orang pertama yang mendapat kepercayaan dari Khalifah Ali bin Abi Thalib untuk menangani dan mengatasi masalah lahn yang mulai mewabah di kalangan masyarakat awam. Ali memilihnya untuk hal itu karena ia adalah salah seorang penduduk Bashrah yang berotak genius, berwawasan luas, dan berkemampuan tinggi dalam bahasa Arab (Al-Fadlali, 1986:8). Ia adalah seorang alim dan mulia yang pernah menjabat sebagai hakim wilayah bashrah. Menurut riwayat yang paling masyhur, nama aslinya adalah Zalim bin Amr. Beliau juga terlahir pada masa kenabian.

Mengenai latar belakang beliau menggagas ilmu ini, beberapa sumber berbeda pendapat. Ada yang mengatakan karena suatu perintah yang dalam hal ini adalah atas perintah Ali bin Abi Thalib, sebagaimana dijelaskan di atas. Ada juga yang menyatakan karena inisiatif beliau sendiri. Seperti dalam riwayat yang menyatakan bahwa suatu ketika Abul Aswad mendengar seorang membaca ayat Al-Qur'an: "Inna AIla:ha bari:un minal musyrikiina warasu:lihi" dengan mengkasrah lam dari kata rasu:lihi, padahal seharusnya difathahkan atau didlammah.

Atas kejadian itu dia kemudian meminta izin kepada Ziyad bin Abieh, Gubernur Bashrah, untuk menulis buku tentang dasar-dasar kaidah bahasa Arab. 


Sumber Ilmu Nahwu

Sumber pengambilan ilmu nahwu adalah:

من القرأن والحديث وكلام العرب الفصيح


“dari al-Quran, al-Hadis dan dari perkataan orang-orang arab yang fashih”



Posting Komentar