Butuh waktu tak sedikit agar bisa memahami apa sih keinginan orangtua kita? Adakalanya kita kesulitan membedakan antara rasa sayang orangtua atau kemarahan mereka. Seringkali kita setengah mati menerjemahkan respon orangtua kita tentang apa yang kita lakukan. Dan kita sering bingung dengan keputusan-keputusan mereka yang tak masuk diakal kita atau juga kadang mengecewakan kita.
Saya pernah nggak habis pikir dengan keputusan orangtua saya, yang setiap kali menyelesaikan masalah kok harus bertengkar dulu sampai bentak-bentak, dan juga marah-marah. Kalau dulu saya berpikir juga sama, ikut marah dan ikut menyalahkan mereka, tanpa memahami duduk permaslahannya dimana dan kenapa kok mereka bertengkar. Saya dulu tak ada niatan untuk melerai, karena saya sendiri juga tidak paham tentang masalah dan bagaimana seharusnya jika menyelesaikan masalah itu.
Saya dari dulu tak pernah tuh namanya diberi hadiah sama orangtua saya, haha, parah kan! Saya itu sering iri berkali-kali, sama teman-teman saya yang setiap kali diperhatikan sama orangtuanya, khususnya ibu mereka, selalu hadir di samping mereka, nah kalau saya jangankan hadir sobat, saya mah dibiarin gitu aja.
Saya kan gini ceritanya hidup di desa terpencil jauh dari tetangga jadi pemikiran orang tua sangat primitif sekali. Orangtuaku, dulu nggak pernah ngerasain dapet hadiah juga kawan jadi mereka nggak pernah kasih hadiah atau pujian. Wong orangtua saya dulu bisa makan dengan kenyang saja masih alhamdulillah. Jadi ketika saya minta sesuatu misal hadiah untuk sekedar penyemangat gitu, jelas mereka nggak mau memberikan, karena itu berlebihan. Mereka bilang ketika saya dapat prestasi itu adalah suatu hal yang wajar karena orang sekolah itu harus dapat prestasi. Nggak perlu hadiah, mau makan saja susah kok hadiah, pemborosan itu.
Menurutku, apa yang terjadi itu sangat menyedihkan kawan, seharusnya anak kecil yang dihargai setiap prestasinya, dan itu tak pernah saya dapatkan. Saya selalu berpikir sendiri jika butuh apa-apa, dan harus berdebat dulu dengan orang tua, misal saat butuh tas atau sepatu yang seharusnya orangtua yang memikirkan apa yang habis dari kebutuhan anaknya, tapi saya harus meminta dulu jika semuanya habis, itupun kadang tidak boleh. Saya dibilang melakukan pemborosan, padahal saya sekalipun tak pernah menggunakan sesuatu itu untuk pemborosan. Jangankan untuk pemborosan mau tampil sewajarnya dan sepantasnya saja saya tidak bisa kesampaian. Serba kekurangan kawan.
Padahal saya hidup di tahun milenia, itu artinya jaman sudah sangat maju, anak–anak mengenal teknologi, komunikasi de el el dengan sangat cepat, tapi saya tak punya semua itu.
Saya tak bermaksud memburukkan keadaan atau melebihkan keadaan atau juga menganggap bahwa sayalah yang paling menderita, tidak kawan, sungguh tidak seperti itu maksudku. Saya hanya ingin berbagi mungkin ada temen-temen yang kisah masa kecilnya juga buruk seperti saya.
Hidup saya tak ada yang mudah kawan, saya dari kecil tumbuh dari lingkungan yang sangat keras, bicara tak sopan itu sudah saya dengar dari kecil, mau tidak mau akhirnya terpengaruh juga dengan lingkungan dan keluarga. Saya dari kecil tak pernah dipuji sama orangtua, di masyarakat juga tak ada artinya, masya Allah benih-benih keirian itu muncul karena saya tak bisa mendapatkan seperti apa yang orang lain dapatkan.
Hidup jauh dari keramaian, di dekat hutan tepatnya, tak tahu apa-apa, tak tahu informasi apa-apa dan aku merasa terkurung dalam sebuah gua. Kenapa saya berpikir seperti itu? Ya karena saya anak milenia, walaupun saya tinggal di desa, ketika di sekolah melihat teman-teman pada umumnya, yang namanya anak kecil pasti juga punya keinginan dan dapat informasi sebelumnya tentang sewajarnya anak.
Saya tumbuh dengan seperti itu hingga besar, jadi saya tidak kaget lagi dengan orang yang dikasih hadiah atau pujian ketika berprestasi, dan saya sudah tidak iri lagi dengan apa yang didapat orang lain yang saya tidak dapat meraihnya. Saya berpikir sendiri tentang hidup saya, apa yang harus saya putuskan apa yang harus saya lakukan.
Dari kecil saya sudah biasa dibiarkan sendiri, jadi saya terus berjuang jika saya ingin dianggap umum dengan orang lain. Ketika saya jadi anak yang lumayan nakal juga dibiarkan dan ketika saya berangsur-angsur mencoba untuk memperbaiki diripun juga dibiarkan. Hingga akhirnya, ketika saya berusaha kejalan yang lebih baik inilah saya mulai sadar dan tahu apa maksud dari semua ini.
Memahami gaya orangtua dalam mendidik saya baru saya sadari dan mengerti sekarang. Kenapa mereka terus membiarkan saya. Memang sih, yang dulu menjadi bomerang dan masalah besar bagi saya. Kini saya bisa mengambil hikmahnya. Setiap orangtua punya cara untuk mendidik anaknya, mungkin maksud orangtua saya agar saya bisa mandiri dan mengerti keadaan sekitar dari kecil. Mereka tak peduli saat saya menangis, merengek dan memaksa, karena mereka ingin saya tidak kecewa ketika saya tidak bisa meraih apa yang saya inginkan.
Jika dilihat dari cara pandang Islam jelas ini tidak tepat, mana mungkin anak akan terima dengan keadaan seperti itu. Tapi baru saya mengerti kenapa mereka melakukan itu, kok tidak seperti cara Islam dalam mendidik? Ya, yang jelas orang tua saya tidak kenal dan tahu ilmu mendidik anak sesuai cara Islam mengajarkannya.
Mereka tidak memakai Islam dalam mendidik saya, tapi saya baru sadar dan tahu bahwa tidak ada orangtua yang membenci anaknya. Mereka itu sangat sayang pada saya melebihi dirinya sendiri. Maka dari itu, mereka mendidik saya dengan sangat keras, hingga saya hidup tidak mengeluh dengan suatu keadaan yang susah. Kenapa? Karena sudah saya alami dari kecil, dan itu tidak mengkagetkan lagi.
Saya tahu mereka sangat sayang pada saya, tapi mereka tak mendidik saya dengan cara Islam, lalu apakah saya akan memeberontak? Oh... tidak kalau saya memberontak seperti dulu tentu tak akan menyelesaikan semua masalah, karena mereka tak paham apa yang seharusnya dilakukan oleh orangtua dengan cara Islam.
Jika saja mereka paham Islam dari sejak saya lahir, tidak akan mungkin mereka mendidik saya dengan seperti itu. Akhirnya saya sadar bahwa setiap sesuatu itu pasti ada hikmahnya, dan kita harus berpikir positif dalam menghadapai apapun. Ketika saya pahami Islam, ternyata cara Islam sangat bertolak belakang dengan cara orangtua saya dalam mendidik, awalnya agak kaget, tapi sekarang tidak kaget lagi, justru saya berusaha mengerti keadaan, jika mereka melakukan kesalahan, ya...itu karena tak punya pemahaman, dan seharusnya saya yang berusaha memahamkan bukan menuntut balik.
Saya yakin ini rencana Allah yang memberikan kesempatan pada saya untuk merubah segalanya di masa depan dengan apa yang saya pahami saat ini, yaitu Islam. Ya, Islam tak ada yang lain yang bisa menyelesaikan seluruh problematika kehidupan ini.
Saya yakin temen-temen yang lain juga punya masalah yang sama dengan orangtua. Jenis masalahnya mungkin berbeda. Tapi, intinya sama berhadapan dengan “gaya" orangtua. Boleh jadi ada temen yang merasa dikekang oleh orangtuanya, misal ingin sekolah di sekolah favorit pilihannya, tapi orangtua ngotot setengah mati tidak mengijinkannya dan meminta sekolah di tempat pilihan orangtua.
Jika misal dari keinginan itu tidak terpenuhi terus kita ngambek? Itu juga tak menyelesaikan masalah. Karena kita beda pemahaman dengan orangtua. Apa yang kita inginkan belum tentu seperti apa yang mereka inginkan. Tapi, semua bisa dikomunikasikan dengan orangtua. Ketika orangtua kita ngotot, cobalah pahami keinginan orangtua. Siapa tahu ada hikmah disana. Saya pun juga begitu ketika saya sudah dongkol dengan pembiaran mereka, sewaktu masuk kuliah ingin masuk di universitas di kota mereka tidak mengijinkan. Akhirnya saya menyerah mengikuti keinginan mereka, walaupun tahun pertama saya sama sekali tak menikmatinya. Tapi begitu bergaul dengan banyak teman, ternyata hidup ini terlalu indah jika dibiarin gitu aja tanpa diisi dengan hal lain. Walaupun saya masih sekolah disitu, tapi saya bisa mendapatkan hal lain yang akhirnya bisa saya ambil hikmahnya dari semua itu.
Tapi, jika kita memang tak mau dipaksa untuk mengikuti kehendak orangtua (entah dipaksa sekolah, atau dipaksa yang lainnya, atau bahkan dibiarkan seperti saya, dilarang untuk ikut kegiatan di luar, diminta terus belajar de el el, sampaikan saja sama orangtua dengan baik-baik. Biasakan diskusi dengan mereka. Bisa curhat tentang apa aja dengan mereka, tentang harapan-harapan kita. Beri kepastian pada mereka tentang pilihan yang akan kita ambil. Pastikan bahwa segala keputusan itu sudah kita pikirkan dengan matang. Kita harus mencoba bicara pada mereka bahwa apa yang harus dilakukan oleh mereka adalah membantu mencapai impian kita. Tul nggak?
Sobat semua, sebelum saya akhiri tulisan ini saya hanya ingin mengajak semua temen-temen untuk tak mempersoalkan gaya dan sikap orangtua kita yang sering kali berseberangan dengan keinginan kita. Asal ada komunikasi dan sampaikan dengan cara yang baik, insyaAllah kita bisa menemukan solusi dan menyatukan pandangan dengan mereka.
Jika tak bisa menyatukan pandangan kita dengan orang tua, setidaknya orangtua mendukung dengan keputusan-keputusan yang kita ambil. Dan kita bisa mengusahakan yang terbaik meski keadaan orang tua kita atau keadaan kita sedang tidak baik.
Saya hanya ingin berbagi untuk semuanya bahwa anak yang berasal dari pendidikan yang kurang baik pun seperti saya, atau temen yang lain yang menjadi korban dari broken home tak selamanya terkubur masa depannya. Tak selamanya berbanding lurus dengan potret keluarganya. Tak selamanya seperti itu.
Bahkan saya dan banyak remaja lain mampu berdiri dengan kepala tegak dan bisa menjadi lebih baik. Sambil berharap menjadi yang terbaik untuk perjuangan hidup ini, agar berguna untuk orang lain dan juga untuk keluarga. Insya Allah bisa kita melaluinya dan melakukannya. Jadi tidak usah putus asa dan terus memendam luka. Bangkit sobat!!!
Posting Komentar