Disyari’atkannya Ijtihad
Pada saat perang Bani Quraizhah, Rasul saw menyampaikan kepada umat Islam, dengan sabdanya: Ketahuilah, jangan sekali-kali seseorang diantara kalian sholat Ashar kecuali di Bani Quraizhah.
Sebagian orang memahami bahwa maksud dari perintah Rasul saw itu adalah agar umat Islam segera bergegas. Itulah sebabnya mereka sholat di perjalanan. Sedangkan sebagian yang lain memahami sesuai pengertian yang dimaksud dalam ucapan Rasul tersebut. Karena itulah, maka mereka tidak melakukan sholat Ashar di perjalanan, melainkan menundanya hingga mereka sampai di Bani Quraizhah.
Di sanalah baru mereka melakukan sholat. Ketika persoalan ini disampaikan kepada Rasulullah saw. Beliau membenarkan kedua pendapat itu. Demikian pula, di dalam al-Qur’an dan Hadits, terdapat banyak ayat yang mengandung makna lebih dari satu. Tarjiih (memilih salah satu makna yang lebih tepat/kuat.ed) terhadap salah satu makna diantara beberapa makna itu disebut sebagai al-ijtihaad.
Definisi Ijtihaad
Ijtihaad adalah badzl al-wus’ fii istinbaath al-ahkaam al- syar’iyyat min adillatihaa al- tafshiiliyyah Ijtihaad adalah (pengerahan segenap daya upaya dalam menggali hukum-hukum syari’at dari dalil-dalil yang rinci).
Kebanyakan nash-nash al-Qur’an dan Sunnah tidak dipaparkan dalam bentuk yang rinci (mufashshalah), melainkan hadir dalam bentuk yang umum (‘aammah) dan global (mujmalah) yang bisa diterapkan untuk seluruh fakta kehidupan. Oleh karena itu, untuk memahami dan mengambil hukum syara’ dari nash-nash tersebut diperlukan suatu aktivitas pengerahan daya upaya (badzl al- wus’).
Nash-nash al-Qur’an jika dinisbahkan kepada ijtihad, dikelompokkan sebagai berikut:
- Kelompok (nash-nash al-Qur’an), yang memungkinkan hukum syara’ bisa diambil dan diketahui dari nash-nash tersebut, tanpa melalui proses ijtihad. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah nash-nash yang lafazhnya hanya mengandung satu makna. Misalnya, ayat-ayat yang muhkamaat.
- Kelompok yang tidak memungkinkan hukum syara’ bisa diperoleh dari nash-nash tersebut, kecuali dengan jalan ijtihad, yakni nash-nash yang lafazhnya mengandung lebih dari satu makna. Misalnya, ayat-ayat yang mutasyaabihaat.
Syarat-syarat Ijtihad
Pada diri seorang muslim (yang hendak berijtihad, penerj.) haruslah terhimpun syarat-syarat berikut ini:
- Pengetahuan terhadap bahasa (bahasa arab, penerj.), yakni pengetahuan terhadap lafadz-lafadz dan susunan (tarkiib) yang berhubungan dengan dalil-dalil hukum yang hendak di- istinbaathkan (digali).
- Pengetahuan terhadap syara’, yakni nash-nash syara’ dari al- Qur’an dan Sunnah yang berkaitan dengan masalah hukum, dan pengetahuan tentang bagian-bagiannya; seperti al-‘umuum wa al-khushuush, al-muthlaq wa al- muqayyad, al- naasikh wa al-mansuukh.
- Pengetahuan terhadap hakikat suatu fakta yang hendak dihukumi, yang biasa disebut sebagai manaath al-hukmi (tempat disandarkannya hukum). Jika seorang mujtahid tidak dapat memahami sendiri fakta termaksud, maka ia bisa menanyakannya kepada orang yang mengerti atau ahli tentang fakta ini, sekalipun orang yang ditanya tersebut bukan muslim.
Hukum Ijtihad
Hukum ijtihad adalah fardhu kifayah, yakni: idzaa aqaamahu al-ba’dhu saqatha ‘an al-baaqiin (apabila sudah dipenuhi oleh sebagian orang maka gugurlah kewajibannya dari yang lain).
Tidak diperkenankan ada satu masa pun yang kosong dari seorang mujtahid. Sebab, metode untuk memahami hukum- hukum syara’ hanyalah ijtihad. Andai ada sebuah masa di mana saat itu terdapat kekosongan dari seorang mujtahid maka berdosalah seluruh umat Islam. Sebab, hal ini merupakan pengabaian terhadap syari’at.
Ijtihad dan Madzhab-madzhab Fiqh
Islam sangat mendorong pemeluknya untuk berijtihad dalam rangka memahami hukum-hukum syara’ dari dalil-dalil syara’. Rasul saw bersabda dalam sebuah hadits shahih, idzaa ijtahada al-haakimu fa ashaaba fa lahuu ajraani wa in akhtha-a fa lahu ajrun (apabila seorang hakim berijtihad dan ternyata benar maka ia akan memperoleh dua pahala. Namun bila salah maka ia mendapat satu pahala).
Kaum muslimin, pada masa permulaan Islam, senantiasa melakukan pengambilan hukum-hukum syara’ sendiri dari al- Qur’an dan Sunnah; misalnya, para qaadhi (hakim pengadilan). Mereka melakukan istinbaath hukum syar’iy terhadap setiap masalah yang diajukan ke hadapan mereka. Demikian pula halnya dengan para khalifah dan waali (gubernur). Sebuah kaidah ushul menyatakan
li al-sulthaan an yuhditsa min al-aqdhiyati bi qadarin ma yahdutsu min musykilaat (seorang penguasa berhak mengambil keputusan hukum sesuai dengan masalah yang terjadi).
Ketika seorang khalifah telah melegalisasi (tabanniy) salah satu pendapat hukum syar’iy tentang sebuah masalah yang diperselisihkan oleh para mujtahid, maka umat Islam wajib untuk hanya mengamalkan apa yang di-tabanniy oleh khalifah dan meninggalkan pendapat yang lain. Dalam hal ini, ada sebuah kaedah menyatakan: amru al imaam yarfa’u al khilaaf (perintah/keputusan imam akan menepis perbedaan).
Setelah wilayah Daulah Islamiyah meluas dan bangsa Arab mulai berinteraksi dengan bangsa dan umat lainnya, maka pemahaman umat Islam terhadap bahasa Arab mulai melemah. Akibatnya, tidak semua umat Islam mampu melakukan ijtihad, melainkan sebatas pada para ulama yang mampu untuk berijtihad saja. Hingga akhirnya, orang-orang selain mujtahid tersebut hanya menjadi muqallid (pengikut) dari mujtahid.
Ikhtilaaf di Kalangan Mujtahid Terhadap Sebagian Hukum
Kami telah menyatakan, ada nash-nash syari’at, baik yang terdapat dalam al-Qur’an maupun hadits, yang lafazhnya mengandung lebih dari satu makna. Pada nash-nash semacam inilah, ijtihad bisa dilakukan guna memilih (tarjiih) salah satu makna yang lebih tepat. Contohnya adalah, firman Allah swt:
aw laamas tum al-nisaa-a fa lam tajiduu maa-an fa tayammamuu
(atau jika kalian menyentuh wanita sedang kalian tidak menjumpai air maka bertayammumlah). (TQS. An Nisaa[4]: 43).
Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat dalam memaknai lafadz laamas tum (kalian menyentuh) tersebut. Kelompok pertama, menganggap bahwa makna laamas tum adalah jaama’ tum (kalian bersetubuh). Mereka lebih cenderung mengambil makna kiasan (al ma’na al majaaziy) untuk lafazh tersebut. Mereka berargumentasi dengan indikasi (qariinah) yang ada dalam ayat-ayat al-Qur’an dan meninjaunya secara bahasa. Dari sinilah disimpulkan bahwa seorang laki-laki yang menyentuh wanita dengan tangannya tidak membatalkan wudhunya. Kelompok kedua, menganggap bahwa makna laamas tum adalah masas tum bi al-yad (kalian menyentuh dengan tangan). Dari sini disimpulkan bahwa jika seorang laki-laki menyentuh wanita dengan tangannya maka akan membatalkan wudhunya. Dalam hal ini mereka pun berargumentasi dengan qarinah dari al-Qur’an disamping bahwa mereka juga meninjaunya secara bahasa.
Hasil dari perbedaan pemahaman terhadap sebagian nash- nash syara’ yang mengandung lebih dari satu makna ini, mengakibatkan para mujtahid berbeda dalam meng-istinbaathkan sebagian hukum syara’ yang bersifat praktis. Setelah itu, umat
Islam yang lain mengikuti hasil ijtihad mereka. Jumlah para mujtahid itu sendiri mencapai ribuan orang. Hanya saja ada sebagian mereka yang lebih terkenal dibanding yang lainnya disebabkan oleh banyaknya orang yang bertaqlid kepada mereka, diantaranya adalah Al-Imam Malik bin Anas, Al-Imam Abu Hanifah, Al-Imam Muhammad bin Idris Asy Syaafi’iy, dan Al-Imam Ahmad bin Hanbal. Keempatnya dari kalangan ahlus sunnah. Al- Imam Ja’far Ash Shaadiq dan Al-Imam Zaid bin ‘Aliy. Keduanya dari kalangan ahlu al- syii’ah.
Imam-imam tersebut memiliki murid-murid serta para pengikut. Mereka telah berijtihad dalam berbagai masalah yang tidak diijtihadkan oleh guru mereka. Merekapun telah melembagakan hasil-hasil ijtihad mereka, yang mereka himpun di dalam kitab-kitab dalam bentuk yang terkategorisasi dan tersistematisasi dengan rapi. Setelah itu kumpulan pendapat dan hasil ijtihad ini disebut dengan madzhab. Madzhab itu sendiri adalah suatu metode yang menjadi dasar bagi para imam tersebut untuk meng-istinbaathkan hukum-hukum syara’. Inilah yang biasa dikenal sebagai ushuul al-fiqh. Orang yang pertama kali meletakkan dasar-dasar yang jelas bagi ushul fiqh, adalah Al- Imam Al- Syaafi’iy.
Seluruh Madzhab Para Imam Dibangun di Atas Wahyu
Sesungguhnya, perbedaan ijtihad pada hukum-hukum furuu’ (cabang), seperti masalah wudhu, haji, pernikahan, dan lain-lain, bukan berarti perbedaan dalam sumber-sumber syari’at yang asasi (mashaadir al-tasyrii’ al-asaasiyyah/dalil). Sebab, seluruh fuqaha dan ulama ushul dari kalangan umat Islam menetapkan pendapat mereka dari sumber yang sama, yakni wahyu (al-Kitab dan Sunnah), serta yang dilegalisasi oleh wahyu, seperti al-qiyaas, dan ijmaa’ al-shahaabah. Namun demikian- sebagaimana yang telah kami sebutkan-, bahwa, perbedaan pendapat (ikhtilaf) dalam memahami nash-nash syara’ merupakan faktor yang mengakibatkan terjadinya perbedaan hukum yang diistinbaathkan dari nash-nash tersebut.
Madzhab-madzhab fiqh yang telah disebut di atas — Hanafiyyah, Maalikiyyah, Syaafi’iyyah, Hambaliyyah, Ja’fariyyah, dan Zaidiyyah— telah memuat seluruh pemecahan terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi dalam kehidupan umat Islam saat itu.
Kemampuan Islam Dalam Memecahkan Seluruh Problem Kehidupan
Allah swt telah mengutus Nabi Muhammad saw kepada semua manusia. Beliau saw merupakan penutup para nabi. Risalah beliau saw adalah dienul Islam yang bersifat sempurna. Nash-nash (al-Qur-an dan Sunnah) telah menjelaskan semua permasalahan kehidupan hingga hari kiamat. Oleh karena itu, umat Islam diperintahkan, agar perbuatan-perbuatannya berjalan sesuai dengan hukum syara’. Firman Allah:
dan apa yang diberikan Rasul maka terimalah dan apa-apa yang dilarangnya maka tinggalkanlah (TQS. Al Hasyr[59]: 7).
Itulah sebabnya, umat Islam tidak diperbolehkan mengerjakan perbuatan-perbuatan ataupun memanfaatkan benda-benda, tanpa didasarkan pada hukum syara’. Setelah Allah Ta’ala berfirman:
…Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah kucukupkan nikmat-Ku untukmu dan telah Kuridhai Islam itu jadi agamamu. (TQS. Al Maa-idah[5]: 3),
begitu juga firman-Nya:
Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab untuk menjelaskan segala sesuatu. (TQS. An Nahl[16]: 89 ),
Maka tidak ada satu perbuatan atau suatu benda apa pun kecuali Allah telah menjelaskan dalil hukumnya. Walhasil, tidak diperbolehkan bagi seorang muslim mengatakan ada perbuatan ‘ini’’ dan benda ‘ini’ yang tidak ada dalilnya dalam syari’at Islam. Sebab, perkataan semacam ini merupakan pendeskriditan terhadap syari’at Islam dan kesempurnaannya.
Atas dasar ini, umat Islam, terutama mereka yang mampu melakukan ijtihad, wajib mengerahkan segenap daya upaya mereka dalam menggali hukum syara’ atas setiap peristiwa baru berdasarkan nash-nash syara’.
Negara Islam harus memiliki Undang-Undang Dasar (dustuur) dan Undang-Undang (qanuun) yang berlandaskan Islam semata. Ketika Negara hendak melegalisasi (tabanniy) suatu hukum syara’ tertentu, maka ia wajib men-tabanniy-nya berdasarkan dalil syara’ yang terkuat (quwwat ud daliil), disertai pemahaman yang benar (al-fahm al- shahiih) terhadap masalah yang ada.
Selain itu, muslimin wajib memiliki rancangan Undang- Undang (masyruu’ al-dustuur) Negara Islam, agar umat Islam dapat mempelajarinya, sehingga mereka bisa menggambarkan institusi negara dan kelembagaanya, terlebih khusus lagi pada saat ini, yakni di tengah-tengah upaya untuk kembali kepada Islam dan mendirikan daulah Islam yang akan mengemban risalah Islam ke seluruh penjuru dunia. Disamping itu, hendaknya setiap pasal dari Undang-undang tersebut diadopsi dan digali dari dalil- dalil syara’, sebagai sebuah aturan yang tertulis dan terbukukan, serta siap untuk diterapkan, seperti sistem pemerintahan (nizhaam al-hukm), sistem peradilan (nizhaam al-‘uquubaat), sistem mu’amalah (nizhaam al-mu’aamalaat), sistem politik luar negeri (nizhaam al-siyaasah al-khaarijiyyah), sistem pendidikan (nizhaam al- ta’liim) dan lain sebagainya.
Posting Komentar