Orang yang galau biasanya tenggelam dalam masalahnya yaitu galau saat memutuskan pilihan.
Pertama karena ia mencari sosok yang ideal nan sempurna, yang mungkin juga menggoda imajinasi.
Kedua, karena ia dilemma apakah lebih baik jatuh cinta dulu atau mengambil keputusan baru mencintai? Permasalahan pertama, mencari orang yang ideal nan sempurna. Hidup ini bukanlah imajinasi, tetapi dipenuhi kenyataan.
Diantara kenyataannya, yang ideal itu sangat sedikit. Mungkin ada yang mengajukan sederet kreteria calon pasangan hidupnya yang detil mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki. Mencari sosok ideal yang detil mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki.
Mencari sosok ideal yang detail harus disadari oleh pencarinya bahwa yang seperti itu tentu membutuhkan waktu yang lama dan tentu saja semakin sulit. Misalnya saja, kalau kreteria yang dicari adalah hanya wanita atau pria yang sholeh atau sholehah, maka kreteria seperti itu masih mudah untuk dicari.
Tapi jika kreterianya wanita sholehah, lulusan sarjana, cantik, akhlaknya bagus, maka kreteria seperti itu akan semakin menyempit alias semakin sulit.
Apalagi jika ditambahi, harus dokter, anak terakhir di keluarganya, suku Sunda, harus mau tinggal dengan suami, maka kreteria seperti itu semakin lebih sulit dan tentu lebih sedikit jumlahnya. Namun bukan berarti tidak boleh mengajukan kreteria, ataupun kreterianya asal-asalan.
Tetap harus ada kreteria, karena ini kaitannya dengan masa depan kita. Tapi, saat pengajuan kreteria, jangan mahal yang tak tertawar. Pahamilah bahwa mencari sosok yang jumlahnya sedikit karena kreteria yang detil, itu membutuhkan waktu yang lama.
Sosok ideal nan sempurna itu mungkin ada, tapi silahkan ditunggu di pintu keluar, mungkin orang yang keluar terakhir itulah jodoh kamu. Jadi ingatlah, semakin detil kamu mengajukan kreteria sosok ideal, maka harus semakin panjang urat kesabaran anda untuk menunggu. Dan yang perlu jadi catatan penting juga bagi para pengaju kreteria tentang calon pasangan bahwa pengajuan kreteria tersebut bukan sebagai sebuah bentuk pelarian.
Jadi maksudnya pelarian adalah kita mencari pasangan yang baik, karena kita merasa bukan orang baik, sehingga pasangan kita ibaratnya seperti tukang ketok magic yang nantinya bertugas memperbaiki mobil yang peyote sana-sini, kemudian kita berharap si dia membuatnya jadi bagus, rapid an sebagainya. Bisa terbayang, betapa tersiksanya calon pasangan kita, kalau kita mengajukan kreteia yang seperti itu.
Ngomong-ngomong tentang mencari pasangan, kalau ada yang punya rencana bagus mencari pasangan yang pandai mengaji, tapi dia sendiri malas mengaji atau malah nggak bisa ngaji, ini mimpi di siang hari.
Cukup perih bagi calon pasangan yang diajukan kreteria seperti itu, sementara yang mengajukan kreteria nggak memantaskan diri, malahan melarikan dari tanggug jawab dari pemantasan diri.
Maka, jika mau jodoh yang seperti Muhammad, selayaknya pantaskan diri untuk jadi Khadijah atau Aisyah. Mau cari ikan paus, nggak mungkin ditemukan di kolam renang. Mau cari pasangan yang bagus nggak akan mungkin ditemukan di tempat sembarangan. Singkatnya, jika mau cari pasangan yang pandai mengaji, maka lebih baik kita pun juga harus pandai mengaji. Tapi bukannya pasangan itu diciptakan untuk menutupi kelemahan kita…” Iya, bisa jadi emang seperti itu.
Tapi harus dipahami dulu, apa emang benar itu kelemahan ataukah kesalahan? Sering kali kita salah paham dalam mengartikan kelemahan atau kekurangan.
Jangan-jangan kita nggak sedang menerima kekurangan calaon pasangan kita tapi kita sedang mentoleransi kesalahan. Ada baiknya kalau kita terus terang, apa yang kita sebut kekurangan. Ya, karena ini penting dan harus dikomunikasikan. Kalau kekurangan itu hanya bersifat fisik dan sepele, ya sah-sah aja kita nggak mengkomunikasikannya.
Jangan sampai kita salah sebut dan salah mengidentifikasikan, kita menyebutnya kekurangan padahal kesalahan. Tentu kesalahan ini adalah pelanggaran hukum syara’ ya, bukan yang lain. Misal lawan ta’aruf kamu menyebut dirinya mempunyai kekurangan yaitu suka minum miras, maka itu salah. Karena jelas hukumnya dalam Islam bahwa meminum minuman keras itu hukumnya haram, bukan suatu kekurangan tapi pelanggaran terhadap hukum syara’.
Nah jangan sampai kita mentoleransi kesalahan yang menurut kita sebagai kekuranagn. Jangan menganggapnya hal sepele, meremehkan kesalahan tadi yang mungkin kita anggap kecil. Coba saksikan, rumah yang besar juga dibangun dari hal sepele, semen, pasir. Maka jangan pernah sepelekan pelanggaran atau kesalahan kecil. Berawal dari menyepelekan yang kecil, maka yang besar bisa terbentuk.
Identifikasi dengan benar, mana yang disebut kekuranagn mana kesalahan. Disebut sebagai sebuah pelanggaran atau kesalahan, standarnya sudah jelas, yaitu hukum syariat, seperti wajib, sunnah, mubah, halal, atau haram. Sementara kalau itu disebut sebagai kekurangan, patokan paling mudahnya adalah itu bersifat pilihan. Standar penting atau nggak. Oleh karena itu, bagi siapa yang mengajukan kreteria calon pasangannya, harusnya mempertimbangkan tentang keseimbangan.
Pada saat itu kita mengajukan kreteria yang mahal tak tertawar, sudahkah kita juga memantaskan diri untuk bisa memenuhi kreteria, jika seandainya kreteria tersebut, dibalik buat kita.
Maka seberapapun kuat tenaga kita berikhtiar mencari idaman hati, tak pernah ada yang benar-benar sesuai impian. Akan selalu ada kekurangan dan kelemahan. Nggak ada yang sempurna dan maklumilah kekurangan atau kelemahannya bukan kesalahannya atau pelanggarannya.
Ada kondisi lain yang membuat seseorang lama mempertimbangkan keputusannya untuk nikah, katanya merasa belum muncul perasaan cinta kepada calon. Nggak ada chemistry katanya, dan katanya ini yang membuat dilema, apakah mencintai dulu baru ambil keputusan atau sebaliknya.
Alasan klasik nggak ada chemistry itu pertimbangan berdasarkan apa? Kalau chemistry itu diartikan perasaan suka hati-hatilah iblis bisa memplesetkan itu. Perasaan suka saat proses khitbah jika nggak bisa ditahan bahkan ingin diungkapkan, hampir nggak bisa dibedakan dengan orang yang pacaran bilang ke pacarnya “ eh gue suka sama loe.” Hanya aja mungkin perasaan suka saat proses khitbah itu halus, karena saking halusnya maka berhati-hatilah, setan pintar bermain disitu.
Nah ketika perasaan udah mengintervensi, maka pertimbangan untuk lanjut atau berhenti sering menggoda, saat itulah jatuh khitbah gantung.
Dari dulu sampai sekarang sepasang anak manusia tak dipungkiri emang memilki rasa, apalagi jelang pernikahan itu akan jadi penggoda. Tapi ingatlah, kita ini muslim, setiap tindak perilaku kita syariat setandarnya, dalam hal apapun itu, begitupun menjelang nikah.
Kalau misal kita jatuh hati saat ta’arufan hanya akan menimbulkan masalah, mulai dari sakit hati sampai dosa zina hati.
Bagaimana nggak, betapapun sangat tertariknya kita dengan calon pasangan, tetaplah jaga hati, karena si dia milik Allah, bagaimana kalau ditakdir nggak jodoh? Kita dengan calon pasangan kita tetaplah orang asing, maka interaksinya tetap nggak boleh khalwat dan ikhtilat.
Usahakanlah berkomunikasi dengan menggunakan parantara, makcomblang, murrobi, musyrif atau ustadz-ah kita, itu lebih aman. Pria atau wanita mencintai hanya dalam ikatan pernikahan, bukan di dalam ikatan khitbah.
Kecintaan seseorang kepada yang beda jenis kelamin di luar ikatan perkawinan adalah kecintaan seorang muslim kepada saudaranya. So, seseorang yang sedang proses khitbah, untuk mengambil keputusan menikahi, nggak perlu menunggu setelah munculnya rasa cinta. Walaupun udah dikhitbah, karena keduanya secara syar’i masih sebagai orang asing statusnya, harusnya belum tumbuh rasa cinta layaknya suami istri.
Kalau Allah menghendaki orang yang sedang berproses khitbah dengan kita bukan jodoh kita, agar kita nggak galau-galau amat.
Ya, memang galau sih, kalau udah proses lamaran, eh nggak jadi, tapi itu keputusan terbaik dari sang pemilik hati. Mau gimana lagi, makanya jangan jatuh cinta pada saat udah lamaranpun, karena belum tentu juga menjadi jodoh kita. Sobat, perasaan cinta pria dan wanita itu naluriah karena dorongan eksternal.
Cinta itu muncul dari adanya ciri fisik yang membuat seseorang tertarik atau tergerak hati dan perasaan jinsiyah, kalaupun belum pernah melihat fisiknya minimal pernah mendengar suaranya, atau membaca tulisannya.
Ya intinya munculnya cinta tersebut karena faktor eksternal. Jadi wajar kalau kita jumpai seorang pria mengejar wanita yang menurutnya cantik, menarik atau feminim. Begitu juga wanita melakukan hal serupa.
Perasaan cinta atau tertarik yang seperti tersebut di atas, di dorong oleh gharizah nau'nya saja, dan nggak dikendalikan oleh cara pandang Islam.
Cinta yang mengejar fisik adalah cinta yang sifatnya naluriyah atau ghariziyyah kalau bahasa gampangnya cinta instinctive, dan cinta tersebut akan bertahan selama ciri fisiknya ada.
Jadi misal ada ciri yang lebih menggoda pada diri orang lain, bisa jadi akan tertarik dan jatuh cinta kepada orang itu. Maka dalam khitbah atau memilih pasanganpun bisa muncul, wanita idaman lain atau pria idaman lain.
Karena tingkah laku seseorang nggak akan lepas dari pemahaman yang dijadikan pegangan. Begitupun dalam masalah cinta. Di zaman kapitalistik seperti sekarang ini dalam hal hubungan cinta laki-laki dan perempuan, faktor fisik akan menjadi salah satu penentu.
Sehingga seorang pria atau wanita akan berusaha mati-matian menjaga ciri fisiknya yang paling menarik bagi lawan jenisnya. Cinta seorang muslim harusnya nggak boleh hanya bersifat ghariziyyah atau instintive semata.
Mestinya dikendalikan pemahaman Islam. Pemahaman Islamlah yang menentukan bentuk dan corak cintanya. Cinta seorang muslim adalah cinta karena Allah.
.....seseorang mencintai seseorang dimana ia tidak mencintainya kecuali karena Allah,... (HR. Bukhari dan Muslim)
Maka harusnya begitu cinta laki-laki dan perempuan begitu juga sebaliknya, yaitu cinta karena Allah bukan cinta instintive aja. "Siapa yang mencintai karena Allah, membenci karena Allah, ...maka sungguh telah menyempurnakan imannya. " (HR. Abu Dawud)
Cinta karena Allah maksudnya mencintai seorang hamba karena Allah, karena keimanannya dan ketaatannya kepada Allah. Cinta karena Allah itu maksudnya tetap mengikatkan diri pada aturan atau syariat Allah, menjaga ketaatan kepada Allah. Jika mengaku mencintai seseorang karena cinta kepada Allah, tapi aktivitasnya keluar dari ketaatan kepada Allah, itu bohong. Mengaku mencintai seseorang karena cinta kepada Allah, tapi melakukan pacaran baik secara terang-terangan ataupun sembunyi, itu bohong. Jadi, menikah adalah formalisasi dari cinta laki-laki pada perempuan yang diawali dengan khitbah syar'i, itulah cinta karena Allah.
Seperti kata Ibnu Qayim: "Tidak ada yang terlihat lebih indah bagi dua insan yang saling mencintai seperti halnya pernikahan. "
Posting Komentar