Tausiyah Ramadhan #9
MERINDUKAN KEPEMIMPINAN SYAR’I
Jamaah Rahimakumullah ....
Umat saat ini tentu merindukan kepemimpinan syar’i. Sebabnya, kesadaran keislaman mereka makin meningkat. Selain itu mereka juga sesungguhnya telah muak dengan
sistem sekular-kapitalis-liberal yang terbukti gagal. Sistem ini hanya memproduksi banyak persoalan seperti: kemiskinan, pengangguran, utang luar negeri, dll.
Namun demikian, berbicara tentang kepemimpinan syar’i sesungguhnya berbicara tentang dua hal: sosok pemimpin dan sistem kepemimpinan. Dua-duanya harus sesuai syariah.
Bagian Pertama,
Pemimpin Syar’i. Saat membincangkan sistem pemerintahan Islam (Khilafah), Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitab Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm menyebutkan syarat- syarat syar’i yang wajib ada pada seorang pemimpin (Imam/Khalifah) yaitu: (1) Muslim; (2) laki-laki; (3) dewasa (balig); (4) berakal; (5) adil (tidak fasik); (6) merdeka; (7) mampu melaksanakan amanah Kekhilafahan berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah saw.
Syaikh an-Nabhani juga menyebutkan syarat tambahan—sebagai keutamaan, bukan keharusan—bagi seorang pemimpin di antaranya: (1) mujtahid; (2) pemberani; (3) politikus ulung.
Syaikh Abdul Qadim Zallum dalam kitab Al-Afkâr as-Siyâsiyyah juga menyebutkan beberapa karakter seorang pemimpin yaitu: Pertama, berkepribadian kuat. Orang lemah tidak pantas menjadi pemimpin. Abu Dzar ra. pernah memohon kepada
Rasululah saw, untuk menjadi pejabat, namun Rasul saw. bersabda:
“Abu Dzar, kamu ini lemah, sementara jabatan ini adalah amanah. Pada Hari Pembalasan amanah itu akan menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi orang yang mengambil amanah tersebut sesuai dengan haknya dan menunaikan kewajiban dalam kepemimpinannya.” (HR Muslim).
Jamaah Rahimakumullah ....
Kedua, bertakwa. Sulaiman bin Buraidah, dari bapaknya, menuturkan, “Rasulullah saw., jika mengangkat seorang pemimpin pasukan atau suatu ekspedisi pasukan khusus, senantiasa mewasiatkan takwa kepada dirinya.” (HR Muslim).
Seorang pemimpin yang bertakwa akan selalu menyadari bahwa Allah SWT senantiasa memonitor dirinya dan dia akan selalu takut kepada-Nya. Dengan demikian dia akan menjauhkan diri dari sikap sewenang-wenang (zalim) kepada rakyat maupun abai terhadap urusan mereka. Khalifah Umar ra. adalah kepala negara Khilafah yang luas wilayahnya meliputi Jazirah Arab, Persia, Irak, Syam (meliputi Syria, Yordania, Libanon, Israel, dan Palestina), serta Mesir. Beliau pernah berkata, “Andaikan ada seekor hewan di Irak terperosok di jalan, aku takut Allah akan meminta pertanggungjawabanku mengapa tidak mempersiapkan jalan tersebut (menjadi rata dan bagus).”(Zallum, idem).
Ketiga, memiliki sifat welas kasih. Ini diwujudkan secara konkret dengan sikap lembut
dan bijak yang tidak menyulitkan rakyatnya. Terkait ini Rasulullah saw. pernah berdoa:
“Ya Allah, siapa saja yang diberi tanggung jawab memimpin urusan umatku dan menimbulkan kesulitan bagi mereka, maka persulitlah dia. Siapa saja yang memerintah umatku dengan sikap lembut (bersahabat) kepada mereka, maka lembutlah kepada dia.” (HR Muslim).
Keempat, penuh perhatian kepada rakyatnya. Ma’qil bin Yasar menuturkan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda,
“Siapa saja yang memimpin pemerintahan kaum Muslim, lalu dia tidak serius mengurus mereka, dan tidak memberikan nasihat yang tulus kepada mereka, maka dia tidak akan mencium harumnya aroma surga.” (HR Muslim).
Kelima, istiqamah memerintah dengan syariah. Diriwayatkan bahwa Muadz bin Jabal, saat diutus menjadi wali/gubernur Yaman, ditanya oleh Rasulullah saw.,
“Dengan apa engkau memutuskan perkara?” Muadz menjawab, “Dengan Kitabullah.” Rasul saw. bertanya lagi, “Dengan apalagi jika engkau tidak mendapatinya (di dalam al-Quran)?” Muadz menjawab, “Dengan Sunnah Rasululllah.” Rasul saw. bertanya sekali lagi, “Dengan apalagi jika engkau tidak mendapatinya (di dalam al-Quran maupun as- Sunnah)?” Muadz menjawab, “Aku akan berijtihad.” Kemudian Rasulullah saw. berucap, “Segala pujian milik Allah yang telah memberikan petunjuk kepada utusan Rasulullah ke jalan yang disukai Allah dan Rasul-Nya.” (HR Ahmad, Abu Dawud dan al-Baihaqi).
Jamaah Rahimakumullah ....
Bagian Kedua,
Sistem Kepemimpinan Syar’i.
Sistem kepemimpinan syar’i adalah sistem kepemimpinan yang dibangun oleh Rasulullah saw. Dalam shirah nabawiyyah, berdasarkan riwayat-riwayat yang terpercaya, telah disebutkan informasi akurat mengenai bentuk dan stuktur sistem kepemimpinan yang dibangun Rasulullah saw.
Apa yang dilakukan oleh Rasulullah saw. di Madinah menunjukkan bahwa beliau membangun negara, melakukan aktivitas kenegaraan serta meletakkan landasan teoretis bagi bentuk dan sistem pemerintahan yang maju. Bahkan di kemudian hari, sistem pemerintahan Islam, baik yang menyangkut aspek kelembagaan maupun hukum, banyak diadopsi dan menjadi dasar bagi sistem pemerintahan modern.
Jamaah Rahimakumullah ....
Memang pada masa Rasulullah saw. sistem dan struktur kenegaraan belum dilembagakan dalam sebuah buku khusus. Namun demikian, praktik kenegaraan yang dilakukan oleh Rasulullah saw. dan para sahabat adalah perwujudan nyata dari sistem pemerintahan Islam, yang berbeda dengan sistem pemerintahan manapun.
Pemerintahan Islam yang dibangun oleh Rasulullah saw. meliputi asas negara, struktur, perangkat, mekanisme pemerintahan, serta kelengkapan-kelengkapan administratif.
Pemerintahan Islam didasarkan pada prinsip: kedaulatan di tangan syariah dan kekuasaan di tangan rakyat.
Pemerintahan Islam dipimpin oleh seorang khalifah yang bertugas untuk menerapkan dan menegakkan syariah Islam di dalam negeri serta mengemban risalah Islam ke seluruh penjuru dunia dengan dakwah dan jihad. Karena itu, aturan yang diberlakukan di dalam Daulah Islam adalah aturan Islam, bukan aturan lain. Allah SWT berfirman:
Demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan (TQS an- Nisa' [4]: 65).
Jamaah Rahimakumullah ....
Atas dasar ini, seluruh perundang-undangan di sistem dalam pemerintahan Islam, baik undang-undang dasar maupun undang-undang lain yang ada di bawahnya, wajib berupa syariah Islam yang digali dari akidah Islam, yakni bersumber dari al-Quran dan as-Sunnah.
Dengan demikian agenda umat dan ulamanya saat ini sejatinya adalah bagaimana mewujudkan kepemimpinan syar’i yang meliputi: sosok pemimpin syar’i dan sistem
kepemimpinan syar’i. Kita berharap, hal ini bisa menjadi kesadaran dan opini umum kaum Muslim. Dengan itu aspirasi dan kecenderungan kaum Muslim tidak hanya sekadar memilih sosok pemimpin yang berkarakter sebagaimana disebutkan syarat- syarat dan kriterianya di atas. Lebih dari itu, mereka juga mau memperjuangkan sistem kepemimpinan Islam sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah saw. saat membangun Daulah Islam di Madinah. Sistem ini kemudian dilanjutkan oleh Khulafaur Rasyidin yang oleh Rasul saw. disebut sebagai Khilafah ‘ala minhâj an- Nubuwwah.
Tausiyah Ramadhan #10
ISTIQAMAH MENGEMBAN KEBENARAN
Jamaah yang dimuliakan Allah...
Sejarah manusia tidak pernah kosong dari pertarungan antara kebenaran dan kebatilan. Para penyeru kebaikan senantiasa mendapat tantangan dan halangan dari para penyeru kebatilan.
Inilah yang dialami oleh para nabi dan rasul. Lihatlah bagaimana dakwah yang dilakukan oleh Nabi Musa as yang mendapatkan tentangan keras dari Fira’un. Sebelumnya, Nabi Ibrahim as yang harus menghadapi kekejaman Raja Namrud. Dan, Nabi kita, Muhammad SAW dakwahnya ditentang keras oleh kaum kafir Qurays.
Di awal dakwah beliau di Mekkah, penentangan terhadap dakwah sangat besar. Keluarga Yasir ra disiksa dengan siksaan yang sangat pedih karena mengikuti Rasulullah SAW. Istri Yasir, Sumayah, dibunuh karena berpegang teguh kepada ajaran Nabi SAW.
Abu Bakar ra pun pernah dipukuli hingga wajahnya babak-belur karena seruan dakwahnya di hadapan orang banyak di samping Ka’bah. Bahkan Rasulullah saw, utusan Allah yang mulia, pernah disiram dengan kotoran kambing, diludahi dan diperlakukan dengan sangat buruk.
Jamaah yang dimuliakan Allah ...
Begitulah, para pengemban kebenaran senantiasa diuji. Sebaliknya, orang-orang kafir senantiasa berusaha memalingkan kita, kaum Muslim, dari Islam. Inilah yang dinyatakan oleh Allah SWT:
Orang-orang kafir tidak pernah berhenti memerangi kalian hingga mereka mengembalikan kalian dari agama kalian (pada kekafiran) seandainya mereka mampu (TQS al-Baqarah [2]: 217).
Inilah karakter orang-orang kafir dan para antek mereka sejak dulu hingga sekarang dan bahkan sampai kapan pun. Maka kalau saat ini, orang-orang kafir Barat berupaya melakukan propaganda negatif terhadap Islam dan kaum Muslim, ya begitulah karakter mereka. Tujuannya hanya satu, membungkam dakwah Islam, agar umat manusia tidak tertunjuki ke jalan kebenaran. Mereka tidak ingin umat Islam paham terhadap agamanya. Mereka tidak ingin umat Islam menerapkan ajaran agamanya secara kaffah.
Jamaah yang dirahmati Allah ...
Maka, jangan heran bila Barat dan kaki tangannya menyebut kaum Muslim yang ingin menerapkan Islam secara kaffah sebagai kelompok radikal. Jangan heran pula bila mereka menyerang ajaran Islam tentang kenegaraan yakni khilafah, sebagai ancaman. Padahal menegakkan Khilafah telah disepakati kewajibannya berdasarkan dalil al- Quran, as-Sunnah, Ijmak Sahabat, termasuk ijmak para ulama. Khilafah pun secara historis pernah menjadi bagian penting dalam kehidupan keseharian umat Islam, termasuk di Nusantara ini. Bahkan, berkat khilafah, peradaban dunia bisa maju seperti sekarang.
Jamaah yang dirahmati Allah ....
Lalu bagaimana kita kaum Muslim menyikapi keadaan ini. Mari kita belajar kepada baginda Nabi SAW dan para sahabat ridwannullah alayhim. Mereka tak takut dengan ancaman dan berbagai perlakuan buruk. Mereka istiqamah mengemban dakwah.
Mereka tetap bersuara lantang menyuarakan kebenaran. Amar ma’ruf nahi munkar!
Inilah dorongan iman. Sebab, dakwah merupakan sebaik-baik perkataan dan seruan. Allah SWT berfirman:
Siapakah yang lebih baik ucapannya daripada ucapan orang yang menyeru manusia kepada (agama) Allah dan beramal salih serta berkata, “Aku termasuk orang yang berserah diri.” (TQS Fushshilat [41]: 33).
Tantangan dan gangguan, termasuk siksaan dan penganiayaan orang-orang kafir dalam dakwah adalah bagian dari sunnatullah bagi para penyampai kebenaran. Maka, ketika penderitaan berat dialami oleh para sahabat sehingga mereka bertanya kepada Nabi: kapan pertolongan Allah akan datang? Allah SWT lalu menurunkan firman-Nya:
epada manusia, Allah memberikan tuntunan agar selamat dalam mengarungi kehidupan dunia ini, hingga nanti ke akhirat. Allah SWT memilih utusan-Nya, manusia terbaik di muka bumi, sebagai pembawa risalah dan suri teladan. Dialah Rasulullah Muhammad SAW.
Maka hanya orang-orang yang menggunakan akalnya sajalah yang mengikuti petunjuk Allah SWT dan mengikuti jejak Rasulullah SAW.
Katakanlah: “Inilah jalanku. Aku dan orang-orang yang mengikutiku menyeru kepada Allah dengan keterangan yang nyata. Maha Suci Allah dan aku tidak termasuk orang- orang yang musyrik.” (QS Yusuf: 108)
Jamaah yang dirahmati Allah ....
Di samping jalan Allah, sesungguhnya terbentang jalan-jalan setan. Inilah jalan kemaksiatan. Mungkin tampak indah di depan mata, tapi celaka pada akhirnya. Jalan ini siap membelokkan manusia dari orbit yang seharusnya yakni ketaatan kepada Allah saja menuju murka Allah SWT. Allah SWT berfirman:
“Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir, pelindung- pelindungnya ialah thaghut, yang mengeluarkan mereka daripada cahaya kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (QS : Al Baqarah : 257)
Ibnu Katsir mengatakan : “Allah SWT mengabarkan bahwasannya Dia akan memberikan petunjuk kepada orang yang mengikuti jalan-Nya kepada jalan-jalan keselamatan. Maka Allah akan mengeluarkan hamba-Nya yaitu orang-orang Mukmin dari kegelapan kekufuran dan keragu-raguan kepada cahaya kebenaran yang jelas, terang, nyata, mudah dan bercahaya. Dan bahwasanya orang-orang kafir sesungguhnya pelindung-pelindung mereka adalah setan yang menghiasi mereka kepada kebodohan dan kesesatan, serta mengeluarkan mereka dan menyimpangkan mereka dari jalan kebenaran menuju jalan kekufuran dan kedustaan, { Mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya".
Jamaah yang dirahmati Allah ....
Ingat, kebenaran itu dari Allah. Jangan tertipu jumlah dalam menentukan kebenaran. Belum tentu jumlah yang banyak itu pasti benar. Kebenaran disebut sebagai kebenaran jika dan hanya jika sesuai dengan dalil Alquran dan Sunnah. Bahkan
terkadang orang yang berada di jalan kebenaran itu sedikit jumlahnya. Allâh Ta’âla
berfirman:
“Dan tidak beriman bersama dengan Nuh itu kecuali sedikit”. (QS Hûd: 40).
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berpesan: “Janganlah engkau (mudah) tertipu dengan apa yang mengelabui orang-orang jahil. Mereka itu mengatakan, ‘Jika orang- orang itu (yang berada di atas al-haq) betul-betul di atas kebenaran, mestinya jumlah mereka tidak akan sedikit. Sementara manusia lebih banyak yang tidak sejalan dengan mereka’. Ingatlah bahwa sesungguhnya orang-orang (yang berada di atas al-haq) itulah manusia (sebenarnya). Sedang orang-orang yang bertentangan dengan mereka hanyalah serupa dengan manusia, bukan manusia. Manusia (sebenarnya) hanyalah orang-orang yang mengikuti al-haq meskipun mereka berjumlah paling sedikit”. (Miftâhu Dâris Sa’âdah 1/147).
Ingat pula firman Allah SWT:
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allâh. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah mengira-ngira saja. Sesungguhnya Rabbmu, Dia-lah yang lebih mengetahui tentang orang yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia lebih mengetahui tentang orang orang yang mendapat petunjuk.” [QS Al- An’am:116-117]
Akhirnya, marilah kita semua masuk ke dalam Islam ini secara kaffah, di seluruh aspek kehidupan. Jangan pernah berpaling sedikit pun. Jangan tergiur oleh bujuk rayu setan, baik yang berwujud jin maupun manusia. Tetap istiqomah di jalan Allah, meski kadang berat dan banyak rintangan menghadang. Semoga Allah SWT jadikan kita hamba-Nya yang beruntung. Aamiin...
Tausiyah Ramadhan #11
MENJAGA KEBERLANGSUNGAN DAKWAH
Jamaah yang dimuliakan oleh Allah ...
Salah satu kewajiban seorang Muslim adalah berdakwah. Inilah amaliyah yang dilaksanakan oleh para Nabi. Nabi Muhammad SAW sendiri mendapatkan perintah dakwah ini, yang berarti perintah bagi umatnya juga:
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”. (QS An Nahl: 125)
Jamaah yang dirahmati Allah ....
Dakwah bukanlah pekerjaan mudah. Makanya, pahalanya begitu tinggi di sisi Allah SWT. Selalu saja ada ujian menghadang langkah dakwah, baik yang datang dari orang-orang hasad maupun mereka yang membenci kalimatulLâh. Para penghadang dakwah inilah yang disebut oleh Allah SWT sebagai syayâthîn. Allah SWT berfirman:
Demikianlah Kami telah menjadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan jin... (TQS al-An’am [6]: 112).
Imam Jarir ath-Thabari dalam tafsirnya mengatakan bahwa ujian yang disebutkan Allah SWT dalam ayat ini tidak hanya menimpa Rasulullah SAW, tetap juga berlaku umum bagi orang-orang yang mengikuti beliau dalam dakwah.
Jamaah rahimakumullah ....
Dulu Nabi SAW yang mulia pernah disebut sebagai sebagai orang gila (QS al-Hijr: 6), tukang sihir (QS Shad: 4), penyair gila (QS Shaffat: 37), pemecah-belah persatuan kaumnya, dsb.
Tak hanya diri Rasul, ajaran Islam juga tak lepas dari berbagai cacian. Al-Quran, misalnya, disebut sebagai ayat-ayat sihir (QS al-Muddatsir: 24), kumpulan dongeng (QS al-Muthaffifin: 13); juga dituding sebagai karya orang ‘ajam (non Arab), bukan kalamullah (QS an-Nahl: 103).
Dan kaum Muslim yang mengikuti Rasulullah SAW pun senantiasa diejek dan disebut sebagai orang-orang tersesat. Allah SWT berfirman:
Jika mereka melihat orang-orang Mukmin, mereka berkata, “Sungguh mereka itu benar-benar sesat.” (TQS al-Muthaffifin [83]: 32).
Para tokoh musyrik Quraisy seperti Abu Jahal, Abu Lahab dan Walid bin Mughirah bekerja keras siang-malam untuk menjegal dakwah Rasulullah SAW. Abu Lahab bahkan selalu membuntuti dakwah Nabi SAW dan memprovokasi masyarakat agar meninggalkan beliau. Nabi SAW yang sebelumnya mereka gelari Al Amin, mereka musuhi karena membawa ajaran ilahi.
Jamaah yang dirahmati Allah .....
Seakan apa yang dialami Nabi dan sahabat, hadir kembali di tengah-tengah kita sekarang. Dakwah dijegal dan dibungkam. Lihatlah, para ulama dikriminalisasi dan dituduh sebagai kaum radikal, mengancam kebhinekaan, membawa ajaran yang tidak sesuai budaya lokal, dll. Bahkan, beberapa pegiat dakwah ditangkap karena dituding menyebarkan kebencian dan hoax di media sosial.
Tak hanya para dai, ajaran Islam pun dikriminalkan. Khilafah sebagai ajaran Islam dalam bernegara dituding sebagai ajaran radikal dan menginspirasi terorisme.
Subhanallah ....
Jamaah yang dimuliakan Allah ...
Sebagai Muslim sejati, kita tentu harus meyakini kebenaran ajaran Nabi. Islam datang untuk mengeluarkan manusia dari keterpurukan hidup menuju keberkahan dan rahmat Allah SWT (Lihat: QS al-Hadid: 9; QS al-Anbiya’: 107).
Karena itu, mendakwahkan Islam secara kaffah pasti bakal mendatangkan berkah dan rahmat Allah SWT. Inilah dulu yang tergambar dari kepemimpinan Rasulullah SAW dan Khulafaur-Rasyidin. Inilah masa terbaik yang seharusnya dicontoh dan dipedomani kaum Muslim dalam melihat realita kehidupan Islam yang sebenarnya.Bukan praktik keliru yang terjadi di banyak negeri kaum Muslim, apalagi yang diperagakan oleh ISIS.
Nabi SAW telah bersabda:
Wajib atas kalian berpegang pada Sunnahku dan sunnah Khulafaur-Rasyidin yang mendapatkan petunjuk. Gigitlah ia dengan gigi geraham (HR Ibnu Majah).
Jamaah yang dimuliakan Allah ....
Begitulah karakter dakwah, selalu dihadang dan dihalang-halangi. Namun kita tak boleh mundur sedikitpun dari dakwah.
Kalian sungguh-sungguh menyerukan kemakrufan dan mencegah yang munkar atau Allah benar-benar akan memberikan kekuasaan kepada orang-orang buruk di antara kalian, lalu orang-orang baik di antara kalian berdoa, tetapi tidak dikabulkan oleh Allah (HR Ibnu Hibban).
Maka, haram hukumnya meninggalkan dakwah, apalagi menjegal dakwah. Ingat, orang-orang yang menjegal dakwah sama saja dengan orang yang tidak ingin rahmat Allah menaungi negeri ini.
Maka dakwah harus terus berlangsung, kapan pun dan di mana pun. Apakah kita ingin kemungkaran terus merajalela?
Bukankah kemungkaran yang merajalela itu artinya pintu bencana terbuka bagi semua orang, termasuk orang-orang salih. Perhatikan perkataan Ummu Salamah, istri Nabi SAW: Aku pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda:
Jika ragam kemaksiatan di tengah umatku telah nyata, Allah pasti akan menimpakan azab-Nya kepada mereka secara merata.” Aku (Ummu Salamah), bertanya, “Wahai Rasulullah, bukankah di tengah mereka itu ada orang-orang yang salih?” Beliau menjawab, “Benar.” (HR Ahmad).
Tentu kita tidak ingin negeri ini seperti itu. Maka terus gaungkan dakwah Islam secara kaffah! Semoga Allah meridhai langkah kita. Aamiin. []
Tausiyah Ramadhan #12
ERATKAN UKHUWAH, BUANG ASHOBIYAH
Jamaah Rahimakumullah....Rasulullah saw. bersabda:
Siapa saja yang mati/terbunuh di bawah panji buta, dia marah karena ‘ashabiyah, atau berperang karena ‘ashabiyah, atau menyerukan ‘ashabiyah maka matinya adalah mati jahiliah (HR Ahmad).
Hadis di atas menjelaskan antara lain: Pertama, kaum Muslim haram memerangi termasuk mempersekusi kaum Muslim lainnya semata-mata atas dasar sikap ‘ashabiyah. Kedua, kaum Muslim haram menyerukan ‘ashabiyah, termasuk membela dan berperang atas dasar ‘ashabiyah.
Islam datang untuk menghilangkan sekat-sekat perbedaan. Dalam pandangan Islam, tak ada bangsa, golongan, suku, dan warna kulit yang lebih unggul satu dengan yang lainnya. Begitu mereka mengaku sebagai Muslim, mereka sama derajatnya. Mereka adalah hamba Allah, yang diikat dengan satu kalimat yang sama, kalimat “Laa ilaaha illaLlah Muhammadurrasulullah”.
Siapa yang telah bersaksi dengan kalimat tauhid itu, maka dia adalah saudara. Saudara seiman, saudara seakidah, karena tuhannya sama, Allah SWT. Rasul yang diutus
kepada kita sama, Muhammad SAW. Kitabnya sama, Alquranul Kariim. Dan arah kiblatnya sama, Ka’bah di Makkah al Mukaromah. Allah SWT berfirman:
Sungguh kaum Mukmin itu bersaudara. Karena itu damaikanlah di antara saudara- saudara kalian (QS al-Hujurat [49]: 10).
Terkait ayat di atas, Imam Ali ash-Shabuni dalam Shafwah at-Tafâsir antara lain menyatakan, “Persaudaraan karena faktor iman jauh lebih kuat daripada persaudaraan karena faktor nasab.”
Jamaah Rahimakumullah...
Karena itu sikap ‘ashabiyah itu harus dibuang dan dicampakkan seperti yang diperintahkan oleh Rasul saw. Dalam hal ini Jabir ra. pernah menuturkan bahwa dalam satu pertikaian, seorang Muhajirin mendorong tubuh seorang Anshar. Lalu orang Anshar itu berkata, “Tolonglah, hai Anshar!” Orang Muhajirin itu pun berkata, “Tolonglah, hai Muhajirin!” Mendengar itu Rasulullah saw. bersabda:
“Ada apa dengan seruan jahiliyah itu?” Mereka berkata, “Ya Rasulullah, seseorang dari Muhajirin memukul punggung seseorang dari Anshar.” Beliau bersabda, “Campakkan itu. Sebab itu muntinah (tercela, menjijikkan dan berbahaya)!” (HR al- Bukhari dan Muslim).
Maka, sebagai saudara, Islam menuntut kita menunjukkan rasa persaudaraan kita. Saling membantu dan tolong-menolong, saling menghilangkan kesulitan, bahkan sekadar menutup aib saudaranya.Rasulullah SAW pernah bersabda,
“Muslim itu saudara bagi Muslim yang lain. Ia tidak saling menzalimi dan saling membiarkan. Siapa saja yang menghilangkan suatu kesulitan dari seorang Muslim, maka Allah SWT akan menghilangkan kesulitan bagi dirinya di antara berbagai kesulitan pada Hari Kiamat kelak. Siapa saja yang menutupi aib seorang Muslim, Allah pasti akan menutupi aibnya pada Hari Kiamat nanti.” (Muttafaq a’laih).
Karena itu, waspadalah terhadap tipu daya setan dan musuh-musuh Islam yang menginginkan umat Islam terpecah, berbenturan, dan akhirnya saling bermusuhan. Hati-hati terhadap fitnah-fitnah yang bertebaran yang memprovokasi, agar sesama Muslim saling menyakiti dan mencaci maki. Tinggalkan fanatisme buta berkelompok. Ingat pesan Nabi SAW:
Abu Hurairah ra. menuturkan bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda,
“Siapa yang keluar dari ketaatan dan memecah-belah jamaah (umat Islam), lalu mati, dia mati dalam keadaan mati jahiliyah. Siapa yang terbunuh di bawah panji buta, dia marah untuk kelompok dan berperang untuk kelompok, dia bukan bagian dari umatku. Siapa saja yang keluar dari umatku untuk memerangi umatku, memerangi orang baik dan jahatnya, serta tidak takut akibat perbuatannya atas orang Mukmin dan tidak memenuhi perjanjiannya, dia bukanlah bagian dari golonganku.”(HR Muslim, Ahmad, Ibnu Majah dan an-Nasai).
Jamaah Rahimakumullah...
Persaudaraan sesama muslim adalah persaudaraan karena iman. Perwujudan ukhuwah islamiyah menunjukkan kualitas keimanan kaum Muslim. Imam Abul Qasim al- Isbahani mengatakan, “Kelompok yang selalu merujuk dalam segala sesuatu pada al- Quran dan as-Sunnah pasti akan selalu menjaga persatuan.” .
Alhasil, mari kita eratkan ukhuwah (persaudaraan), kuatkan wihdah (persatuan) dan rekatkan mahabbah (saling cinta). Niscaya akan lahir al-quwwah (kekuatan). Dengan itulah kita secara bersama-sama akan mampu meraih ‘izzah (kemuliaan) di dunia dan akhirat. Saatnya kita menjadikan akidah Islam sebagai satu-satunya ikatan. Saatnya kita hidup bersama-sama dan saling bekerjasama di bawah Panji Tauhid Lâ ilâha ilalLâh Muhammad RasululLâh.
Tausiyah Ramadhan #13
SURGA UNTUK KAUM BERTAQWA, NERAKA UNTUK PARA PENDOSA
Jamaah Rahimakumullah ....
Hidup adalah sebuah pilihan. Allah karuniakan dalam diri manusia kecenderungan, ada kecenderungan baik dan ada kecenderungan buruk.
Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya (QS. Asy Syams: 8)
Potensi baik dan buruk tidak pernah memaksa diri kita. Tapi kitalah yang memilih apakah memilih ketakwaan, ataukan justru kefasikan. Maka, sangat adil jika kemudian Allah menghisap kita atas perbuatan yang kita pilih, nanti di hari perhitungan.
Jamaah Rahimakumullah...
Siapa yang timbangan amal kebaikannya lebih berat dibandingkan amal buruknya, baginya surga. Dan itu hanya bisa dicapai oleh orang-orang yang bertakwa. Allah SWT berfirman:
Sungguh orang-orang yang bertakwa mendapat kemenangan (TQS an-Naba`[78]: 31).
Menurut al-Jazairi, mereka adalah orang yang menjauhi syirik dan kemaksiatan karena takut kepada azab-Nya (Al-Jazairi, Aysar al-Tafâsîr, 5/502).
Sementara, siapa yang amal buruknya lebih banyak dibandingkan amal kebaikannya, maka balasannya adalah neraka. Mereka adalah para para pendosa.
Allah SWT berfirman:
(Dikatakan kepada mereka pada Hari Kiamat), "Pergilah kalian menuju azab yang dulu kalian dustakan.” (TQS al-Mursalat [77]: 25).
Pernyataan ini ditujukan kepada kaum kafir pada Hari Kiamat kelak (Al-Qurthubi, Al- Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, 19/162).
Dalam ayat selanjutnya Allah SWT menegaskan:
Kecelakaan besarlah pada hari itu bagi orang-orang yang mendustakan (TQS al- Mursalat [77]: 28).
Wahbah az-Zuhaili berkata mengenai ayat ini: “Azab dan kehinaan pada Hari Kiamat yang menegangkan disediakan untuk orang-orang yang mendustakan para utusan Allah SWT dan ayat-ayat-Nya. Tidak ada tempat lari bagi mereka dari azab-azab itu.” (Az-Zuhaili, At-Tafsîr al-Munîr, 29/327).
Jamaah Rahimakumullah...
Surga dan neraka itu begitu jelas. Allah tunjukkan gambarannya dengan sangat nyata. Sangat aneh bila ada orang yang mengaku beriman, tapi mengingkari hari pembalasan.
Maka orang yang cerdas, tentu berharap ridha Allah untuk menggapai surgaNya. Pertanyaannya, bagaimana caranya?
Tidak ada jalan lain kecuali benar-benar mengamalkan Islam secara kaffâh (total). Sebab, Islam adalah agama yang syâmil (menyeluruh). Dalam arti, Islam menjelaskan semua hal dan mengatur segala perkara: akidah, ibadah, akhlak, makanan, pakaian, mumamalah, ‘uqûbât (sanksi hukum), dll. Tak ada satu perkara pun yang luput dari
pengaturan Islam. Hal ini Allah SWT tegaskan di dalam al-Quran:
Kami telah menurunkan kepada kamu al-Quran sebagai penjelas segala sesuatu (TQS an-Nahl [16]: 89).
Islam sekaligus merupakan agama yang kâmil (sempurna). Tak sedikit pun memiliki kekurangan. Hal ini Allah SWT tegaskan dalam firman-Nya:
Pada hari ini Aku telah menyempurnakan untuk kalian agama kalian (Islam), telah melengkapi atas kalian nikmat-Ku dan telah meridhai Islam sebagai agama bagi kalian (TQS al-Maidah [5]: 3).
Jamaah Rahimakumullah....
Totalitas dan kesempurnaan Islam tentu tidak akan tampak kecuali jika kaum Muslim
mengamalkan Islam secara kâffah (total) dalam seluruh segi kehidupan. Inilah yang Allah SWT perintahkan secara tegas dalam al-Quran:
Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh setan itu musuh yang nyata bagi kalian (TQS al-Baqarah [2]: 208).
Karena itu kaum Muslim diperintahkan untuk melaksanakan seluruh syariah yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. Tak sepatutnya kaum Muslim mempraktikkan aturan-aturan lain yang bersumber dari Barat yang diajarkan oleh Motesquie, Thomas Hobbes, John Locke, dll yang melahirkan sistem politik demokrasi; atau yang diajarkan John Maynard Keynes, David Ricardo, dll yang melahirkan sistem ekonomi kapitalisme.
Allah mengecam memilah dan memilih hukumnya, sebagaimana firmanNya:
Apakah kalian mengimani sebagian al-Kitab serta mengingkari sebagian yang lain? Tiada balasan bagi orang yang berbuat demikian di antara kalian melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia dan pada Hari Kiamat nanti mereka akan dilemparkan ke dalam siksa yang amat keras. Allah tidaklah lalai atas apa saja yang kalian kerjakan (TQS al-Baqarah [2]: 85).
Ayat ini menyebut, mengingkari atau menolak sebagian wahyu Allah SWT dalam Kitab-Nya cukup menjadikan pelakunya diazab artinya menjadi ahli neraka. Maka siapapun yang menolak syariah Allah SWT, azab Allah menantinya. Oleh karena itu, pegang erat Islam ini dengan genggaman yang kuat di tengah gagasan- gagasan sesat yang disebarkan kaum liberal.
Semoga kita tetap istiqamah dalam Islam dan menjadi calon-calon penghuni surga. Aamiin.
Tausiyah Ramadhan #14
MENJAGA KEYAKINAN DAN TOLERANSI HAKIKI
Jamaah Rahimakumullah...
Agama yang Allah SWT ridhai hanyalah Islam. Ini adalah prinsip yang harus ada dalam diri setiap Muslim. Selain Islam adalah kekufuran dan kesesatan. Allah SWT berfirman:
Sungguh agama yang diakui di sisi Allah hanyalah Islam (TQS Ali Imran [3]: 19).
Allah SWT pun berfirman:
Siapa saja yang mencari agama selain Islam tidak akan diterima dan di Akhirat dia termasuk ke dalam kelompok orang-orang yang rugi (TQS Ali Imran [3]: 85).
Namun, demikian Islam memiliki konsep hidup bersama dengan orang yang beragama lain. Islam menggariskan sejumlah ketentuan antara lain:
Pertama, Islam tidak akan pernah mengakui kebenaran agama dan keyakinan selain Islam. Seluruh keyakinan dan agama selain Islam adalah kekufuran. Demokrasi, pluralisme, sekularisme, liberalisme dan semua paham yang lahir dari paham-paham tersebut adalah kufur. Agama Yahudi, Kristen, Hindu, Budha, kebatinan dan lain sebagainya, semuanya kufur. Siapa saja yang menyakini agama atau paham tersebut, baik sebagian maupun keseluruhan, adalah kafir. Jika pelakunya seorang Muslim maka ia telah murtad dari Islam. Tidak ada toleransi dalam perkara semacam ini.
Kedua, tidak ada toleransi dalam perkara-perkara yang telah ditetapkan oleh dalil- dalil qathi, baik menyangkut masalah akidah maupun hukum syariah. Dalam perkara akidah, Islam tidak pernah mentoleransi keyakinan yang bertentangan pokok-pokok akidah Islam semacam ateisme, politheisme, keyakinan bahwa al-Quran tidak lengkap, keyakinan adanya nabi dan rasul baru setelah wafatnya Nabi saw., pengingkaran terhadap Hari Akhir dan lain-lain. Adapun dalam persoalan hukum syariah, Islam, misalnya, tidak mentoleransi orang yang menolak kewajiban shalat, zakat, puasa dan berbagai kewajiban yang telah ditetapkan berdasarkan dalil qathi.
Ketiga, Islam tidak melarang kaum Muslim untuk berinteraksi dengan orang-orang kafir dalam perkara-perkara mubah seperti jual-beli, kerjasama bisnis, dan lain sebagainya. Larangan berinteraksi dengan orang kafir terbatas pada perkara yang dilarang oleh syariah, seperti menikahi wanita musyrik (kecuali Ahlul Kitab), menikahkan wanita Muslimah dengan orang kafir, dan lain sebagainya. Ketentuan ini tidak bisa diubah dengan alasan toleransi.
Keempat, adanya ketentuan-ketentuan di atas tidak menafikan kewajiban kaum Muslim untuk berdakwah dan berjihad melawan orang-orang kafir di mana pun mereka berada. Hanya saja, pelaksanaan dakwah dan jihad harus sejalan dengan syariah. Orang kafir yang hidup di Negara Islam dan tunduk pada kekuasaan Islam, dalam batas-batas tertentu, diperlakukan sebagaimana kaum Muslim. Hak dan kewajiban mereka sebagai warga negara Daulah Islam sama dengan kaum Muslim. Harta dan jiwa mereka dilindungi. Adapun terhadap kafir harbi maka hubungan dengan mereka adalah hubungan perang. Seorang Muslim dilarang berinteraksi dalam bentuk apapun dengan kafir harbi fi’lan.
Jamaah Rahimakumullah...
Inilah konsep Islam. Islam telah mengajarkan dan memperagakan toleransi dengan begitu apik sejak masa Rasulullah saw. Islam memberikan tuntunan bagaimana menghargai dan menghormati pemeluk agama lain. Tidak memaksa non-Muslim untuk masuk Islam.
Rasul saw. pernah menjenguk orang Yahudi yang sedang sakit, melakukan transaksi jual-beli dengan non-Muslim, menghargai tetangga non-Muslim, dsb. Negara Islam perdana di Madinah yang Rasul saw. pimpin kala itu juga menunjukkan kecemerlangannya dalam mengelola kemajemukan. Umat Islam, Nasrani dan Yahudi hidup berdampingan satu sama lain. Meski mereka hidup dalam naungan pemerintahan Islam, masyarakat non-Muslim mendapatkan hak-hak yang sama sebagai warga negara, memperoleh jaminan keamanan, juga bebas melakukan peribadatan sesuai dengan keyakinannya masing-masing.
Islam juga mengajarkan bahwa penyimpangan hal pokok (ushul) dalam Islam tidak boleh ditoleransi, tetapi wajib diluruskan. Namun, perbedaan dalam cabang (furu) harus dihargai dengan jiwa besar dan lapang dada.
Perlakuan adil Negara Khilafah terhadap non-Muslim bukan sekadar konsep, tetapi benar-benar diaplikasikan. Bukan juga berdasar pada tuntutan toleransi ala Barat, melainkan karena menjalankan hukum syariah Islam.
Jamaah Rahimakumullah...
Maka, bila hari ini ada kalangan yang menuding islam itu tidak toleran atau intoleran, kita patut waspada. Jangan-jangan mereka menghembuskan jargon itu untuk menyerang Islam. Mereka gunakan mulut-mulut mereka untuk memadamkan cahaya Allah. Hati-hati ini adalah upaya musuh-musuh Islam menjauhkan umat islam dari keyakinan kebenaran agama ini. Mereka ingin kita mengakui kebenaran ajaran agama mereka.
Firman Allah SWT:
Dan tidak akan pernah ridha kaum Yahudi dan Nasrani hingga kalian mengikuti millah (cara/pandangan hidup) mereka. (QS Al Baqarah: 120)
Tausiyah Ramadhan #15
MEMAHAMI AJARAN ISLAM
Jamaah yang dimuliakan Allah ...
Konsekuensi takwa adalah selalu taat dan tunduk kepada Allah. Apapun yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya adalah sebuah kebaikan. Bukankah Allah Yang Maha Tahu atas ciptaan-Nya, kita dan seluruh dunia ini?
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah setan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al Baqarah (2) : 208)
Sungguh Allah dan Rasul-Nya telah memberikan tuntunan kehidupan secara sempurna kepada kita. A sampai Z. Dari urusan kecil, membersihkan najis, hingga mengatur urusan negara. Inilah karunia Allah yang besar bagi orang-orang yang beriman.
Jamaah yang dirahmati Allah ....
Sayang ada sebagian Muslim yang seolah menganggap ajaran Islam harus dipegang teguh jika dinyatakan secara tekstual di dalam al-Quran. Jika tidak, maka seolah itu bukan ajaran Islam. Jika pun dianggap sebagai ajaran Islam, tidak perlu diutamakan dan diamalkan; boleh saja ditinggalkan.
Contohnya adalah tentang khilafah. Mereka menolak Khilafah sebagai bagian dari ajaran Islam. Mereka berdalih, Khilafah tidak ada di dalam al-Quran. Yang ada dalam al-Quran, kata mereka, adalah khalifah, sebagaimana seperti dalam terjemahan surat al-Baqarah ayat 30, bukan khilafah.
Jamaah yang dirahmati Allah......
Benarkah demikian? Mari kita lihat. Banyak ajaran Islam yang tidak disebutkan secara tekstual di dalam al-Quran. Adanya justru di dalam As-Sunnah. Penolakan terhadap Khilafah dengan alasan tidak ada dalam al-Quran juga menyiratkan penolakan terhadap apa yang tercantum dalam as-Sunnah.
Kalaulah Khilafah dianggap sebagai hal yang masih diperselisihkan, maka kembalikan kepada al-Quran dan as-Sunnah. Allah SWT berfirman:
Jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah sesuatu itu kepada Allah (al-Quran) dan Rasul (as-Sunnah) jika kalian benar-benar mengimani Allah dan Hari akhir... (TQS an-Nisa’ [4]: 59).
Terkait ayat di atas, Imam Ibnu Katsir menjelaskan, ayat ini menunjukkan bahwa siapa saja yang tidak berhukum dalam obyek perselisihan pada al-Kitab dan as-Sunnah dan tidak merujuk pada keduanya bukanlah orang yang mengimani Allah dan Hari Akhir. Sebagaimana ayat di atas, banyak ayat lain yang memerintahkan kita untuk berhukum
dengan hukum Islam. Contohnya adalah firman Allah SWT:
Putuskan hukum di antara mereka berdasarkan apa (wahyu) yang telah Allah turunkan dan janganlah kamu menuruti hawa nafsu mereka untuk meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu (TQS al-Maidah [5]: 48).
Perintah semacam ini bertebaran dalam al-Quran. Kewajiban ini pun berlaku untuk seluruh manusia sejak Rasulullah saw. diutus hingga Hari Kiamat.
Jamaah yang dimuliakan Allah .....
Banyak kewajiban yang Allah SWT perintahkan di dalam al-Quran, misalnya dalam perkara kepemimpinan; dalam perkara ibadah yang memerlukan peran penguasa seperti pemungutan zakat, masalah ekonomi, jihad, hudûd dan jinâyat dan sebagainya.
Sejak hijrah ke Madinah, Rasul saw memberikan kita contoh bagaimana mengimplementasikan semua hukum itu sebagai seorang kepala negara. Pasca beliau, para khalifah-lah yang melanjutkan kepemimpinan atas umat. Hal ini beliau jelaskan
dalam sabda beliau:
Bani Israil dulu dipimpin dan diurusi oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi wafat, ia digantikan oleh nabi yang lain. Sungguh tidak ada nabi setelahku. Yang akan ada adalah para khalifah dan jumlah mereka banyak (HR Muslim).
Jamaah yang dirahmati Allah.....
Hadits tersebut menjelaskan siapa yang mengurus umat ini setelah beliau tiada. Karena tidak ada lagi nabi sesudah beliau. Oleh karena itu, kewajiban itu ada dalam Sunnah Nabi SAW.
Kewajiban mengangkat imam/khalifah sama dengan kewajiban menegakkan khilafah. Hal itu juga ditegaskan dalam sabda Rasul saw:
Siapa saja yang mati, sedangkan di lehernya tidak ada baiat (kepada imam/khalifah), maka ia mati jahiliah (HR Muslim).
Berdasarkan hadis di atas, menurut Syaikh ad-Dumaiji, mengangkat imam (khalifah) hukumnya wajib (Ad-Dumaiji, Al-Imâmah al-‘Uzhma ‘inda Ahl as-Sunnah wa al- Jamâ’ah, hlm. 49).
Hakikat ini dipahami betul oleh para Sahabat. Imam Ibnu Hajar al-Haitami menyatakan, “Sungguh para Sahabat—semoga Allah meridhai mereka—telah sepakat
bahwa mengangkat imam (khalifah) setelah zaman kenabian berakhir adalah wajib. Bahkan mereka menjadikan upaya mengangkat imam/khalifah sebagai kewajiban paling penting. Faktanya, mereka lebih menyibukkan diri dengan kewajiban itu dengan menunda (sementara) kewajiban menguburkan jenazah Rasulullah saw.” (Al- Haitami, Ash-Shawâ’iq al-Muhriqah, hlm. 7).
Ijmak Sahabat itu, seperti yang ditegaskan oleh Imam al-Ghazali, tidak bisa di-naskh (dihapuskan/dibatalkan) (Al-Ghazali, Al-Mustashfâ, 1/14). Jadi Ijmak Sahabat tentang kewajiban mengangkat khalifah atau menegakkan Khilafah tidak bisa dibatalkan oleh kesepakatan orang sesudahnya, termasuk kesepakatan orang zaman sekarang, kalaupun benar ada kesepakatan itu.
Semoga Allah membuka mata kita dan menjadikan kita semakin cinta kepada Islam dan ajarannya. Aamiin.
Tausiyah Ramadhan #16
MERAIH PREDIKAT TAQWA DENGAN PUASA
Jamaah Rahimakumullah ....
Alhamdulillah, atas karunia Allah, kita masih dipertemukan dengan bulan Ramadhan 1440 H. Sungguh banyak orang yang berharap sampai di bulan mulia ini, tapi ajal telah menghampirinya.
Karena itu, mari jadikan puasa Ramadhan kali ini benar-benar kita bisa meraih ketakwaan sejati sebagaimana yang Allah SWT kehendaki:
Hai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana puasa itu pernah diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa (TQS al-Baqarah [2]: 183).
Inilah janji Allah. Manakala umat ini mengerjakan ibadah puasa dengan benar, sesuai tuntunan al-Quran dan as-Sunnah, dan ikhlas semata-mata mengharap ridha Allah SWT, niscaya takwa sebagai hikmah puasa itu akan dapat terwujud.
Jamaah yang dirahmati Allah ...
Mungkin kita sudah terlalu sering mendengar kata ‘takwa’. Tak ada salahnya kita menyegarkan kembali pemahaman kita tentang makna kata takwa ini. Imam ath- Thabari, saat menafsirkan surat Al Baqarah: 183, antara lain mengutip Al-Hasan menyatakan, “Orang-orang bertakwa adalah mereka yang takut terhadap perkara apa saja yang telah Allah haramkan atas diri mereka dan melaksanakan perkara apa saja yang telah Allah titahkan atas diri mereka.” (Lihat: Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân liTa’wîl al-Qur’ân, I/232-233).
Dengan demikian, jika takwa adalah buah dari puasa Ramadhan yang dilakukan oleh setiap Mukmin, idealnya usai Ramadhan, setiap Mukmin senantiasa takut terhadap murka Allah SWT. Lalu ia berupaya menjalankan semua perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya. Ia berupaya menjauhi kesyirikan. Ia senantiasa menjalankan ketaatan. Ia takut untuk melakukan perkara-perkara yang haram. Ia senantiasa berupaya menjalankan semua kewajiban yang telah Allah SWT bebankan kepada dirinya.
Maka, menjalankan semua perintah Allah SWT dan menjauhi semua larangan-Nya tentu dengan mengamalkan seluruh syariah-Nya baik terkait aqidah dan ubudiah; makanan, minuman, pakaian dan akhlak; muamalah (ekonomi, politik, pendidikan, pemerintahan, sosial, budaya, dll); maupun ‘uqubat (sanksi hukum) seperti hudud, jinayat, ta’zir maupun mukhalafat.
Bukan takwa namanya jika seseorang biasa melakukan shalat, melaksanakan puasa Ramadhan atau bahkan menunaikan ibadah haji ke Baitullah; sementara ia biasa memakan riba, melakukan suap dan korupsi, mengabaikan urusan masyarakat, menzalimi rakyat dan menolak penerapan syariah secara kâffah.
Jamaah yang dimuliakan Allah ...
Menarik pendapat Syeikh Ali Ash-Shabuni ketika menafsirkan al-Quran surat al- Baqarah ayat 1-5, mengutip pernyataan Ibnu ‘Abbas ra, yang menyatakan, “Orang- orang yang bertakwa adalah mereka yang takut berbuat syirik (menyekutukan Allah SWT) sembari menjalankan ketaatan kepada Allah SWT.” (Lihat: Ali ash-Shabuni, Shafwah at-Tafasir, I/26).
Takut berbuat syirik maknanya adalah takut menyekutukan Allah SWT dengan makhluk-Nya baik dalam konteks aqidah maupun ibadah, termasuk tidak meyakini sekaligus menjalankan hukum apapun selain hukum-Nya. Mengapa? Karena hal itu pun bisa dianggap sebagai bentuk kesyirikan. Pasalnya, Allah SWT telah berfirman:
Orang-orang Yahudi dan Nasrani telah menjadikan para pendeta dan para rahib mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah... (TQS at-Taubah [9]: 31).
Ketika ayat ini dibaca oleh Baginda Nabi SAW, datanglah Adi bin Hatim kepada beliau dengan maksud hendak masuk Islam. Saat Adi bin Hatim—yang ketika itu masih beragama Nasrani—mendengar ayat tersebut, ia kemudian berkata, “Wahai Rasulullah, kami (orang-orang Nasrani, pen.) tidak pernah menyembah para pendeta kami.” Akan tetapi, Baginda Nabi saw. membantah pernyataan Adi bin Hatim
sembari bertanya dengan pertanyaan retoris, “Bukankah para pendeta kalian biasa menghalalkan apa yang telah Allah haramkan dan mengharamkan apa yang telah Allah halalkan, lalu kalian pun menaatinya?” Jawab Adi bin Hatim, “Benar, wahai Rasulullah.” Beliau lalu tegas menyatakan, “Itulah bentuk penyembahan kalian terhadap para pendeta kalian.” (Imam al-Baghawi, Ma’alim at-Tanzil, IV/39)
Boleh jadi sekarang para pendeta dan para rahib itu tidak lagi membuat hukum. Tapi lihatlah, bukankah peran mereka sudah digantikan oleh penguasa dan wakil rakyat dalam sistem demokrasi? Coba perhatikan, bukankah mereka menentukan hukum yang menabrak hukum-hukum Allah. Yang Allah haramkan, mereka halalkan. Yang Allah bolehkan, malah mereka larang. Zina yang haram, mereka lokalisasi. Nikah yang sah, tak diizinkan karena dianggap di bawah umur. Dan sebagainya.
Jamaah rahimakumullah ...
Karena itu, mari momentum puasa Ramadhan kali ini kita jadikan tonggak perbaikan diri dan umat ini. Jangan sampai kita tak mendapat apa-apa, sebagaimana sabda Nabi SAW:
Betapa banyak orang berpuasa tidak mendapatkan apapun selain rasa laparnya saja (HR Ahmad).
Maka, seharusnya pasca Ramadhan akan lahir manusia-manusia baru yang berkepribadian Islam. Mendasarkan seluruh perilakunya berdasarkan syariat Islam,
halal dan haram. Menginginkan pemimpin yang memimpinnya adalah orang yang bertakwa. Dan, merindukan penerapan syariah Islam secara kaffah, serta mencampakkan sekulerisme, liberalisme, kapitalisme, pluralisme, dan isme-isme lainnya yang jelas-jelas bertentangan dengan Islam.
Semoga kita semua sukses melaksanakan puasa Ramadhan ini sehingga ketakwaan sejati terwujud dalam diri kita, masyarakat kita, dan negeri kita. Aamiin.
Tausiyah Ramadhan #17
HENTIKAN RIBA.!
Jamaah Rahimakumullah...
Berhati-hatilah, jangan sampai Allah murka kepada kita karena kita ingkar terhadap perintah-Nya dan melanggar larangan-Nya. Ingat, Allah Sang Penguasa alam semesta bisa berbuat apa saja terhadap makhluk-Nya di muka bumi ini, hanya dengan perkataanNya: “Kun!”, maka terjadilah apa yang terjadi, tanpa ada yang bisa menghalangi.
Sungguh, kalau kita mau mengintrospeksi diri, masyarakat, dan negara kita, banyak dosa yang kita lakukan. Satu di antaranya adalah riba. Padahal, Rasulullah SAW telah memperingatkan dengan sangat gamblang dampak riba tersebut.
Jika zina dan riba sudah menyebar di suatu kampung maka sesungguhnya mereka telah menghalalkan azab Allah atas diri mereka sendiri. (HR al-Hakim, al-Baihaqi dan ath-Thabrani).
Lihatlah fakta sekarang, riba tidak hanya menyebar di kampung atau desa, tapi telah menjadi pilar-pilar ekonomi negara. Lalu, bagaimana mungkin negeri ini akan mendapat keberkahan dari Allah SWT?
Jamaah Rahimakumullah...
Allah SWT memberikan ancaman yang keras terhadap mereka yang terlibat riba. Firman-Nya:
Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni- penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. (QS Al Baqarah [2]: 275)
Ayat tersebut menjelaskan keharaman riba. Dan balasan bagi mereka yang memakan riba tidak lain adalah neraka jahannam. Tidak heran jika riba ini termasuk salah satu dari tujuh dosa besar. Rasulullah SAW bersabda:
“Jauhilah tujuh perkara yang menghancurkan!’ Mereka (para shahabat Nabi SAW) bertanya, ’Apa itu?’ Sabda Nabi, ’Syirik, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan alasan yang benar, memakan riba, memakan harta anak yatim, lari dari peperangan, dan menuduh zina kepada wanita Mukmin yang baik-baik.” (HR Bukhari)
Jamaah Rahimakumullah...
Tidak hanya itu, begitu besarnya dosa riba hingga Rasulullah SAW pun melaknatnya. Sabda beliau:
“Rasulullah SAW telah melaknat pemakan riba, orang yang memberi makan dengan riba, penulisnya, dan dua orang saksinya. Sabda Nabi SAW,’Mereka sama saja [dalam hal dosanya].” (HR Muslim)
Dalam sabdanya yang lain, kata Nabi SAW:
“Riba mempunyai 73 macam dosa, yang paling ringan seperti laki-laki yang menikahi (berzina) dengan ibu kandungnya sendiri.” (HR Hakim).
Juga sabda beliau:
“Satu dirham riba yang dimakan seseorang sedang dia mengetahuinya, lebih berat dosanya daripada 36 kali berzina.” (HR Ahmad).
Jamaah Rahimakumullah...
Maka kita tak patut heran, bila banyak kesempitan melanda negeri ini. Riba yang jelas haram malah dijadikan sumber pendapatan. Malah, riba dipelihara oleh negara sebagai pilar ekonomi dan dijadikan sumber keuangan negara.
Secara pribadi, banyak Muslim menjadi pelaku riba dan menikmatinya. Dan dalam skala yang lebih besar, negara menjadi mesin riba, bahkan menjadi pelaku riba yang terbesar karena telah mengutang kepada lembaga internasional seperti IMF dan Bank Dunia serta negara kaya, yang ribanya saja mencapai ratusan triliun per tahun.
Bukankah ini pelanggaran nyata terhadap syariah Allah SWT?
Oleh karena itu, saudara-saudaraku kaum Muslim rahimakumullah, mari kita jauhi riba. Hentikan mulai sekarang. Dalam skala lebih besar, perekonomian juga harus segera dijauhkan dari riba. Perekonomian harus segera diatur sesuai syariah Islam. Hanya dengan kembali pada syariah Islamlah keberkahan akan segera dilimpahkan kepada bangsa ini.
Semoga Allah SWT mengampuni dosa-dosa kita dan menguatkan kita agar istiqomah di jalan-Nya. Aamiin
Tausiyah Ramadhan #18
MEMELIHARA DAN MENYEMPURNAKAN KETAQWAAN
Jamaah Rahimakumullah ....
Ramadhan sebentar lagi akan berlalu. Yang tersisa bagi umat hari ini adalah pertanyaan: bagaimana cara memelihara dan menyempurnakan ketakwaan? Ini adalah pertanyaan amat penting karena memang hikmah dari shaum Ramadhan adalah mencapai derajat takwa.
Tak ada keraguan lagi bahwa ketakwaan adalah status tertinggi seorang hamba di hadapan Allah SWT. Bukan kekayaan, status sosial, warna kulit, suku bangsa, dll. Islam telah menghilangkan status dan prestise yang melekat pada manusia dan
menggantikannya takwa. Allah SWT berfirman:
Sungguh orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah yang paling bertakwa di antara kalian (TQS al-Hujurat [49]: 13).
Imam ath-Thabari rahimahulLâh dalam tafsirnya mengatakan, “Sungguh yang paling mulia, wahai manusia, di sisi Tuhan kalian, adalah yang bertakwa, yakni yang menunaikan kewajiban-kewajiban dan menjauhi kemaksiatan; bukan yang paling mewah rumahnya dan paling banyak keturunannya.”(Tafsîr ath-Thabari, 7/86).
Jamaah rahimakumullah...
Takwa adalah: Takut kepada Allah Yang Mahaagung, mengamalkan al-Quran, merasa puas dengan yang sedikit dan mempersiapkan bekal untuk menghadapi Hari Penggiringan (Hari Akhir).
Sebagian ulama juga memberikan pengertian takwa dengan: menaati semua perintah Allah SWT dan menjauhi segenap larangan-Nya. Karena itu, hamba-hamba Allah yang bertakwa tidak pernah memilah dan memilih perintah maupun larangan-Nya. Perkara yang fardlu akan ia kerjakan sekuat tenaga sekalipun membutuhkan pengorbanan besar. Sebaliknya, perkara yang haram akan ia tinggalkan meskipun dipandang biasa di tengah masyarakat. Ia akan bergegas untuk mendapatkan
ampunan dan surga yang dijanjikan Allah SWT.
Bersegeralah kalian meraih ampunan dari Tuhan kalian dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa (TQS Ali Imran [3]: 133).
Jamaah rahimakumullah...
Namun sekarang banyak kaum Muslim yang terkena virus sekularisme, yakni paham yang memisahkan agama dari kehidupan. Akibatnya, virus ini telah
menyimpangkan makna takwa yang hakiki. Sekularisme menempatkan takwa sekadar ketaatan dalam urusan ibadah dan akhlak semata. Di luar ibadah, mereka tinggalkan ketaatan kepada Allah SWT. Mereka campakkan aturan-aturan Allah. Padahal Allah SWT telah menjadikan Islam sebagai risalah paripurna, mengatur semua aspek kehidupan.
Bahkan ada sebagian Muslim yang mengkriminalisasi ajaran agamanya sendiri dan orang-orang yang memperjuangkannya. Mereka melabeli Muslim yang berusaha istiqamah menjalankan agama dan menyerukan pelaksanaan agama sebagai kaum radikal. Mereka tak segan mempersekusi sesama Muslim. Mereka pun menganggap syariah Islam dan khilafah sebagai ancaman bagi manusia, padahal kewajiban hukumnya oleh para ulama Aswaja.
Walhasil, sekularisme telah menggerus ketakwaan kaum Muslim. Sifat amanah dan menepati janji pun kian menghilang. Orang tidak merasa berdosa dan hilang rasa takutnya kepada Allah SWT ketika merusak kehidupan bernegara. Padahal dalam ajaran Islam, negara itu ada untuk menjaga dan melindungi masyarakat dan melindungi ketakwaan mereka.
Jamaah rahimakumullah
Rasulullah SAW telah mengingatkan kaum Muslim agar memelihara perintah dan larangan Allah SWT:
Sungguh Allah telah mewajibkan berbagai kewajiban. Karena itu jangan kalian menyia-nyiakannya. Allah pun telah menetapkan berbagai larangan. Karena itu jangan kalian melanggarnya (HR al-Baihaqi).
Langkah untuk memelihara dan menyempurnakan ketakwaan kepada Allah SWT antara lain:
Pertama, menjadikan akidah Islam bukan sekadar akidah ruhiyyah, tetapi juga akidah siyasiyah, yakni asas dalam kehidupan dunia. Dengan itu semua urusan dunia maupun akhirat selalu dilandasi oleh dorongan keimanan kepada Allah SWT.
Kedua, senantiasa menjadikan Islam sebagai standar untuk menilai perbuatan terpuji- tercela dan baik-buruk. Pertimbangan dalam beramal hanyalah halal dan haram, bukan manfaat atau madarat; bukan pula ridha atau benci manusia. Yang ia cari semata-mata adalah keridhaan Ilahi sekalipun orang-orang mencaci dirinya.
Ketiga, bersabar dalam menjalankan ketaatan pada Allah SWT sebagaimana para nabi dan rasul, juga orang-orang shalih dalam menjalankan perintah dan larangan Allah SWT. Nabi saw. bersabda:
Sungguh di belakang kalian adalah masa kesabaran. Bersabar pada masa itu seperti menggenggam bara api. Pahala bagi yang melakukannya seperti 50 orang yang mengerjakan amalnya (HR Abu Daud).
Keempat, berdakwah mengajak umat untuk sama-sama meniti jalan ketakwaan dan menghilangkan kemungkaran. Ia takut bila berdiam diri justru akan mendatangkan bencana dari Allah SWT (Lihat: QS al-Anfal [8]: 25).
Kelima, segera memohon ampunan kepada Allah SWT dan kembali pada ketaatan manakala telah melakukan kemungkaran
“Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.” (Terjemahan: QS Ali Imran [3]: 135).
Keenam, menumbuhkan kerinduan pada ridha Allah dan surga-Nya. Dengan begitu ia tak akan tergoda untuk menggadaikan agama demi mendapatkan sekeping dunia yang ia pandang remeh. Seluruh hidupnya akan digunakan untuk meneguhkan ketaatan kepada Allah ‘Azza wa Jalla.
Semoga kita mampu memelihara ketakwaan kita di zaman jahiliyah modern saat ini dan terus berjuang meninggikan kalimatullah. Aamiin
Tausiyah Ramadhan #19
MERAIH KESUKSESAN RAMADHAN
Jamaah Rahimakumullah ....
Tanpa terasa hari ini kita telah memasuki 10 hari terakhir di bulan Ramadhan. Bulan yang agung ini sebentar lagi akan meninggalkan kita. Kita tidak tahu, apakah kita akan bertemu lagi dengan Ramadhan tahun depan? Lalu, sudahkah kita memanfaatkan momentum Ramadhan ini dengan maksimal? Sudahkah ketakwaan kita bertambah melalui puasa Ramadhan kali ini. Karena sesuai firman Allah SWT:
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa, sebagaimana puasa itu diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian, agar kalian bertakwa (QS al-Baqarah [2]: 183).
Seharusnya di penghujung Ramadhan ini, kita sudah berubah menjadi hamba Allah yang lebih bertakwa. Menarik apa yang disampaikan Umar bin Abdul Aziz rahimahulLâh, sebagaimana dikutip Imam as-Suyuthi dalam Ad-Durr al-Mantsûr, berkata:
Takwa kepada Allah itu bukanlah berpuasa pada siang hari, shalat pada malam hari dan memadukan keduanya. Namun, takwa kepada Allah itu adalah meninggalkan apa saja yang telah Allah haramkan dan menunaikan apa saja yang telah Allah wajibkan.
Maka, sungguh tak layak merayakan ‘Hari Kemenangan’, Idul Fitri, jika kita tidak tambah takwanya. Sebabnya, sebagaimana dinyatakan oleh sebagian ulama, “Laysa al-‘id li man labisa al-jadid walakin al-‘id li man takwahu yazid yang artinya Idul Fitri bukanlah milik orang yang mengenakan segala sesuatu yang serba baru. Namun, Idul Fitri adalah milik orang yang ketakwaannya bertambah.”
Jamaah RahimakumulLâh ...
Perlu kiranya kita memahami bagaimana hakikat takwa ini. Imam Ali ra menjelaskan hakikat takwa ini, dan prasyaratnya. Takwa adalah:
“Takut kepada Rabb yang Maha Agung. Menjalankan apa yang diturunkan Allah. Bersiap diri menghadapi Hari Kiamat.”
Maka tanda orang yang bertakwa, pertama, dia hanya takut kepada Allah. Dia yakin bahwa Allah Maha Melihat, Allah Maha Tahu dan Maha segalanya. Dia pun yakin terhadap yang ghaib lainnya yang dikabarkan oleh Allah melalui Rasul-Nya: adanya malaikat yang selalu mengawasinya 24 jam penuh. Mereka pun percaya kepada surga dan neraka.
Yang kedua, orang yang bertakwa adalah amalu bi tanzil yakni melaksanakan ketaatan kepada Allah, dalam kondisi suka maupun berat hati.
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (QS Al Ahzab: 36)
Ketika Allah memanggil mereka untuk melaksanakan shalat, mereka akan bergegas shalat karena mereka menyadari itu adalah perintah Allah. Ketika Allah perintahkan membayar zakar, mereka keluarkan zakat itu. Ketika Allah perintahkan berbuat baik kepada orang tuanya, dengan senang hati mereka membahagiakan orang tuanya. Dan ketika Allah perintahkan menerapkan syariah-Nya, mereka berada di garda terdepan mendakwahkan dan memperjuangkan Islam.
Sebaliknya, ketika Allah melarang riba, mereka tak berani mengambilnya meski hanya sedikit. Ketika Allah melarang mengambil harta orang lain, mereka tak berani korupsi, mengurangi timbangan, mencuri, dan menipu. Ketika Allah larang menyakiti sesama Muslim, mereka sayangi sesama Muslim dan tak berani menyakiti, mengkriminalisasi, bahkan menerornya.
Jamaah RahimakumulLah ...
Semua itu dilakukan karena orang yang bertakwa senantiasa mengingat datangnya Hari Perhitungan yakni hidup setelah mati. Itulah tanda orang bertakwa yang ketiga.
Allah berfirman :
“dan sesungguhnya hari kiamat itu pastilah datang, tak ada keraguan padanya; dan bahwasanya Allah membangkitkan semua orang di dalam kubur.” (QS Al Hajj: 7)
Di sanalah kita akan ditimbang amal kita. Siapa yang amal baiknya lebih berat timbangannya daripada amal buruknya, maka surga balasannya. Sebaliknya, jika amal buruknya lebih berat, neraka adalah yang paling pantas baginya.
Jamaah RahimakumulLâh ....
Lalu sudahkah di hari-hari terakhir Ramadhan ini kita sudah mencapai derajat takwa tersebut? Kalau belum, di sisa waktu Ramadhan ini mari kita tingkatkan lagi amaliyah kita seraya memahami makna takwa yang hakiki. Jangan sia-siakan waktu yang ada. Semoga, ketika Ramadhan pergi, kita telah berubah menjadi manusia baru. Manusia yang meraih kesuksesan Ramadhan yakni manusia yang bertakwa, manusia yang taat kepada Allah dan menjadi manusia yang dibanggakan oleh Rasulullah SAW. Aamiin...
Kembali ke Bagian Pertama : Kumpulan Kajian Islam Tausiyah Ramadhan 1443 H/ 2022 M Bagian
Posting Komentar