Alfi Ummuarifah
Sahabatku, pernahkah engkau benar-benar merasakan kehadiran Allah dalam dunia dan seisinya ini? Sebagaimana Allah hadir dalam ibadah kita di atas sajadah?
Dalam sebuah harmoni kehidupan Allah hadir mengatur ekosistem. Apakah ekosistem itu?
Ekosistem adalah interaksi yang mengatur hubungan timbal balik antar makhluk yang beranekaragam, baik makhluk hidup maupun tak hidup pada alam ini.
Dalam Ensiklopedia Encarta disebutkan bahwa interaksi dalam ekosistem, dapat dipahami dari segi peringkat (level) makanan yang dikenal sebagai tingkat trofik.
Tanaman hijau membuat makanan tingkat trofik pertama dan dikenal sebagai produsen utama. Tanaman inilah yang mengkonversi energi dari matahari ke dalam makanan dalam proses yang disebut fotosintesis.
Pada tingkat trofik kedua, konsumen primer dikenal sebagai herbivora adalah binatang yang mendapatkan energi kehidupannya dengan memakan tanaman hijau.
Lalu pada tingkat trofik ketiga terdiri dari konsumen sekunder, pemakan daging atau hewan karnivora yang memakan hewan herbivora.
Selanjutnya pada tingkat keempat adalah konsumen tersier, karnivora yang memakan karnivora lainnya. Akhirnya pada tingkat trofik kelima sebagai dekomposer, organisme seperti jamur dan bakteri yang mengurai dan mendaur ulang materi yang mati menjadi nutrisi yang dapat digunakan lagi.
Sejumlah makhluk hidup bergabung dalam jaringan makanan, yaitu mekanisme ekosistem yang mensirkulasi dan mendaur ulang energi dan materi. Misalnya, dalam ekosistem perairan, ganggang dan tanaman air lainnya menyerap sinar matahari untuk menghasilkan energi karbohidrat.
Konsumen utama seperti serangga dan ikan kecil menyuplai makan beberapa jenis tanaman, dan pada gilirannya dimakan oleh konsumen sekunder, seperti ikan salmon. Kemudian seekor beruang berperan sebagai konsumen tersier dengan memakan salmon.
Bakteri dan jamur kemudian membusukkan sisa bangkai salmon yang ditinggalkan beruang, sehingga mengubah komponen tak hidup menjadi nutrisi kimia, kemudian diproses kembali ke tanah dan air, dan selanjutnya diserap oleh akar tanaman.
Dengan cara ini nutrisi dan energi yang berasal dari sinar matahari secara efisien ditransfer dan didaur ulang oleh tanaman hijau ke seluruh ekosistem.
Proses lain yang penting untuk ekosistem adalah siklus air; pergerakan air dari laut ke atmosfer lalu ke tanah dan akhirnya kembali ke laut.
Ekosistem seperti hutan atau lahan basah sangat berperan dalam siklus ini dengan menyimpan, atau menyaring air saat melepaskannya ke ekosistem
Ekosistem ini juga ditandai dengan intervensi gangguan siklus; misalnya peristiwa kebakaran, badai, banjir, dan tanah longsor yang justru bermanfaat bagi tanaman tertentu untuk kelangsungan jenisnya (reproduksi).
Sebagai contoh, perkembangan jenis hutan pinus LongLeaf sangat tergantung pada adanya kebakaran intensitas rendah untuk reproduksi.
Tunas pohon pinus yang berisi struktur reproduksi, yang tadinya tertutup dengan damar, dapat lepas menjadi benih yang akan tumbuh menjadi pinus baru jika damarnya mencair setelah kepanasan akibat kebakaran.
Ekosistem seperti yang digambarkan di atas adalah berlaku menurut hukum sebab akibat pada alam semesta ini. Menurut filsafat, rentetan sebab-akibat itu membentuk sistem yang membuat eksistensi makhluk-makhuk saling tergantung antara satu sama lain. Jalinan sebab-akibat berawal dari sebab pertama.
Menurut Aristoteles adalah penggerak pertama, The First (Prime) Mover. Aristoteles sendiri tidak memberikan definisi yang konkret mengenai Pengerak Pertama, kecuali hanya menyebutnya sebagai intelligence (akal) yang menggerakkan alam semesta. Filosof sesudah Aristotles berusaha menerjemahkan Penggerak Pertama itu adalah Tuhan.
Para teolog, khususnya dalam teologi Islam, yang percaya pada hukum sebab-akibat, menyebutnya sebagai sunnatullah. Artinya, ekosistem tidak lain adalah perbuatan Allah sendiri, karena Dia lah yang menciptakannya, mengatur dan memeliharanya dalam proses hukum sebab-akibat, sebagai firman-Nya:
“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran (aturan tertentu) (Q.S.Al-Qamar : 49)
Aturan tertentu itu, tidak lain dari sunnatullah (hukum alam ciptaan-Nya) yang berlaku dalam interaksi ekosistem. Aturan itu berlaku tetap, tak berubah-ubah , dan berlaku sebagai aturan (takdir) pada perbuatan Tuhan dan makhluknya.
Terlihat bukan bahwa manusia turut berperan dalam interaksi ekosistem (sebab-akibat); mereka dapat melakukan suatu sebab yang dapat mendatangkan suatu akibat.
Berdasarkan itu, dapat dipahami bahwa sebenarnya Allah mencipta melalui suatu proses yang melibatkan makhluk-makhluk-Nya sendiri untuk turut berperan pada ekosistem sebagai wadah penciptaan itu.
Adanya proses dalam penciptaan adalah sejalan dengan banyak ayat Al-Qur’an yang menyebut bahwa Allah menciptakan alam semesta ini dalam enam hari. Itu berarti tak lepas dari proses tertentu, walaupun diakui bahwa makna enam hari itu multi tafsir. Di antaranya adalah ayat berikut:
“Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas `Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat. Lalu (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam.” (Q.S.al-A`raf : 54).
Dalam kaitannya dengan teologi (akidah), maka setidaknya kita dapat memahami tiga hal dari uraian diatas, pertama Allah sebagai Pencipta Awal.
Adanya proses penciptaan yang berlangsung terus-menerus tanpa akhir sepanjang Allah SWT menghendaki penciptaan.
Kedua, Adanya keterlibatan makhluk Allah dalam proses iradah (kehendak Tuhan) dan qudrah (kekuasaan Tuhan) pada penciptaan alam semesta itu.
Dalam banyak ayat, Allah SWT disebut sebagai Pencipta yang bersemayam di atas arasy
yang digambarkan oleh para ulama sebagai tempat yang khusus bagi Tuhan (alam uluhiyah). Pada banyak ayat, kata “`arasy” mengandung arti: “tempat tertinggi atau terhormat” , “derajat termulia ”, “bahagian teratas, atap atau penutup” , “membangun, membuat atau mengadakan” .
Dari defenisi pengertian itu dapat ditegaskan bahwa “arasy” adalah posisi yang teratas, tiada lagi sesuatu yang di atasnya.
Dalam rentetan sebab-akibat, Tuhan adalah sebab pertama, tdak ada lagi sebab yang di atasnya (the Prime Mover). Dan jika asal muasal segala makhluk hidup adalah air, sedang air itu sendiri adalah ciptaan Tuhan, maka berarti Tuhan (Allah) bersemayam (berkuasa dan mencipta) makhluk hidup yang semuanya berasal dari air
dan adalah arasy-Nya di atas air (Q.S.Hud [11]: 7)
Proses penciptaan berlangsung terus menerus, tanpa akhir, sebab sifat Tuhan sebagai Al-Khaliq, tidak dibatasi oleh ruang dan waktu.
Karena itu, dalam teologi, Tuhan tidak dapat disebut hanya mencipta di masa lalu, atau hanya mencipta sekali jadi untuk semua kemudian istirahat.
Sejumlah ayat menyinggung soal penciptaan yang berlangsung terus menerus ini. Antara lain Q.S.al-Baqarah : 164 menyebut bagaimana Allah mengendalikan ekosistem, manfaat pergantian siang dan malam, serta bagaimana air, tanah dan angin berinteraksi, sehingga terjadilan kehidupan di alam ini.
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati -nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh tanda-tanda bagi kaum yang memikirkan.” (Q.S.al-Baqarah [2]: 164).
Hal demikian diberlakukan oleh Allah, tanpa ada sesuatu di alam ini yang sia-sia atau tidak berfungsi dalam ekosistem (ربنا ما خلقت هذا باطلا – “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia”-
Proses kejadiannya dan penciptaan yang berlangsung terus-menerus, yang di dalamnya semua makhluk terlibat tanpa kecuali, itu ditandai dengan adanya reproduksi (beranak, bertunas, atau ber-benih) pada makhluk, sehingga melahirkan kmakhluk-makhlu
baru tanpa henti. Dalam l Q.S.Yunus [10]: 34 dinyatakan bahwa Allah-lah yang memulai penciptaan makhluk, kemudian mengulanginya dengan penciptaan yang baru tanpa henti
(قل الله يبدأ الخلق ثم يعيده ) juga dijelaskan dalam Q.S.Qaaf ayat 15:
Maka apakah Kami letih dengan penciptaan yang pertama ? Sebenarnya mereka dalam keadaan ragu-ragu tentang penciptaan yang baru.
Keterlibatan makhluk-makhluk Tuhan dalam interaksi ekosistem ciptaan-Nya, dipahami dari gaya bahasa Al-Qur’an yang mengungkapkan. Dalam banyak ayat penciptaan, menyangkut eksistensi dan hajat kehidupan manusia di dunia ini, Tuhan mengakuinya dengan ungkapan “Kami menciptakan”, bukan “Aku menciptakan”.
Perhatikan bagaimana Tuhan mencipta manusia dari setetes air, dengan ungkapan:
“Kami menciptakannya dari setetes air” Ketika Allah menciptakan manusia bersuku-suku dan berbangsa-bangsa yang tak luput dari keterlibatan sesama manusia, Tuhan menyatakan “Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan.
Begitupun ketika terjadi bencana alam, akibat penyimpangan dari hukum ekosistem, sehingga sejumlah materi pada alam beraksi tidak normal, dinyatakan dengan kalimat “telah tertulis dalam kitab (hukum ekosistem),
sebelum Kami menciptakannya” gasnya, kalimat-kalimat penciptaan dengan ungkapan “Kami menciptakan”, adalah isyarat keterlibatan makhluk Tuhan dalam prosesnya. Berbeda halnya jika penciptaan itu dikaitkan dengan penyembahan kepada Allah, yang merupakan hak prerogatif Allah.
Maka kalimat yang digunakannya adalah “Aku ciptakan”, bukan “Kami menciptakan”. Hal itu karena yang patut disembah hanyalah Tuhan, maka ungkapan penciptaan-Nya pun memakai kalimat “Aku”;
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”. (Q.S.al-Dzariyat [51]: 56).
Keyakinan bahwa Allah SWT menciptakan ekosistem, menciptakan hukum alam sebab-akibat sebagai sunnah-Nya, yang memberi peran keterlibatan bagi makhluk-makhluk-Nya, tidaklah sama sekali menafikan kemaha-kuasaan-Nya.
Di sinilah pertemuan antara iman dan ilmu (sains / teknologi). Bahwa sebagai umat beragama, kita tetap yakin akan kemaha-kuasaan Tuhan yang berlaku pada alam semesta, tetapi sebagai insan sains dan teknologi, kita pun harus yakin bahwa Tuhan menciptakan hukum-hukum alam, yang disebut sebab-akibat (kauslitas), ataupun ekosistem yang berlaku pada kosmos sejagat.
Allah hanya ingin dan bermaksud memberi peluang bagi manusia untuk mempelajari rahasia dan fenomena-fenomena alam ini.
Semakin dalam pengetahuan orang-orang beriman menyangkut rahasia alam, semakin kuat pula keyakinannya akan kemahakuasaan Allah SWT.
Dalam Al-Qur’an, mereka disebut sebagai ulama, yaitu ahli sains dan teknologi yang beriman, sesuai firman-Nya:
Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. (Q.S. Fathir 28) Wallahu a`lam bisshowaab.
Posting Komentar