Tujuan Menikah dan Syarat Menikah untuk Jomblo


Tujuan Menikah dan Syarat Menikah

Komitmen Nikah: Allah Dulu, Allah Lagi, Allah Terus

Bagi kaum jomblo, niat nikah karena untuk beribadah kepada Allah bukanlah sebuah komitmen yang kosong tanpa makna. Dianya memiliki makna yang mendalam dan cukup serius. Mengandung unsur keterikatan terhadap hukum syara’ pada setiap perbuatan kita.

Pertama, bagi kaum jomblo yang sudah  berkomitmen menikah karena Allah, berpikirlah tentang pemantasan diri. Pemantasan diri menikah karena Allah itu meletakkan Allah di depan. Allah dulu, berarti berpikirlah untuk mengawali dengan memakai standar Allah. Kalau sudah Allah dulu, memakai standar Allah, maka nomor satu yang jadi pertimbangan menikah karena Allah adalah agama dan akhlaknya. “ Apa nggak boleh mempertimbangankan kecantikan, nasab, kekayaan?” Boleh, tapi kalau benar menikahnya karena Allah, tentu agama yang akan jadi pilihan utama.

Menikah karena Allah yang berarti meletakkan Allah dulu yang berarti memakai standar Allah, maka ketika berproses ta’aruf atau khitbah memakai syariat Allah. Sehingga kalau ada yang berkomitmen menikah karena Allah, tapi dalam proses perkenalan atau ta’aruf melanggar syariat Allah, komitmen itu hanya lipservis. Bagi yang berkomitmen menikah karena Allah, maka dalam interaksi dengan si calon harus menggunakan standar allah alias memakai syariat-Nya. Begitupun yang berkomitmen menikah karena Allah kemudian tidak cocok berjodoh dengan si dia, tidak lantas menyalahkan atau mengutuk takdir. Buat yang berkomitmen menikah karena Allah harus ikhlas, jika suatu saat akhirnya tidak berjodoh dengan si dia. Sekali lagi,menikah karena Allah pada proses pra nikah, gunakan standar Allah alias Allah dulu. Selalu Allah dulu sebelum pertimbangan yang lain.

Kedua, bagi yang menikah karena Allah dan akhirnya nanti berjodoh, maka berpikir dan bersiaplah tentang penyesuaian diri. Maksudnya masih memposisikan Allah lagi. Jangan pernah meninggalkan Allah dalam setiap langkah kita. Memposisikan lagi Allah dan  lagi-lagi menggunakan standar Allah, lagi-lagi allah yang utama.

Komitmen memposisikan Allah lagi dan lagi, tetap harus dipersiapkan saat pra nikah, saat sebelum berumahtangga. Memposisikan Allah lagi dalam menikah karena Allah berati mau melihat dan menerima kekurangan pasangan. Bagi yang berkomitmen menikah karena Allah, tapi membesar-besarkan perbedaan dengan pasangan maka komitmen itu hanya omong kosong.


Berkomitmen menikah karena Allah, tapi tidak bersikap lemah lembut kepada pasangannya, maka komitmen itu hanya bohong atau lip service. Mengaku menikah karena Allah, tapi berbagi kasih dengan wanita atau pria idaman lain berarti komitmennya hanya legalisasi. “Apa nggak boleh menikah lagi bagi yang berkomitmen menikah karena Allah?” Jika Allah membolehkan, kenapa kita melarang. Boleh, asal memakai standar Allah.

Table of Contents


Ketiga, bagi yang menikah karena Allah dan sudah menjalani kehidupan rumah tangga, maka bersiaplah tentang penempaan diri. Penempaan diri dalam menikah karena Allah itu artinya, pada setiap persoalan rumah tangga, memposisikan Allah terus menggunakan standar Allah terus.


Komitmen memposisikan Allah terus, harus dipersiapkan saat pra nikah. Memposisikan Allah terus artinya terus menggunakan standar pada setiap langkah dan persoalan hidup rumah tangga. Jadi, bagi yang berkomitmen menikah karena Allah, tapi kenyataannya setiap persoalan rumah tangga meninggalkan Allah dalam penyelesaiannya, itu sama saja bohong. Komitmen menikah karena Allah menempatkan Allah dalam  setiap ujian, karena Allah yang memberi ujian, maka Allah juga yang tahu kuncinya.

Jadi, komitmen nikah karena Allah itu artinya meletakkan Allah dulu, Allah lagi dan Allah terus yang sudah disiapkan sejak pra nikah. Jadi, kalimat menikah karena Allah bukan pepesan kosong, bukan kalimat yang ringan diucapkan, tapi dia adalah kalimat yang penuh komitmen dan konsekuensi. Berhati-hatilah dan bersiaplah ketika berucap menikah karena Allah, itu artinya bersiap diatur Allah, sebelum, saat, dan sesudah menikah. Intinya menikah karena Allah itu apa kata Allah, kita ikuti. 

“Wanita dinikahi karena hartanya, keturunan, kecantikan serta agamanya, maka pilihlah agama” (HR. Bukhari Muslim)

Maka rumusnya, agama adalah satu, selain agama nilainya nol, semakin banyak nol, tidak apa-apa, tapi angka nol tidak berarti jika tanpa angka satu, yakni agama. Ketika unsur tambahan lebih dominan mengalahkan agama, maka cinta yang tumbuh dan terbangun bukan karena Allah. Cinta karena cantik, tampan, harta, cinta seperti ini akan lebih cepat luntur dan pudar, seiring memudarnya fisik. Maka pikirkan lagi, jika ingin menikah yang saat ini sedang proses, pilihlah agamanya, itulah cinta karena Allah.

Kemuliaan seseorang bukan ditunjukkan harta, cantik, keturunan, tapi ukurannya hanya satu yakni ketakwaan kepada Allah. Hanya dengan memilih pasangan karena agamanya kita bisa selamat dan menyelamatkan keluarga kita nantinya.

Bukan tidak boleh mempertimbangkan dunia, tapi pertimbangan dunia seharusnya bukan yang utama, karena yang utama adalah agama. insyaAllah jika agama yang diutamakan untuk jadi pertimbangan akan terus menemukan kebahagiaan, karena agama (Islam) adalah poros hidup. 


Bagaimana Kita Bisa Bebas dari Virus Merah Jambu?

Hati-hati bawa hati, itu cuplikan sebuah puisi karangan Ustadz Fauzil Adziem. Emang bawa hati adalah sebuah pekerjaan yang repot dan super melelahkan. Kenapa? Karena letak hati tersembunyi, tak seperti sesuatu yang bisa dipandang secara dzohir dan oleh karenanya kita bisa langsung membersihkannya saat terlihat kotor. Gampang, tinggal ambil lap, ambil air, siram! Jika masih kotor, ambil sabun! Sebentar lagi pasti akan cling mengkilat!

Kalo kita belum nikah, hati kita sering banget dibenturkan dengan berbagai penyakit. Ya, kalo antibody sedang kuat, virus akan minggat! Tapi kalo iman tengah rapuh, maka virus akan membangun kerajaan padat penduduk di dalamnya. Maka kita pun akan kelonjotan dibuatnya.

Saat melihat ikhwan lewat misalnya , kita akan berpikir macam-macam. Mungkin kita sengaja tampil kenes memancing perhatiannya. Sengaja cari muka, cari perhatian dan sebagainya. Kita juga sering membayangkan hal yang nggak-nggak. Bersanding dengan Akh Fulan di pelaminan misalnya. Atau membayangkan ukhti Fulanah tengah menggendong seorang bayi mungil dan kita berjalan di sampingya dengan tangan merangkul bahu ukhti tersebut. Wah bisa berabe!

Nih contoh salah satu kisah Anti (bukan nama sebenarnya), memang seperti sinetron. Ia jatuh cinta kepada seorang laki-laki yang memiliki latar belakang ideologi nyaris bertolak belakang dengannya. Ya, dia yang mahasiswi sebuah PTN ternama di Jawa tengah ini adalah seorang kader dakwah kampus dengan jam terbang yang cukup tinggi.  Sementara sang cowok, sebut saja Anton, adalah aktivis sebuah organisasi ekstra kampus yang bercorak ‘merah’  kental dan merupakan lawan organisasi Anti. Bukan sekadar itu, Anton adalah playboy kelas kakap.

Tentu aja teman-temannya sesama aktivis bingung banget. Mereka yakin Anton nggak serius. Ia hanya ingin mempermainkan Anti. Bahkan ada indikasi bahwa Anton sebenarnya hanya ingin membongkar rahasia organisasi yang ditekuni Anti , karena Anti adalah pimpinan organisasi tersebut.

Sayangnya setelah diupayakan dengan berbagai cara, Anti yang udah kesengsem berat sama Anton justru memilih keluar dari organisasi yang ditekuni. Ia pun menulis secarik surat pada penanggung jawab organisasi kampusnya.

“Maaf saya tidak bisa memenuhi harapan kalian. Padahal dakwah membutuhkan energi yang besar. Tetapi saya tidak siap meninggalkannya, apalagi ditinggalkannya!”

Ck…ck, segitunya… mungkin begitu komentar kamu. Tapi, emang gitu kenyataannya. Jika cinta melekat, gula Jawa serasa cokelat, begitu kata orang. (Walaupun kadang, gula Jawa itu lebih lezat dari cokelat, lho!)

Beberapa hari ini, saya emang sedang dihadapkan dengan berbagai permasalahan virus merah jambu. Kisah itu seakan telah menjadi fenomena yang menggejala di mana-mana, persis virus flu burung yang menghantui setiap penggemar daging unggas. Atau juga seperti corona yang sudah pandemic, yang entah kapan berakhirnya.

Seorang teman bercerita dengan sedikit emosi, “Bayangkan mabak…dia itu kader dakwah! Tapi, tanpa rasa malu, ia berboncengan dengan seorang cowok yang ternyata adalah pacarnya!”

Pada kasus lain, seorang akhwat mengeluhkan sikap ikhwan yang ia anggap keterlaluan. “Masa dia ngotot pengen nikah sama saya, dan dia mau menunggu sampai saya lulus kuliah! Padahal saya merasa tidak cocok sama dia! Obsesif banget! Kayak nggak ada orang lain aja!”

Virus merah jambu emang sering membuat kepala para ‘takwiner’ senut-senut. Bayangkan, karena makhluk yang satu ini, seringkali seorang kader yang sebenarnya sangat potensial seperti Anti menjadi terjungkal, tersuruk dan bahkan lenyap dari jagad pergerakan. Sayangnya, karena seringnya intensitas pertemuan antara ikhwan dan akhwat yang memang muncul karena tuntutan zaman, kasus-kasus tersebut ternyata semakin merebak. Apalagi kemajuan teknologi informasi yang semakin masif, membuat interaksi ikhwan akhwat menjadi semakin mudah dan semakin terlindungi privasinya.

Sebagai contoh, pernah seorang ikhwan dengan jam terbang dakwah yang cukup tinggi mengirim chat kepada salah satu stafnya di sebuah organisasi di mana mereka aktif.

“Apa kabar mujahidahku? Sudah salat malam?”

Emang sih kalimatnya bagus. Sudah salat malam? Tapi kenapa mesti memakai sapaan Mujahidahku! Kenapa nggak ukhti aja. Kalo yang dapat chat atau sms itu saya, bisa jadi dada saya berdebar-debar dan hati saya berkelonjotan terus memikirkan yang nggak-nggak.

Begitulah virus merah jambu kalo udah merasuk dalam hati. Karena jatuh cinta adalah fitrah yang melekat nyaris pada semua orang normal. Artinya, ketika terlintas hasrat pada seseorang saya pikir wajar-wajar saja.

Kita bukan malaikat yang nggak punya kecenderungan berpasangan. Kita adalah manusia dan cinta pada lawan jenis adalah fitrah yang semestinya disyukuri, karenanya kita akan merasakan bahwa hidup itu indah. Jadi, jatuh cinta adalah wajar. Jangan pernah merasa bersalah ketika kita jatuh cinta.

Yang jadi masalah adalah, kalo virus itu justru melekat dan berkembang di hati kita, dan bahkan kita pelihara untuk tetap berada di sana. Kita terlena dalam cinta yang bukan hak kita dan bahkan menikmatinya. Itu yang bahaya!

Bagaimana agar kita bisa bebas dari VMJ?

Milikilah imunitas

Kita tahu, virus influensa itu bertebaran di mana-mana. Jika badan kita fit, maka virus itu akan enggan menginfeksi kita. Gitu juga dengan ruhani kita. Kalo kondisi ruh kita fit, maka virus hati akan mental. Cara membuat hati kita fit, yaitu senantiasa menyibukkan dalam aktivitas dzikrullah. Shalat tahajud, shaum, banyak tilawah, rajin wirid al-ma’tsurat dan sebagainya.

Jangan hanya aktif di pinggiran, menceburlah ke pusaran

Ini dia salah satu biangnya. Kita sering aktif di berbagai organisasi dakwah, tetapi hanya cukup puas sebagai aktifis pinggiran. Maka menceburlah di pusaran dakwah, sehingga pikiran kita akan senantiasa terkonsetrasi kepada dakwah. Dan pahami bahwa dakwah adalah kewajiban setiap muslim. Agar membuat pikiran kita fokus bagaimana bisa berguna untuk orang lain dan menghasilkan sesuatu untuk dakwah.

Hindari aktivitas yang tidak perlu dengan lawan jenis

Untuk menghindari terinfeksinya hati oleh virus-virus merah jambu, seminimal mungkin hindarilah aktivitas yang tak perlu dengan lawan jenis. Seperti chat atau telepon yang kurang penting.

Jauhkan diri dari hal-hal yang membuat hasrat itu tumbuh

Nasyid-nasyid flamboyan, cerita-cerita romantis dan sebagainya mungkin perlu kita konsumsi, tetapi jangan berlebihan. Hal-hal yang membuat hasrat untuk bercinta semakin membara, sebaiknya kita hinjari saja.


Mencari dan memilih yang pasti

Memilih jodoh tanpa mengetahui tuntunan yang seharusnya, ibarat orang pergi tanpa tahu tujuannya. Jika pernikahan itu ibarat sebagai  tujuan dari sebuah perjalanan, maka pastinya ada perbekalan yang harus kita siapkan. Salah satu perbekalan yang harus disiapkan adalah tentang kreteria calon suami atau istri. Tentang calon istri atau suami, kreterianya seperti apa, sering yang jadi masalah para jomblo.

Pada umumnya kreteria seperti fisik atau wajah lebih disukai oleh laki-laki. Sementara, perempuan lebih suka melihat laki-laki dari inner handsome-nya, seperti baik, jujur dan pengertian. Apa itu salah? Nggak, tapi kalau kreteria seperti itu menempati kreteria utama seorang calon istri atau suami, makin yakin saja, pilihan seperti itu akan berpindah-pindah dari satu orang ke orang yang lain, yang lebih cantik, baik, jujur, dan sebagainya. Jadi, sebaiknya pilih dan persiapkan yang memang ada kaitannya dengan masa depan kita.

Secara garis besar, tentang kreteria calon suami atau istri, dibedakan menjadi dua, yakni kreteria utama dan kreteria tambahan. Kreteria utama: agama dan mampu, sedangkan kreteria tambahan; penyayang, cantik atau tampan, kaya, nasab dan masih gadis.

Kreteria utama calon istri atau suami adalah agamanya yang baik. Hal ini memang sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul:

“Sesungguhnya wanita itu dinikahi karena agamanya, karena hartanya, dan karena kecantikannya. Maka hendaklah engkau mengutamakan agamanya, niscaya engkau akan selamat” (HR. Muslim dan at-Tirmidzi)

Lalu yang baik agamanya itu bagaimana kita mengetahui dan menilainya? Islam sebagai  agama yang telah sempurna dan diutusnya Rasulullah saw sebagai khatamul anbiya (penutup para nabi) menunjukkan dengan pasti bahwa tidak ada risalah setelah Al-Qur’an yang beliau bawa. 

Maka sebagai agama yang syamil wa kamil (lengkap dan menyeluruh), Islam mengatur seluruh hidup manusia. Artinya syariat Islam mempunyai aturan atau syariat yang mengatur seluruh hidup manusia.

Ada syariat yang mengatur hubungan manusia dengan Allah, yang terkategori dalam masalah ibadah dan akidah. Seperti ibadah ritual shalat, haji, zakat, puasa, dan lain-lain. Ada syariat yang mengatur hubungan manusia dengan manusia yang lain (baik muslim maupun non muslim), yang masuk kategori muamalah.

 Seperti misalnya, jual beli, perkawinan, pergaulan, dan sebagainya. Ada syariat yang mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri, yang masuk kategori akhlak, misalnya cara berpakaian, cara makan dan lain-lain.

Dengan demikian, seseorang dikatakan baik agamanya adalah seorang muslim yang mau diatur atau mau mengikatkan diri dengan syariat yang meliputi masalah ibadah, muamalah dan akhlak. Jadi, perilaku seseorang yang baik agamanya adalah yang setiap dia melakukan perbuatan selalu berstandar kepada Islam. Sementara seseorang nggak akan memiliki keterikatan terhadap syariat Islam, jika dia nggak mempunyai akidah atau keimanan yang benar dan kuat tentang Islam.

Akidah yang kuat dan benar akan menghantarkan seorang muslim untuk menjustifikasi setiap pemikiran yang bertentangan dengan akidahnya sebagai pemikiran yang batil dan keliru. Sehingga seorang muslim yang baik agamanya, selain bertingkah laku sesuai syariat Allah, maka dia juga harus memiliki akidah atau pemikiran Islam, bukan berpikiran sekuler, yakni memisahkan Islam untuk mengatur kehidupan. Itulah sosok yang disebut memiliki kepribadian Islam. Jadi kepribadian  Islam bukan dilihat dari segi fisik seseorang, melainkan dari sisi perilaku dan pemikirannya sesuai dengan Islam atau tidak.

Lalu pertanyaan berikutnya ”adakah sosok yang sempurna seperti itu?”  ada seseorang berkata “ jika mendamba pasangan layaknya Muhammad, maka pantaskan diri untuk menjadi Khatijah atau Aisyah” seketika itu banyak yang protes, “mana ada sosok seperti itu?” Nah, itulah kesalahan kita selama ini memandang bahwa sosok yang memiliki kepribadian Islam adalah sosok yang langka, sosok yang imajiner, mendamba sosok seperti itu seakan-akan seperti mencari malaikat.

Syekh Taqiyudin dalam bukunya Syakhsiyah Islamiyyah jilid 1, menyampaikan bahwa sosok seperti itu, bukan sosok malaikat yang sulit dicari. Allah telah menurunkan syariat diperuntukkan bagi manusia, maka Allah sebagai Al Khaliq sudah memastikan bahwa syariat itu bisa dipraktekkan oleh manusia, di manapun dan kapanpun. Sehingga sangat mungkin ditemui seseorang yang berkepribadian Islam. Dan yang menjadikan kita lebih yakin bahwa sosok berkepribadian Islam itu telah terwujud dalam diri Rasulullah dan para sahabatnya radiallah anhuma.

Artinya jika para sahabat Rasul itu adalah manusia, maka kita pun bisa meniru perilaku dan pemikiran mereka, yang merupakan perilaku dan pemikiran Islam. Kita meneladani Rasulullah dan juga para sahabat dalam sosoknya sebagai manusia, yang memiliki potensi kehidupan yang sama.

 Hanya saja yang membedakan kepribadian Islam di antara kita adalah dari sisi intensitas, kadar, atau kualitas kepribadiannya. Maka, kalau diibaratkan perbedaan seorang petinju kelas terbang dengan kelas berat, yang membedakan adalah dari segi banyaknya latihan, pengulangan dan pengalaman. Begitu juga dengan kepribadian Islam, juga butuh latihan yang diulang dan teruji.

Pertanyaan berikutnya, kalau memang sosok yang berkepribadian Islam itu ada, lalu di mana mencari dan menemukannya. Ibarat barang berkualitas maka mencarinya bukan di tempat yang sembarangan. Sosok berkepribadian Islam hanya bisa ditemukan di tempat yang disitu berkumpulnya orang-orang yang juga berkepribadian Islam. Bisa di majelis taklim, di kelompok kajian, jamaah atau harakah dakwah dan sejenisnya. Di tempat seperti itulah kita bisa mengetahui mana sosok yang mempunyai kualitas terbaik kepribadian Islamnya.

Dari pengalaman orang-orang yang sudah berjalan selama ini, kita akan bisa mengetahui kepribadian calon pasangan kita lewat ustadz atau ustadzah, murrobi, atau musryif. Berharap dari informasi orang yang shalih atau shalihah kita juga akan bertemu dengan pasangan kita yang shalih atau shalihah.

Jadi sobat kaum jomblo, kalau saat ini kamu sedang bingung menentukan pilihan atau kreteria calon pasangan, maka pilihlah yang sudah pasti. Artinya nggak usah mencari yang tak pasti, nggak usah terlalu gundah mensyaratkan yang begitu wah. 

Jika sudah ada yang pasti, jika sudah ada yang jadi, kenapa kita memilih yang tak pasti? Maksudnya yang pasti dan yang sudah jadi adalah sosok calon yang agamanya baik. Sehingga, misalnya dihadapkan dua orang calon yang satu  agamanya baik, tapi nggak kaya, kurang pinter, sementara calon yang lain wajahnya menawan seperti artis sekalipun, tapi kalau agamanya nggak baik, maka seharusnya pilih yang pasti, yakni pilih yang pertama.


Pantaskan Diri untuk Jodoh Idaman


Menjadi sosok pribadi yang baik agamanya itu butuh proses, dan yang namanya proses harus kita mulai. Sampai kapanpun kita akan merasa belum siap untuk menjadi pribadi yang agamanya baik, jika kita tidak pernah memulainya. Maka mulailah sekarang juga, jangan ditunda untuk menjadi pribadi yang baik agamanya, sehingga kita akan layak dipilih oleh mereka yang berharap mendapatkan pribadi yang baik agamanya pula. 

Maka sejak sekarang, jika kita ingin jadi calon yang terpilih, maka perbuatan, aktivitas, kegiatan kita pun harus yang terpilih. Bukan perbuatan atau aktivitas yang asal-asalan, bukan perbuatan yang tanpa tujuan, apalagi perbuatan yang mengandung pelanggaran terhadap syariat. Seorang yang memantaskan diri untuk menjadi pribadi yang terpilih, tidaklah layak melakukan perbuatan yang tidak ada artinya, yang tidak ada kaitannya dengan masa depan dirinya.

Misalnya seorang lelaki yang memantaskan diri menjadi pribadi yang diidamkan, tentu tidak akan memilih tempat berkumpul seperti tempat karaoke, diskotik dan sebagainya. Buat apa bersuara merdu mendayu, jika baca Al-Qur’an saja masih terbata-bata dan menunda belajarnya, alasannya karena tak ada waktu. Seorang lelaki yang sedang memantaskan diri menjadi jodoh yang didambakan, tentu tidak akan berpikir menghabiskan masa persiapan dirinya dengan melakukan aktivitas seperti nonton bola bareng misalnya, trek-trekan bersama geng motornya dan sebagainya. Buat apa jago di arena balap motor, kalau hak dan kewajiban sebagai suami saja tidak tahu.



Demikian pula, seorang wanita yang sedang dalam masa memantaskan diri untuk menjadi pribadi yang diinginkan oleh pria yang sholih, maka dia akan sangat menjauhkan diri dari aktivitas jejingkrakan di konser musik, tidak menyibukkan diri dari satu salon ke salon yang lain, hanya untuk sekedar perawatan tubuh. 

Tempat dan teman berkumpulnya pun adalah pilihan, bukan tempat dan teman yang sembarangan, bukan tempat yang tidak ada manfaat dan kaitannya dengan masa depannya sebagai seorang istri shalihah. Misalnya, dia tidak akan berkumpul di tempat clubbing, hobinya bukan berburu tas-tas model terkini, shoping JJS ke mal-mal dan sebagainya. Buat apa menyibukkan diri biar dibilang tidak kudet alias kurang update, kalau iman dan takwanya tidak ikut terupdate.

Maka, seorang pria atau wanita yang sedang memantaskan diri menjadi jodoh idaman yang baik agamanya, akan memikirkan perbuatannya sebelum dilakukan, apakah perbuatan itu boleh atau tidak dilakukan. Seseorang yang sedang memantaskan diri, memilih perbuatan yang akan dilakukan apakah ada manfaatnya dan kaitannya dengan masa depannya atau tidak.

Tempat berkumpulnya orang-orang yang memantaskan diri untuk menjadi jodoh yang baik agamanya adalah majelis ilmu, kelompok kajian-kajian Islam. Disitulah dia menimba ilmu tentang masa depannya, tanpa pernah merasa puas. Di tempat seperti itulah, dia menemukan teman yang shalih atau shalihah, berguru dengan orang-orang yang ilmunya bermanfaat bagi masa depannya. Baik masa depannya sebagai pribadi, sebagai calon suami atau istri, maupun masa depan Islam itu sendiri.

Aktivitas yang dilakukan oleh seorang jodoh idaman yang baik agamanya selain berkumpul di tempat yang penuh dengan ilmu, dia juga akan menyibukkan diri dengan aktivitas perbaikan diri. Tidak akan melakukan perbuatan kecuali yang bisa meningkatkan kualitas iman dan kepribadian Islamnya. Bahkan dia akan mensibukkan diri untuk mendakwahkan Islam, karena dia paham bahwa dakwah adalah salah satu aktivitas wajib yang harus diemban oleh seorang muslim.

Begitulah, tempat dan aktivitas pilihan bagi seseorang yang sedang dalam proses memantaskan diri menjadi jodoh idaman, yaitu jodoh yang baik agamanya. Tentu aktivitas itu tidak akan berhenti meskipun dirinya sudah menemukan jodoh idaman. 

Karena hakikatnya, hidup terus bertumbuh dan pada setiap pertumbuhan akan membutuhkan pegangan dan pondasi Islam yang kokoh. Sehingga, jika kita berhenti memantaskan diri, itu artinya kita berhenti untuk bertumbuh. Saat itulah, kita akan digilas oleh hiruk pikuk masalah, sementara kita tidak pernah belajar memantaskan diri menghadapi masalah dengan tetap berpegangan pada Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Sekali lagi, aktivitas memantaskan diri, harus dimulai sekarang juga, tanpa nanti tanpa tapi. Tentu akan sangat menyakitkan bagi siapapun calon pasangan kita, jika kita memulai untuk menjadi pribadi yang baik agamanya, menunggu setelah kita bertemu calon pasangan yang baik agamanya. 

Kita berharap bahwa yang memperbaiki agama kita nantinya adalah pasangan kita. Ini adalah hal yang sangat merugikan bagi pihak pasangan kita nantinya. Maka sebelum semuanya terlambat, menjadilah pribadi yang baik agamanya saat sebelum kita memimpikan calon pasangan yang baik agamanya. Itulah yang lebih seimbang dan adil.

Kalau pun akhirnya kita telah memantaskan diri menjadi pribadi yang baik agamanya, tapi ternyata Allah belum mempertemukan dengan jodoh kita, maka yang salah bukan aktivitas kita yang telah memilih untuk menjadi sosok yang baik, tapi karena memang Allah sedang menguji kesabaran dan ikhtiar kita, untuk terus menjadi sosok yang baik agamanya.

Jika kita memang menikah karena Allah dan meniatkan menikah untuk ibadah, tentu tidak akan merasa berat jika melakukan perubahan menjadi sosok yang baik agamanya. Mari coba kita berkaca terhadap kriteria yang kita ajukan untuk calon kita. Sudahkan kita memantaskan diri untuk hal yang serupa pada diri kita?

Kapan Mulai?

Kapan waktu yang tepat untuk membicarakan pernikahan? Ya, pada saat kita merasakan sudah ada getaran emosi berupa naluri gharizatul nau itu bergejolak. Karena Islam melarang pacaran, maka satu-satunya pintu untuk memasuki pernikahan adalah khitbah.

Mungkin banyak yang bertanya, kapan waktu yang tepat untuk mengkhitbah atau menerima khitbah? Jawaban standarnya adalah saat seseorang laki-laki atau perempuan tersebut sudah siap untuk khitbah. Tapi, dengan catatan, khitbah dimaknai dengan cara yang benar. Dalam memaknai kesiapan masing-masing orang, bisa saja berbeda. Maka,  kapan baiknya laki-laki mengkhitbah wanita dan kapan baiknya seorang wanita menerima khitbah laki-laki?

Kesiapan atau waktu yang tepat untuk mengkhitbah dan menerima khitbah erat kaitannya dengan hukum menikah bagi seseorang. Dalam banyak hadits Rasulullah saw memberi pujian dan anjuran bagi para pemuda untuk menikah (bagi yang mampu). Ini menunjukkan hukum menikah qarinahnya atau petunjuknya adalah sunah.


Terbukti Rasulullah membiarkan ada sahabat yang tidak menikah. Qarinahnya ghairu jazm. Adanya pujian atas menikah itu qarinah atau indikasi menunjukkan pelaksanannya lebih dianjurkan dan lebih diutamakan daripada tidak. Namun dalam kondisi tertentu, bisa membuat hukum menikah bagi dirinya berubah, dari sunnah menjadi hukum lain. 

Bagi yang tidak mampu, diperintahkan berpuasa. Dalam kondisi dia yang tidak mampu, jika tetap nekad maka bisa menyebabkan dia jatuh dalam kezhaliman atau haram. Sebaliknya, bagi yang sudah mampu dan ada bekal untuk menikah, jika tidak segera menikah nanti bisa jatuh pada keharaman, maka pada seseorang yang kondisinya seperti ini wajib untuk segera menikah. Bagi yang mampu dan punya bekal untuk menikah tapi tidak khawatir jatuh pada keharaman, maka hukum nikah baginya tetap sunnah.

Dengan mengetahui hukum menikah bagi masing-masing orang, maka akan bisa diketahui kapan saat yang tepat untuk mengkhitbah dan menerima khitbah. Bagi laki-laki yang mampu maka saat itulah  yang tepat untuk mengkhitbah, dan saat itulah saat seseorang dikatakan siap mengkhitbah.

Makna mampu para ulama ada dua pendapat. Pendapat pertama mampu menafkahi secara batin. Dan pendapat kedua mampu menafkahi secara materi mulai dari mahar dan nafkah kehidupan sehari-hari. Jika sudah mampu keduanya, maka hendaknya menikah jika belum maka berpuasalah dan berusaha untuk mampu.

Sebagian orang beranggapan bahwa kesiapan diukur dengan materi. Orang yang beranggapan itu hanya akan menikah jika sudah merasa cukup materi. Menganggap cukup materi sebelum menikah memang baik, tapi hanya kurang tepat penempatannya. Dan materi bukan satu-satunya pertimbangan menikah.

Amir bin Rabiah menuturkan bahwa salah seorang wanita dari Bani Farazah telah dinikahi dengan mahar sepasang alas kaki. Rasul saw berkata kepada wanita itu:

“Apakah engkau ridha dengan dirimu dan hartamu dengan sepasang alas kaki? Wanita itu menjawab: ya” Maka Rasulullah saw membolehkan sahabat tersebut untuk menikahi wanita itu dengan mahar sepasang alas kaki”. (HR.Ahmad, Ibn Majah, Tirmidzi)

Rasulullah saw juga menikahkan putrinya Fatimah dengan Ali bin Abi Thalib bermahar sepotong baju besi. Ibn Abbas menuturkan bahwa nabi tidak membolehkan Ali berkumpul dengan Fatimah hingga Ali memberikan sesuatu sebagai mahar kepada Fatimah. Lalu Ali berkata: “Aku tidak punya apapun.” Nabi bersabda: “di mana baju besimu yang engkau peroleh dari ghanimah itu?” Lalu Ali memberikan baju besinya kepada Fatimah sebagai mahar. (HR Abu Dawud, an-nasa’I, al-Hakim)

Dari hadis-hadis di atas, kecukupan materi bukanlah prasyarat seseorang layak menikah. Istilahnya “tidak harus punya pekerjaan tetap, tapi tetaplah bekerja.” Kesiapan utama yang harus dimiliki untuk mengkhitbah adalah kesiapan mental dan ruhiyah. Siap menjalani kehidupan rumah tangga dengan segala konsekuensinya.

Bisakah kita mengenali kesiapan seseorang dari zhahir-nya? Kita hanya mengetahuinya dari yang tampak atau zhahir. Sementara kesiapan mental sifatnya non zhahir. Bagi laki-laki yang dari sisi nafkah, dia siap berupaya mencari nafkah beserta konsekuensi masalahnya, maka ini bisa dijadikan indikasi siap nikah. Dan orang yang memiliki sikap seperti itu hanya orang yang memiliki kematangan berpikir dan keimanan terhadap rezeki secara benar.

Selanjutnya, jika sudah siap menikah maka tinggal mendorongnya untuk menikah. Harus ingat  bahwa siap bukan sekedar ingin menikah, tapi keinginan kuat alias ‘azam. Faktor ‘azam inilah yang bisa dijadikan indikasi seseorang benar-benar siap nikah. ‘Azam adalah kesungguhan, jadi bukan hanya sekedar pengen.

Demikian pula pihak perempuan juga harus punya ‘azam untuk menikah, bukan sekedar dicoba. “Ya udah dicoba aja” itu ungkapan ketidaksiapan. ‘Azam adalah keinginan kuat tanpa keraguan. Jika seseorang sudah punya ‘azam untuk menikah, barulah melakukan dan menerima khitbah. Maka, akan jadi masalah di kemudian hari jika hendak nikah hanya sekedar pengen, bukan karena sebuah ‘azam. Pastikan kedua belah pihak punya ‘azam. Seseorang yang khawatir incarannya diambil orang lain lalu dia mengkhitbah tanpa ‘azam, biasanya akan lama mengambil keputusan untuk menikah. 


Cara Mencari Cinta Sejati

Saya meyakini, kalo cinta sejati itu tak perlu dicari-cari. Ia akan datang sendiri. Barangkali pemahaman saya ini cukup ekstrim ya. Tapi coba tengok dan baca ayat ini:

“Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah, Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung akan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara kamu rasa kasih dan sayang…”

Dalam ayat tersebut, kata-kata “Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri” lebih didahulukan dari kata-kata “supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya. Dan dijadikan-Nya di antara kamu rasa kasih dan sayang…” Apa interprestasi kamu atas ayat tersebut? Maaf saya bukan mufasir. Jadi, mari kita tengok tafsir Ibnu Katsir.

Maka di antara rahmat-Nya adalah Dia menjadikan kamu semua, laki-laki dan perempuan, dari jenis yang satu sehingga timbul kasih sayang, cinta dan senang. Karena itu, Dia berfirman, “ Dan dijadikan-Nya di antara kamu rasa kasih dan sayang” agar sarana-sarana keterikatan tetap terpelihara dan proses keturunan pun berkesinambungan.

Dari sini sudah jelas kan? Kalo rasa cinta, sayang dan senang itu muncul sebagai akibat perjodohan yang ditentukan oleh Allah. Cinta itu ditimbulkan pada sepasang insan yang dipertemukan atas kuasa Allah sebagai sebuah sarana agar keterikatan tetap terjaga, sehingga tujuan utama perjodohan tersebut, yakni perkembangbiakan bisa terjalin elegan.

Manusia buakan binatang, dimana proses perjodohannya hanya didasarkan pada nafsu liar semata. Cinta kasih yang menyelimuti, membuat proses bersama  menjadi sebuah seni yang sakral.


Karena cinta sejati itu adalah hadiah Allah, maka tak perlu kita mencarinya. Biarlah ia datang sendiri sebagi proses yang alami. Kalo seseorang telah menambatkan  pada seseorang, sedangkan seseorang tersebut sebenarnya bukan jodoh dia, maka masalah akan jadi rumit.

Misal ketika kita menikah dengan pasangan kita. Dari awal pernikahan hingga beberapa bulan belum ada rasa cinta. Mungkin kita menikah tanpa cinta, tapi semangat membangun rumah tangga yang tertanam dalam dua insan untuk melakukan pendekatan akhirnya bisa saling mencintai. Banyak kisah yang seperti itu, menikah berbekal karena ibadah dan dakwah dan akhirnya bisa saling mencintai. Itulah anugerah indah yang diberikan oleh Allah untuk pasangan yang menikah karena-Nya.

Posting Komentar