Oleh : Widhy Lutfiah Marha
“Kalian semua adalah pemimpin. Dan kalian semua akan dimintai pertanggung-jawaban atas apa yang dipimpinnya. Seorang suami adalah pemimpin di rumah tangganya, dan dia bertanggungjawab atas apa yang dipimpinnnya. Seorang wanita (ibu) adalah pemimpin di rumah suaminya dan anak-anaknya, dan dia bertanggungjawab atas apa yang dipimpinnya.” (Muttafaq ‘Alaih)
Hadits ini mengatur peran ayah dan ibu dalam keluarga. Ayah sebagai pemimpin keluarga dan ibu sebagai pengatur (manager) rumah tangga. Ibu juga memiliki peran yang penting dan strategis dalam pendidikan anak di rumah.
Pada anak-anak usia dini, ibu memegang peran dan tanggungjawab yang terpenting. Pada usia ini, keterikatan anak dengan ibu terjalin kuat. Bahkan secara khusus Al-Qur’an menyebut adanya bakti kepada ibu, lebih daripada ayah. Inilah pesan Islam yang terdalam menegenai keutamaan dan kemuliaan peran ibu pada anak-anak usia dini.
“Dan kami perintahkan kepada manusia berbuat baik kepada kedua ibu-bapaknya, ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.” (QS. Luqman [31]: 14)
Ya, ibu telah mengandung janinnya selama sembilan bulan. Hari demi hari ia semakin merasakan beratnya kandungan, dan ditambah rasa sakit saat melahirkan sang bayi. Dalam keadaan lelah, sakit, lemah dan sulit hingga akhirnya lahirlah bayi, ibu pun berdoa kepada Allah agar anak yang dilahirkannya menjadi anak yang sehat, saleh dan bisa menghadirkan kebahagiaan-kebahagiaan dalam kehidupannya.
Kemudian selama dua tahun, ibu memberikan ASI sebagai makanan terbaik bagi bayinya. Ibu menyusuinya dan mendekap erat sang bayi dalam pelukan. Sungguh saat inilah saat ternyaman bagi sang bayi. Kedekatan-kedekatan inilah yang menumbuhkan hubungan emosional yang kuat antara ibu dengan anaknya.
Abu hurairah ra meriwayatkan bahwa seseorang datang kepada Rasulullah saw dan berkata, “Wahai Rasulullah, siapa orang yang paling berhak saya perlakukan dengan baik?” Rasulullah bersabda, “ibumu.” Dia bertanya, setelah itu siapa? Rasulullah menjawab, “ibumu.” Dia bertanya lagi, “setelah itu siapa? Rasulullah menjawab, “bapakmu.” (HR. Bukhari Muslim)
Penghormatan Islam yang tertinggi kepada peran ibu, antara lain tergambar dalam sabda Nabi saw.
Dari mu’awiyah bin Jaahimah mudah-mudahan Allah meridhai mereka berdua, bahwasanya Jaahimah datang kepada Rasulullah saw kemudian berkata: “Wahai Rasulullah, saya ingin berangkat untuk berperang, dan saya datang ke sini untuk minta nasehat pada anda.” Maka Rasulullah ke sini untuk minta nasehat pada anda.” Maka rasulullah saw bersabda: “Apakah kamu masih memiliki ibu? Berkata dia: ya. Bersabda Rasulullah saw: tetaplah dengannya!
“Karena sesungguhnya surga itu di bawah telapak kakinya.” (HR. Ahmad dan al-Nasa’i)
Kemuliaan ini terletak pada peran wanita sebagai ibu. Namun, ternyata tidak semua wanita menjalankan peran peran keibuannya dengan baik. Bisa jadi anak yang lahir dari rahimnya adalah hasil perzinahan. Bisa jadi pula tidak ingin merasakan sakit ketika melahirkan, hanya karena enggan merasakan penderitaan. Bisa jadi pula ia tidak merasa perlu menyusui bayinya, hanya karena bisa menghambat karir atau khawatir merusak bentuk tubuhnya. Merawat dan mengasuh bayinya pun tidak dianggap penting, karena toh bisa diserahkan kepada baby sitter. Bila demikian, maka ia telah mengabaikan peran keibuan yang menjadi hak anaknya. Lalu bagaimana bisa dikatakan bahwa surga ada pada telapak kakinya?
Inilah pentingnya mengembalikan kesadaran para muslimah terhadap keutamaan dan kemuliaan peran ibu. Melalui tangannya, akan lahir mutiara-mutiara umat Islam yang akan mengembalikan agama ini pada tingkat kecemerlangannya yang gemilang.
Surga Bagi Sang Ibu
Bila seorang muslimah menyadari betapa tinggi nilai dan kemuliaan peran ibu, niscaya ia tidak akan menukarnya dengan dengan aktivitas-aktivitas yang hukumnya mubah (boleh dilaksanakan boleh juga tidak). Sekiranya ia terpaksa harus bekerja untuk membantu mencukupi nafkah keluarganya, maka ia akan mencari cara pelaksanaan aktivitas tersebut tanpa mengurangi keoptimalan peran keibuannya. Ia akan menjadi orang yang ingin melalui tahap demi tahap pertumbuhan anaknya di usia dini, sejak merawat kandungan, melahirkan, menyusui, mengasuh dan mendidik anak-anaknya. Karena ia tahu bahwa pahala aktivitas-aktivitas tersebut setara dengan pahala pejuang fii sabilillah di garis depan medan pertempuran. Sementara ganjaran syahid adalah surga. Siapa yang tak ingin?
Mengenai hal ini Rasulullah saw bersabda:
“Wanita yang sedang hamil dan menyusui sampai habis masa menyusuinya seperti pejuang di garis depan fisabilillah. Dan jika ia meninggal diantara waktu tersebut, maka sesungguhnya baginya adalah pahala mati syahid. (HR. Thabrani)
Sungguh motivasi meraih kemuliaan inilah yang mendorong para ibu untuk mencurahkan kesungguhannya dalam menjalani perannya. Itulah sebabnya, tidak ada yang dapat menggantikan nilai strategis peran ibu dalam pendidikan anak usia dini. Ibu adalah pendidik anak yang pertama dan utama. Ibu adalah figur terdekat bagi anak. Dari perilaku ibu, anak menerima keteladanan yang pertama. Kasih sayang seorang ibu menjadi jaminan awal bagi tumbuh kembang anak secara baik dan aman. Para ahli berpendapat bahwa kedekatan fisik dan emosional merupakan aspek penting keberhasilan pendidikan.
Pendidikan usia dini dalam keluarga sangat berpengaruh pada pembentukan karakter seseorang. Kita tentunya mendambakan lahirnya generasi-generasi unggulan berkualitas pemimpin. Sudah saatnya harapan ini ditanamkan pada anak sejak usia dini. Ibulah harapan utama dalam mencetak generasi dambaan ini.
Posting Komentar