Oleh. Alfi Ummu Arifah
Terdiam dalam senyap kudengarkan kajian menggugah malam ini. Meskipun telat masuk zoom, karena ada agenda wilayah. Sempat bingung tak bisa masuk. Alhamdulillah bisa juga .
Acara ini kutunggu. Doa kulantunkan hingga bisa masuk dan pembahasan sudah ke menjadi ibu bahagia yang hatinya sehat (Qolbun Salim).
Serasa diguyur dengan cinta dan ketenangan jiwa. Banyak cinta yang kudapat malam ini. Intinya ustadzah Yanti Tanjung ini ingin mengajak kita para ibu untuk menjadi ibu hebat yang berbahagia.
Untuk itu perlu kita ketahui wahai para ibu generasi, bahwa bahagia itu tidak sederhana. Bahagia itu harus diperjuangkan dengan gigih dan sungguh-sungguh. Sebab ibu bahagia itu adalah ibu yang hatinya selamat. Hatinya tidak sakit. Ya, sakit di sini apakah maksudnya?
Hati yang sakit itu adalah hati yang dikuasai oleh "nafsu ammarah". Nafsu yang condong pada hal-hal buruk menurut syariat. Naudzubillah min dzaalik dari hal ini. Ini level paling buruk yang dimiliki seorang ibu yang menderita.
Bisa jadi hartanya banyak, anaknya ada, semua kecukupan hidup ada tapi jiwanya tidak bahagia. Dia tidak menemukan ketenangan. Cenderung menzalimi orang lain. Tidak suka atas kebahagiaan dan kemudahan pada orang lain. Susah mengendalikan emosi, jantungnya selalu berdegup kencang saat bahagia menyapa orang lain.
Hati yang sakit itu juga hati yang berisikan nafsu lawwamah. Nafsu ini cenderung emosional, sensitif untuk marah, membuat sesak dadanya dan tidak pernah tenang.
Menurut ustadzah jika manusia sudah dikuasai dua nafsu ini, dipastikan dia bukan ibu yang bahagia, meskipun dirinya terkategori ibu yang hebat, produktif, punya segalanya.
Tetapi hatinya gelisah, baper dan tak senang melihat orang lain yang sedang diberikan kemudahan. Hatinya ingin menuntut balas, dendam kesumat menguasai hingga jatuh pada gosaan syaithan.
Mintalah pada Allah agar kita para ibu yang bahagia itu terbebas dari dua jenis nafsu itu. Karena hati yang salim itu adalah hati dengan nafsu yang muthmainnah. Hatinya tenang diridhoi Allah setelah dirinya ridho pada ketentuan Allah.
Apapun yang terjadi padanya dia ridho seridho-ridhonya. Tak pernah hilang kesabarannya akan ujian darinya. Sulit,sempit hidup,ujian dari anak, dari suami semuanya dia terima dengan lapang dada.
Ini membutuhkan ilmu sabar,ilmu syukur, ilmu zikir, ilmu fikir tang dihasilkan dari syakhshiyyah islam yang tinggi. Kesabarannya menerima ujian adalah kesabaran yang bagus. Dirinya bisa " mempercantik kesabarannya" sedemikian rupa. Dirinya pintar memanajemen kesabaran untuk mendapatkan syurga.
Sambil menangis kuberkaca pada diriku apakah aku bisa seperti itu? Harus bisa kataku. Kuinginkan saat malaikat mengatakan salaamun Alaikum bimaa shobartum.
Andai diri ini tak cukup bekal untuk mendapatkan syurga, kuinginkan kesabaran lah untuk menukarnya. Sebab memang ada syurga yang dihadiahkan Allah pada kita karena kesabaran kita menempuh hidup, menghadapi ujian, melalui jalan mencari ilmu, mendidik anak, melayani kebutuhan anak dan suami.
Hal yang aku rasakan nano-nano. Namun banyak sedihnya. Rasanya diri ini baru menerapkan secuil saja dari yang dikaji. Untuk bisa memiliki qolbun yang salim sungguh besar upaya yang mesti aku lakukan.
Nah bagaimana menjadikan bahagia kira itu terwujud dalam hati yang salim? Kita punya panduannya. Berkacalah pada Rasulullah, sahabat dan shohabiyah. Ustadzah mencontohkan beberapa orang. Semuanya menamparku.
Sambil menangis kutuliskan semua yang dikatakan ustadzah Yanti di bukuku. Kata beliau. Lihatlah hati bahagianya khodijah Ra. Beliau bahagia saat menghabiskan hartanya untuk dakwah, tak tertinggal hartanya sedikitpun.
Jiwa yang tenang itu bahagia saat bertemu Allah. Lalu, bahagianya Asma binti Abu Bakar yang dalam keadaan malam hari berjuang dalam keadaan hamil ditemani tapak kaki domba penghapus jejaknya. Beliau tak takut akan kematian, bahaya yang mengintai.
Bayangkan malam hari, seorang perempuan hamil berjalan sejauh itu mengantarkan makanan untuk Rasul dan ayahnya. Pukulan Abu jahal diterimanya dengan hati bahagia. Tak keluar sepatah kata pun untuk membongkar keberadaan nabi. Rasa sakit tak terasa karena qolbunnya berbahagia. Ya, bahagia jika Allah dan rasulnya ridho padanya.
Kita? Bagaimana kita? Masih takut mati?masih sedih karena Ujian dan kemiskinan?Apa kabar hati kita?
Mengapa sulit sekali bisa seperti mereka?
Hatiku bergolak kala itu. Mataku basah.Untung sinyal buruk. Jadi kameraku off. Aku menangis. Kupandangi wajah beberapa peserta zoom. Kulihat cekgu Hasni Tagili pun menangis, beberapa kali menyeka air matanya. Peserta lain juga menangis. Sedih sekali ðŸ˜. Mengukur diri ini belum seperti itu. Siapalah aku?
Tapi sudahlah, kajian terus ku ikuti. Penaku tetap menari.Tak kubiarkan untaian kata demi kata dari ustadzah bersahaja ini kulewatkan.Syukurku rasanya tak terbayar dengan barang apapun.
Jadi kata beliau ibu bahagia itu adalah pertama, ibu yang visioner. Ibu tang punya visi jauh kedepan. Ke akhirat nun jauh di sana. Menembus batas dunia ini. Negeri yang syurga nya hanya bisa didapatkan dengan ridho Allah.
Lalu kata beliau, cita- cita ibu yang berbahagia yang tertinggi itu adalah menjadi syuhada dan mencetak generasi syuhada.Itulah cita-cita tertinggi. Menjadi pejuang dan ibu pejuang. Dengan cara itu kita para ibu bisa menuju syurga tanpa hisab. Jalan tol bukan?
Dalam hal ini ibu memiliki dua peluang. Dua medan juangnya.Untuk memperoleh gelar syuhada. Pertama di medan jihad saat wafat menerangi musuh. Kedua di medan dakwah saat wafat saat melakukan amar makruf nahi munkar di hadapan penguasa yang zalim lalu wafat.
Ya, jadikan aku ya Allah menjadi syuhada yang mendapat jalan pintaa masuk syurga tanpa hisab. Juga menjadi ibu anak-anak tangguh pejuang yang merupakan calon syuhada.
Namun tersebut di sudut hatiku yang terdalam, betapa sulit nya menjadi ibu yang bahagia. Bisakah aku? Berlinang lagi air mataku.
Kedua, ibu bahagia itu adalah ibu yang memiliki syakhshiyyah islam yang tinggi. Bukan seadanya.
Kita harus membuat pola itu pada anak kita. Ya,kerja kita cuma itu. Tidak mudah. Pola yang benar ya sesuai akidah islam.
Ketiga, merupakan ibu yang cerdas (kayyis). Dia ingat kematian dan ingat menyiapkan bekal kematian yang cukup yaitu amal.
Keempat, dia ibu ideologis. Dia dipimpin oleh ideologi saat bersikap dan menyelesaikan masalahnya. Masalah Anaknya dan para muslimah di sekitarnya.
Kelima, dia faqih fiddin. Banyak mengkaji ilmu. Tentu untuk diamalkan.
Keenam dia menjadi leader setelah memiliki ilmu.
Ketujuh, dia menjadi pejuang dakwah (pengemban dakwah).
Masuk sesi tanya jawab. Ada lima pertanyaan keren. Jawaban ustadzah lebih keren lagi. Esok diriku buat poringan berikutnya ya. Mata ini sudah meminta haknya.
Jazaakunnallah khayran kepada tim WCWH atas forumnya. Forum paling menampar hatiku. Hatiku yang belum berbahagia seutuhnya. Sedang terseok-seok berjalan tertatih menujunya.
Ya Allah mudahkan langkahku menuju ke sana. Ku ingin menjadi ibu hebat yang berbahagia seutuhnya. Agar memiliki qolbun yang salim dan menggapai ridhoNya dengan mudah. Aamiin.
Acara ditutup mba Aisyah Ummu Muti'ah Aisyah dan doa khusyuk oleh Mba Dwi. Baarokallah fiikunna t WCWH.
Medan, sudah larut pukul 22.50
22 Desember 2021
Posting Komentar