Terpujilah, wahai engkau Ibu Bapak guru
Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku
Semua baktimu akan kuukir di dalam hatiku
Sbagai prasasti trima kasihku tuk pengabdianmu
Engkau sebagai pelita dalam kegelapan
Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan
Engkau patriot pahlawan bangsa, tanpa tanda jasa
Sobat, bener banget seperti kata lagu di atas, beliau dikenal dengan julukan “pahlawan tanpa tanda jasa." Itu terjadi karena pengorbanan beliau para guru itu emang nggak pernah mengharapkan tanda penghargaan walaupun jasa mereka itu besar buat kita. What? Kalian nggak nyadar kalau guru kita berjasa banget? Yuk kita coba buka mata dan hati kita!
Bapak dan Ibu guru kita ini, adalah sosok yang berjasa besar dalam mencerdaskan anak negeri ini. Karena jasa guru, kita jadi cerdas pikiran dan juga cerdas di hati. Pemimpin-pemimpin negeri, para tokoh negeri, pelaksana pembangunan di negeri ini, juga ibu dan bapak kita sobat, adalah orang-orang yang pastinya pernah mendapat sentuhan dari guru. So, nggak heran kan, kalau profesi guru dianggap sebagai salah satu profesi mulia.
Masalahnya sobat, nggak jarang ada diantara kita yang nggak menyadari jasa guru kita saat ini. Bahkan ada juga pelajar yang malah memendam rasa nggak suka, kesal, bahkan benci terhadap beliau-beliau ini. Menganggap para guru itu galak lah, cerewet lah, suka ngasih tugas banyak lah, demen ngehukum lah, killer lah, de-el-el. Kok bisa begitu ya? Bisa ajaa, bisa jadi,diantara teman pelajar kita punya anggapan negatif sama para guru, karena jasa guru bisa jadi belum dirasakan olehnya pada saat masih menuntut ilmu di bangku sekolah. Jasa guru bisa jadi baru bakal dirasakan di kemudian hari.
Padahal, jika kita sebagai muridnya menyadari peran besar guru kita dalam menghantarkan kesuksesan di kehidupan kita di kemudian hari, niscaya bakalan jarang banget siswa yang membandel pada guru dan nggak akan ada siswa yang malas dan bolos belajar. Sebaliknya, kita bakalan hormat dan patuh pada guru, menghargai guru di sekolah, senang belajar dengan giat dan tekun sehingga dapat meraih prestasi belajar yang memuaskan, menggapai cita-cita dan menjadi orang yang berguna bagi orang tua, tanah air serta agama.
Well sobat, besarnya peran guru tampaknya emang belum disadari penuh oleh kita atau masyarakat kita. Selain itu, besarnya jasa guru pun belum sepadan dengan penghargaan terhadap mereka. Pemerintah mengakui pentingnya peran guru dalam membentuk sumber daya manusia yang berkualitas. Pemerintah juga sudah berupaya meningkatkan taraf kehidupan para guru dengan menaikkan gaji guru dengan adanya sertifikasi dan bonus.
Hanya saja para guru harus menempuh jalan panjang menuju sertifikasi dan pencairan dananya. Sampai ada yang menggambarkan kebijakan pemerintah ini kebijakan setengah hati, “Ingin memberi tapi enggan." Beda lagi ceritanya kalo guru kita masih berstatus guru honorer. Pada bulan ini aja,ada sekitar 5000 orang guru honorer di Kabupaten Tangerang belum nerima insentif selama 5 bulan. Padahal mereka juga harus memenuhi kebutuhan hidup mereka di tengah pandemi ini.
Ada lagi fakta miris yang dihadapi para guru zaman now: ancaman dipidanakan. Belakangan ini ada guru yang dipidanakan gara-gara mencubit siswanya. Siswa itu dicubit, karena pada saat kegiatan shalat berjamaah, dia malah nongkrong di tepi sungai.Orangtuanya melapor ke polisi atas dugaan penganiayaan.Walaupun mendidik pelajar selayaknya dilakukan tanpa kekerasan, namun niat guru mendisiplinkan murid saat ini malah menjadikan sang guru sebagai pihak yang dituduh menganiaya.
Dengan gambaran di atas, bisa kita simpulkan kalau profesi guru itu sedang mengalami “krisis apresiasi”. Di satu sisi beliau disebut sebagai pahlawan, tapi di sisi lain, penghargaan terhadap beliau belum seperti yang diharapkan. Kok bisa ya? Bisa aja sobat.
Ada banyak banget faktor yang membuat penghargaan terhadap para guru kita jadi menyedihkan. Pertama, tidak sinkronnya tujuan sistem pendidikan negeri ini dengan fakta pembelajaran di kelas. Kalo kita membaca Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3, disana diterangkan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, ya ini keren.
Nah, untuk menciptakan manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia itu, nggak mungkin banget dilakukan jika pelajaran agama di sekolah hanya mendapat sekitar 2 jam-an dalam 1 minggu saja. Apalagi nilai-nilai agama kini dipisahkan dalam bidang-bidang ilmu yang dipelajari. Akibatnya antara tujuan sistem pendidikan nasional dengan output yang dihasilkan dari dunia pendidikan itu sendiri jadi jauh panggang dari api. Bisa jadi berhasil mencetak anak didik yang pinter secara ilmu, tapi rusak secara karakter. Itulah akibat dari metode pengajaran yang hanya membuat siswa menerima pelajaran dan ilmu pengetahuan, tapi tidak mendapatkan pembentukan pola pikir dan pola sikap yang Islami.
Hal kedua yang membuat perilaku sebagian teman kita rada gimana gitu kepada gurunya adalah adanya serangan pemikiran Barat dan kemudahan akses pemikiran barat di kalangan pelajar. Dengan dalih hak asasi manusia a.k. HAM, jadilah para pelajar bertindak bebas: bebas beragama atau tidak, bebas berpikir, bebas bertingkah laku, dan juga bebas memiliki apapun (walaupun sebenernya dia nggak perlu bahkan berbahaya buat diri seperti narkoba). Serangan pemikiran Barat ini pastinya membuat tugas para guru kita pun jadinya tambah berat. Sudahlah waktu belajar agama minimalis, ditambah diserang pemikiran serba bebas, tambah beratlah mewujudkan tujuan pendidikan nasional seperti di undang-undang di atas.
Mungkin diantara kalian ada yang melihat kalau secara fakta emang bener ada penurunan kualitas para guru kita. Well sobat, kalaupun hal ini terjadi, kita nggak bisa serta merta langsung menyalahkan para guru kita. Masalahnya, kehidupan di dalam sistem kapitalis-sekuleris saat ini, yang menjadikan materi di atas segalanya dan memisahkan peran agama dalam kehidupan, emang kondusif banget membuat idealisme seorang guru sedikit demi sedikit mulai tergerus.
Ketika kebutuhan hidup makin meningkat, dan masalah hidup semakin menggunung, ditambah penghargaan dari masyarakat dan pemerintah yang belum memadai, jadilah para guru memutar otak mencari pekerjaan sampingan lain untuk menambah pendapatannya sehingga kurang fokus dalam mengajar. Dan yang tambah bikin sedih, ketika guru nggak optimal mengajar karena tuntutan kebutuhan dan akibat sistem yang rusak, yang disalahin tetap gurunya lagi. Nggak profesional lah, nggak ahli lah, lalai lah de el el. Alhasil, guru kembali diremehkan sama siswa-siswanya. Duuh.. Malang nian nasibmu, pahlawanku.
Posting Komentar