RUU PKS Bukan Solusi Pemberantasan Kekerasan Seksual

RUU PKS Bukan Solusi Pemberantasan Kekerasan Seksual
 

Komnas Perempuan menyambut baik Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) kembali masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2021. Sebab, RUU PKS tersebut sudah diusulkan sejak 2012.

"Komnas Perempuan mengapresiasi DPR RI yang telah menetapkan RUU PKS dalam Prolegnas Prioritas 2021. RUU PKS diusulkan sejak 2012, artinya, pengesahannya sudah 8 tahun ditunda," kata Komisioner Komnas Perempuan, Theresia Iswarini saat dihubungi, Jumat (15/1/2021).

Theresia mengatakan pihaknya bersama sejumlah organisasi terlibat penuh dalam mengadvokasi RUU tersebut. Ia menjelaskan RUU PKS ini merupakan UU yang susun berbasis dari pengalaman, pendampingan korban kekerasan seksual.

Dari data pelaporan yang masuk dalam Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMPONI PPA) Kemen PPPA selama tahun 2020 tercatat 6.554 kasus kekerasan terhadap perempuan dengan korban mencapai 6.620 korban. (kemenpppa.go.id, 15/1/2021).


Dari kasus di atas, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) , Bintang Puspayoga menyatakan pengesahan RUU PKS ini tidak dapat ditunda lagi mengingat kasus kekerasan terhadap perempuan terus meningkat di berbagai daerah.

Namun di sisi lain, tokoh agama seperti MUI, para ulama, ormas, bahkan parpol seperti PKS dengan tegas menolak disahkannya RUU P-KS. Menurut Wakil Ketua Komisi VIII DPR Marwan Dasopang, para anggota DPR menilai definisi yang tercantum dalam bab Ketentuan Umum di RUU P-KS terlalu liberal dan feminis. Bahkan dapat dimanfaatkan pelaku penyimpangan seksual sebagai payung pelindung mereka dari jeratan hukum. (kompas, 15/1/2021).

Tidak bisa dipungkiri, kasus kekerasan perempuan semakin mengkhawatirkan. Hal ini menuntut adanya penyelesaian segera, sebab jika tidak diselesaikan, akan timbul masalah berikutnya. Namun, dalam menyelesaikannya tak boleh gegabah dan sekadar mencari solusi pragmatis.

Kebanyakan lembaga atau tokoh masyarakat saat ini, hanya menjadikan fakta sebagai sumber berpikir bukan objek berpikir akibat pengaruh pola pikir sekuler dan liberal. Mereka berpikir, untuk menyelesaikan masalah yang timbul, ya dengan membuat aturan antimasalahnya.

Berbeda bila menjadikan masalah itu sebagai objek berpikir. Kita akan menelusuri dahulu di mana akar masalahnya, mengapa sampai terjadi. Sehingga, kita dapat menentukan solusi yang benar dalam menghadapi masalah tersebut.


RUU yang lebih kental pada pembelaan dan perjuangan kesetaraan perempuan ini sangat membahayakan. Hanya merancang penyelesaian masalah dari kalangan perempuan. Padahal, kekerasan seksual juga terjadi pada laki-laki. Seperti masalah sodomi yang acap kali terjadi pada anak laki-laki di bawah umur.


Selain itu, dalam draf RUU dicantumkan, akan dinilai kejahatan manakala ada unsur pemaksaan jika seorang suami ingin berbagi dengan istri, tapi istri tak mau dan suami memaksa, sudah masuk dalam delik pidana. Padahal dalam islam, hal ini bisa dipandang bentuk ketidaktaatan istri pada suami.

Poin lainnya, RUU ini tak bisa menjerat perilaku perzinaan di luar nikah yang dilakukan suka sama suka. Sehingga, RUU ini sebenarnya sangat bertentangan dengan sila pertama Pancasila, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Terutama jelas bertentangan dengan Islam.

Meski Komnas Perempuan menyampaikan RUU ini tak bertentangan dengan Islam, bahkan diklaim termasuk memperjuangkan Islam sebagaimana Nabi Muhammad Saw., tetap saja RUU ini terkesan menyerang Islam.

Misal pengaturan Islam mengenai pergaulan laki-laki dan perempuan. Perempuan dipandang tak sebebas laki-laki. Perempuan merasa dikekang karena tak bisa bebas berekspresi. Juga hukum Islam yang diterapkan di Aceh. Hukum terhadap perilaku kekerasan seksual yang sekadar jinayah (cambuk beberapa kali) dinilai melindungi para pelaku.

Ini tentu sangat berbeda dengan Islam,  sistem Islam memberikan solusi bagi kasus kekerasan dan kejahatan seksual, baik untuk penanggulangannya (kuratif) maupun pencegahannya (preventif) dengan tiga mekanisme.

Pertama, menerapkan sistem pergaulan Islam yang mengatur interaksi laki-laki dan perempuan baik dalam ranah sosial maupun privat.

Dasarnya adalah akidah Islam. Sistem Islam akan menutup celah bagi aktivitas yang mengumbar aurat atau sensualitas di tempat umum. Sebab, kejahatan seksual bisa dipicu rangsangan dari luar yang kemudian memengaruhi naluri seksual (gharizah an-nau’).


Islam membatasi interaksi laki-laki dan perempuan kecuali di sektor yang memang membutuhkan interaksi tersebut, seperti pendidikan (sekolah), ekonomi (perdagangan, pasar) dan kesehatan (rumah sakit, klinik, dan lain-lain).

Kedua, Islam memiliki sistem kontrol sosial berupa amar makruf nahi mungkar. Saling menasihati dalam kebaikan dan ketakwaan, juga menyelisihi terhadap segala bentuk kemaksiatan. Tentu semuanya dilakukan dengan cara yang baik.

Ketiga, Islam memiliki sistem sanksi tegas terhadap pelaku kejahatan seksual. Contohnya, sanksi bagi pelaku tindak perkosaan berupa had zina, yaitu dirajam (dilempari batu) hingga mati, jika pelakunya muhshan (sudah menikah); dan dijilid (dicambuk) 100 kali dan diasingkan selama setahun, jika pelakunya ghairu muhshan (belum menikah).

Hukuman tegas ini akan memberikan efek jera (zawajir) kepada si pelaku, sekaligus menjadi penghapus dosa (jawabir) yang telah dilakukannya ketika sampai waktunya di yaumul hisab nanti.

Begitulah Islam dalam menyelesaikan masalah selalu tuntas, karena diselesaikan dari akar masalahnya.  Jadi masalah apapun tidak akan terseles as ikan dengan tuntas jika sistem yang digunakan masih sistem demokrasi kapitalis.  Karena sistem ini terbukti gagal dalam menyeles as ikan setiap masalah yang dialami umat. Tak ada cara lain selain segera mengembalikan sistem Islam tegak di muka bumi ini, agar kemaksiatan,  pelecehan seksual,  tidak merajalela di muka bumi ini. 

Posting Komentar