Pemberdayaan Ekonomi Perempuan (PEP), Tidak Mampu Atasi Masalah Perempuan

 

Pemberdayaan Ekonomi Perempuan (PEP), Tidak Mampu Atasi Masalah Perempuan

International Development Finance Corporation (DFC) menggelontorkan jaminan kredit sebesar US$35 juta untuk memobilisasi investasi US$100 juta guna mengurangi sampah plastik di laut Asia Tenggara.

Investasi di Tridi Oasis yang didirikan dan dimiliki serta dikelola oleh dua pengusaha perempuan, lanjut Adam, juga sejalan dengan 2X Women's Initiative DFC.

Melalui prakarsa ini, DFC bertujuan untuk memobilisasi modal dan memberi insentif kepada sektor swasta untuk mencapai dampak terukur dan berkelanjutan bagi pemberdayaan perempuan secara ekonomi.

Pasalnya, sebuah penelitian menunjukkan bahwa memajukan kesetaraan perempuan di Asia-Pasifik dapat menambah US$4,5 triliun ke PDB kawasan tersebut pada 2025, atau meningkat 12 persen pertumbuhan rata-ratanya. 

Karena saat ini diperparah dengan kondisi pandemi, kemiskinan dan ketimpangan hidup antara kelas atas, menengah dan bawah, didalam dominasi kapitalisme demokrasi global saat ini merupakan masalah klasik di dunia. Hampir seluruh negara diberbagai belahan bumi, mengalami kesenjangan hidup dan kemiskinan. Bahkan Kemiskinan seringkali dijadikan alasan bagi kaum feminis gender untuk meningkatkan partisipasi perempuan di ranah publik. Opini ini terus digiring dalam masalah  perempuan dan kemiskinan, serta rumah tangga  yang seringkali menjadi target serangan kaum gender. Sehingga, rumah tangga dianggap sebagai salah satu sumber diskriminasi dan subordinasi terhadap perempuan.

Sejak akhir November 2019 lalu, Komnas Perempuan mengeluarkan siaran pers tentang “Refleksi 25 Tahun Pelaksanaan Beijing Platform for Action (BPfA+25) di Indonesia: Komitmen Negara dalam Menjawab Tantangan 12 Bidang Kritis Kehidupan Perempuan”. BPfA sendiri adalah kesepakatan dari negara-negara PBB dalam rangka melaksanakan konvensi CEDAW (Convention on Elimination of All Forms Discrimination Against Women) pada tahun 1995 di Beijing.

Dalam konferensi dunia tentang perempuan yang dilaksanakan di Beijing tanggal 4 hingga 15 September 1995 ini, seluruh negara anggota PBB sepakat untuk mengadopsi BPfA menjadi resolusi dan merekomendasikan Majelis Umum dalam sesi kelima untuk mengesahkan BPfA. BPfA menghasilkan 12 bidang kritis dan setiap 5 tahun harus dilaporkan perkembangannya oleh setiap negara. Salah satu bidang kritis tersebut adalah masalah perempuan dan kemiskinan.

Jika dicermati,  dalam BPFA posisi perempuan nampak selalu mendapat sorotan khusus. Bahkan dalam proyek-proyek itu, kaum perempuan menjadi objek yang terus dievaluasi kondisinya dalam potret besar problem kemiskinan dunia. Karena kaum perempuan dipandang sebagai entitas paling rentan terhadap kemiskinan. Perempuan juga diyakini akan berpengaruh terhadap kualitas hidup serta dibutuhkan  partisipasi mereka dalam kegiatan ekonomi dan pembangunan. Itu artinya, secara gamblang telah mengaitkan peran aktif kaum perempuan dalam pengentasan kemiskinan yang ada pada saat ini. Kaum perempuan didorong untuk terlibat total dalam menyelesaikan problem kemiskinan global dengan cara aktif terlibat, khususnya dalam kegiatan ekonomi atau produksi.

Itulah mengapa akhirnya terus dipropagandakan program-program pemberdayaan ekonomi perempuan (PEP). Karena dengan PEP ini diharapkan akan ada separuh masyarakat yang terangkat dari kemiskinan. Bahkan keterlibatan perempuan diharapkan mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi negara dan menghapus problem kemiskinan dunia secara perlahan. Bahkan,  PBB terus mempropagandakannya dan kesetaraan gender secara mutlak adalah prasyarat bagi suksesnya capaian target mengeliminasi 100% kemiskinan global di tahun 2030.

Jika dilihat ide ini sangat berbahaya bagi umat khususnya kaum perempuan, karena kesetaraan gender justru sangat bertentangan dengan Islam. kaum perempuan akan terjebak dan dieksploitasi sebagai penopang tegaknya hegemoni sistem kapitalisme yang hampir runtuh, yakni dengan mendorong mereka menjadi mesin penggerak industri kapitalisme sekaligus menjadi objek pasar mereka, proyek-proyek ini juga akan melunturkan fitrah perempuan sebagai pilar penyangga utama keluarga dan penyangga masyarakat yang justru dibutuhkan untuk membangun peradaban Islam cemerlang. Andaikan seorang perempuan/ibu bekerja full diluar rumah demi menopang ekonomi keluarga dan negara maka akan meruntuhkan struktur bangunan keluarga dan masyarakat hingga tak ada lagi jaminan bagi munculnya generasi terbaik pembangun peradaban. perempuan akan abai dan  kehilangan fokus untuk memberi kontribusi terbaik bagi keluarga dan ummat.

Narasi yang kini terus dibangun di tengah-tengah masyarakat khususnya kaum gender bahwa perempuan terlibat untuk mengentas kemiskinan adalah paradigma yang salah, karena  akibatnya akan menghancurkan fitrah perempuan itu sendiri sebagai ummu  wa rabbatul bayt yang memiliki fungsi politis dan strategis sebagai pencetak generasi cemerlang. Dengan merebaknya kemiskinan hari ini harus kita sadari bukan karena perempuan tidak ikut andil dalam membangun  perekonomian tapi akibat cengkeraman sistem ekonomi kapitalisme global yang terbukti rusak dan membawa kerusakan sekaligus mengokohkan penjajahan di dunia Islam. Maka apa yang mereka opinikan ini hanyalah tipuan dan kebohongan. karena kemiskinan bisa tuntas bilamana dunia mau mengganti sistem yang salah dengan menerapkan sistem Islam sehingga mampu melepaskan jeratan perempuan dari belenggu kemiskinan, penindasan, dan kriminalitas yang terus mencengkram saat ini.

Karena,  cara pandang kapitalisme  tentu jauh berbeda dengan cara pandang Islam. Untuk bisa mewujudkan jaminan pemenuhan kebutuhan primer kaum perempuan, Islam telah menetapkan jalur-jalurnya.

Ini berlandaskan pada hukum syariat yang telah diturunkan oleh Allah SWT, di antaranya dalam ayat-ayat berikut ini:

ÙˆَØ£ْÙ…ُرْ Ø£َÙ‡ْÙ„َÙƒَ بِالصَّÙ„َاةِ ÙˆَاصْØ·َبِرْ عَÙ„َÙŠْÙ‡َا Ù„َا Ù†َسْØ£َÙ„ُÙƒَ رِزْÙ‚ًا Ù†َّØ­ْÙ†ُ Ù†َرْزُÙ‚ُÙƒَ ÙˆَالْعَاقِبَØ©ُ Ù„ِلتَّÙ‚ْÙˆَÙ‰ٰ

“Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan salat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kamilah yang memberi rezeki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa.” (TQS Thaha [20]: 132).

Di samping itu, Islam sebagai ideologi yang diemban oleh Negara Khilafah Islam, akan memberikan mekanisme tertentu sehingga jalur pemenuhan nafkah kaum perempuan dapat terjamin sempurna. Yakni agar perempuan tetap terjaga pada posisinya selaku tulang rusuk, bukan tulang punggung keluarga.

Mekanisme tersebut, pertama, mewajibkan laki-laki memberi nafkah kepada diri dan keluarganya. Seorang perempuan ketika belum menikah terjamin nafkahnya melalui ayahnya. Setelah menikah, maka nafkah itu dijamin oleh suaminya. Dalam kondisi yang lain, nafkah seorang perempuan bisa dijamin oleh saudara laki-lakinya, atau anak laki-lakinya.

Kedua, jika seorang perempuan tidak memiliki empat jalur sebagaimana poin pertama di atas, maka nafkahnya dijamin oleh kerabat terdekat yang memiliki hubungan darah dengannya. Ini dengan catatan, kerabat dekatnya ini memiliki kelebihan harta. Karena, orang yang disebut mampu oleh hukum syariat adalah orang yang memiliki harta lebih dari kebutuhan-kebutuhan primer dan kebutuhan pelengkap.

Ketiga, jika seorang perempuan tidak memiliki pihak-pihak yang menanggung nafkahnya sebagaimana poin pertama dan kedua, maka kewajiban memberi nafkah itu beralih kepada negara, melalui Baitul Maal.

Begitulah lengkapnya Islam dalam mengatur jalur nafkah kaum perempuan. Aturan ini telah berlaku sejak 14 abad yang lalu. Namun oleh sistem kehidupan sekuler, jalur nafkah ini tidak difungsikan sebagaimana mestinya.

Ketika ada perempuan tak bekerja, sistem sekuler menganggapnya beban ekonomi. Kapitalisme-sekuler secara arogan terus-menerus memaksa mereka untuk berpartisipasi penuh (full participation of age) dalam roda ekonomi.

Tak jarang perempuan harus menjadi tumbal bagi mesin ekonomi kapitalistik demi tetap tegaknya peradaban sekuler itu sendiri. Hingga mereka harus rela diperlakukan tak sesuai fitrah keperempuanannya semata-mata demi penghargaan beralas rupiah. Inilah ekses dari kebobrokan point of view (sudut pandang) peradaban kufur. 

Karena itu, kini saatnya merekonstruksi tegaknya sistem Khilafah. Belasan abad Khilafah terbukti memuliakan kaum perempuan dengan menempatkan mereka sesuai fitrah dan tata aturan syariat yang telah ditetapkan oleh Allah SWT.

Perannya sebagai ummun wa robbatul bayt dan ummu al-ajyal justru dioptimalkan sepenuhnya, demi upaya revitalisasi generasi cemerlang pengisi peradaban secara simultan. Tanpa mereka harus pusing dengan masalah ekonomi dan kesulitan keuangan. Hak-hak mereka telah dijamin negara karena perannya yang mulia sebagai  pencetak generasi cemerlang. 

Posting Komentar