Daring Ataupun Luring Bikin Pusing!

 

Daring Ataupun Luring Bikin Pusing!


Daring alias dalam jaringan alias online saat ini sedang jadi tren ketika disandingkan dengan kata “belajar”. Ya, di masa pandemi ini belajar online jadi pilihan. KBM Online udah diterapkan juga di banyak sekolah. Di satu sisi memudahkan, tetapi di sisi lain menyusahkan bagi banyak kalangan. Selain tidak semua orang memiliki fasilitas macam ponsel cerdas, juga tak sedikit yang gaptek alias bingung pakenya. Belum lagi kalo ngomongin biayanya. Paling sering adalah biaya untuk akses internet. Tak semua pula siap merogoh kocek dalam-dalam, karena memang kagak ada duitnya meski saku dirogoh berkali-kali sampai dalam banget.

Dulu, sebelum pandemi Covid19, belajar secara luring alias luar jaringan alias offline alias tatap muka langsung, juga tak bisa dinikmati semua orang. Masih ada kendala, soal biaya. Jadi bagi yang memang terbatas secara kekuatan finansial, bayar sekolah sudah tak mampu. Di sekolah negeri yang bebas biaya pun, masih ada juga yang tak mampu karena hidup bukan sekadar untuk sekolah.

Ada lho saudara kita yang harus berbagi waktu antara belajar dan bekerja, padahal masih usia belia. Agar kondisi sulit itu bisa teratasi segera, akhirnya terpaksa harus memilih salah satu. Dan, yang paling rasional bagi mereka saat ini, bekerja. Sebenarnya yang disebut bekerja itu, bantu orang tuanya dengan berbagai peluang pekerjaan yang berpotensi bisa menghasilkan uang untuk hajat hidup sehari-hari.

Nah, untuk satu kondisi ini saja, masalah biaya, baik belajar daring maupun belajar luring, bagi sebagian besar saudara kita bikin pusing. Itu sebabnya, belajar jarak dekat dan belajar jarak jauh, sebenarnya jadi tak belajar. Ini tanggung jawab negara agar pendidikan merata bagi seluruh rakyat.

Selain pusing soal biaya, sehingga tak belajar, juga ada persoalan lain. Sistem pendidikan yang ada saat ini, baik luring maupun daring belum menjadikan manusia yang beradab seutuhnya. Ilmu dijejalkan setiap hari, tetapi aplikasinya minim. Baik soal adab, maupun keterampilan. Coba deh kamu lihat dengan seksama. Ada yang udah berhasil masuk ke sekolah unggulan, tetapi nggak belajar serius, akibatnya hanya buang biaya. Keterampilan tak punya, adab tak ada.


Ada juga kondisi dimana anak berhasil masuk sekolah unggulan. Keterampilannya didapat, mahir pula, cerdas secara teori. Namun, dalam adab ia minim sekali, bahkan ada yang kosong melompong. Sombongnya segede gaban, ujubnya bertingkat-tingkat, empatinya minus, kepeduliannya nol besar. Gawat juga, kan kalo model gini?

Bahaya bener. Banyak yang lulusan sekolah unggulan atau perguruan tinggi ternama, tetapi gaya hidupnya bikin muak. Belum lagi kalo bicara soal ajaran Islam. Mereka muslim dan muslimah. Orang tua mereka juga muslim. Namun apa yang terjadi?

Kesempatan untuk belajar dan kecerdasan yang dimiliki untuk meraih ilmu, tak membuat mereka kian taat. Islam sekadar mewarnai sedikit dari sekian episode kehidupannya. Mungkin sekadar tempelan saja. Jelas, ini sangat jauh dari hasil pendidikan yang benar dan baik. Sama saja dengan tak belajar. Sebab, belajar itu mestinya berpikir. Berpikir itu menghasilkan suatu perubahan ke arah kebaikan. Kalo nggak, berarti nggak belajar, dong. Bener apa betul?

Jadi, jika yang gagal itu 3 dari 10 siswa, boleh dikatakan tingkat keberhasilan 70 persen. Udah lumayan sih. Berarti yang tiga itu nggak bisa ngikutin. Namun, gimana kalo angkanya terbalik, yakni 7 gagal, 3 berhasil? Berarti ada kesalahan dalam pembelajaran. Bisa pula kurikulumnya. Bisa pula pengajarnya. Banyak faktor sih, tetapi yang utama adalah sistem pendidikannya. Njomplang antara adab dan ilmu. Ada yang salah dalam penanaman akidah, dan kendornya pengawasan dalam syariat.

Nah, apalagi sekarang bukan pendidikan di era kejayaan Islam. Ini pendidikan di alam kapitalisme-sekularisme. Jauh berbeda dengan Islam. Jika pun ada yang berhasil tetap islami, maka itu adalah anugerah Allah Ta’ala baginya dan keluarganya. Sebagai buah dari ketakwaan individu kepada-Nya. Namun secara negara, negara telah gagal dalam mendidik rakyatnya secara umum. Kan, begitu ya logikanya?

 Masih banyak problem lainnya, dan memang nggak berdiri sendiri. Namun, cukup memberikan gambaran bahwa pendidikan dalam sistem kapitalisme-sekularisme ini melemahkan ghirah keislaman bagi kaum muslimin. Bahkan menjauhkan kedekatan kaum muslimin dengan ajaran Islam. Jadi, luring maupun daring sama-sama bikin pusing, dalam banyak hal, everything.

Posting Komentar