Oleh : Hasan Bakti Nasution
Kata Mujri’ah berasal dari kata kerja “arja’a”, yang berarti menangguhkan, jadi Murji’ah sebagai bentuk isim fa’il (pelaku) adalah orang yang menangguhkan. Dalam sejarah Islam sebutan ini diberikan kepada kelompok yang “menunda keputusan mana yang benar dan salah sampai hari kiamat”.
Lahirnya Murji’ah tidak terlepas dari banyak faktor dan faktor terpentingnya ialah kerasnya pro kontra antar umat Islam dalam merespon berbagai persoalan keagamaan, khususnya bidang teologi. Tidak mau terjebak pada pertentangan yang bisa membuat rusaknya ukhuwah Islamiyah, kelompok inipun menunda saja mana yang benar dan yang tidak benar sampai hari kiamat kelak, ketika Allah akan tampil sebagai pemutus kebenaran.
Jadi, ada suatu kondisi kejiwaan yang terbesit di hati umat Islam ketika itu, yaitu sulitnya menyatukan pandangan yang mengarah pada perpecahan. Inilah Murji’ah klasik. Adapun Murji’ah modern sesuai judul di atas, juga dihinggapi suasana hati yang nyaris mengarah pada keputus asaan. Jika dulu keputus asaan pada sulitnya menyatukan pandangan umat, Murji’ah kini keputus asaan pada sulitnya memperoleh keadilan.
Alat ukur fenomena ini ialah banyaknya status atau cuitan di media sosial yang mengatakan: “tunggu pengadilan di akhirat”, “kita bertemu di pengadilan akhirat”, dan sebagainya.
Fenomena ini tentu tidak baik bagi persatuan umat, maka langkah terbaik ialah upaya preventif sesuai persoalan yang dihadapi masyarakat. Jika persoalan pokoknya ialah sulitnya beroleh keadilan, maka tindakan preventifnya ialah ciptakanlah keadilan kepada siapa saja dan kapan saja, tanpa pandang bulu. Bebulu dan tak bebulu sama saja, karena hukum haruslah diterapkan secara normatif, apa adanya, dipuskan dengan pikiran dan hati yang tenang, tanpa kemarahan apalagi kebencian.
“Wahai orang-orang beriman, jadilah kamu sebagai penega kadilan hanya karena Allah. Dan Jangan kebencianmu terhadap suatu kaum mendorongmu untuk tidak berlaku adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa …”, begitu al-Qur’an mengingatkan pada surat Al-Maidah/5: 8.
Jadi saat memutuskan hukuman haruslah dalam suasana yang nyaman, tidak dalam kemarahan. “Seorang hakim tidak boleh memutuskan hukuman dalam suasana hati yang tidak nyaman. “La yahkumul hakimu wahuwa ghadhaban”, kata Nabi melalui haditsnya.
Dengan cara ini, Murji’ah modern akan hilang dengan sendirinya.
Posting Komentar