Demokrasi Dan Mimpi Yang Sempurna

’MARI pertahankan Indonesia kita’. Iklan petisi ini menyatakan ada sekelompok orang yang seolah ingin menghapuskan hak warga negara dalam kebebasan







Oleh : Dedi Sahputra

’MARI pertahankan Indonesia kita’. Iklan petisi ini menyatakan ada sekelompok orang yang seolah ingin menghapuskan hak-hak warga negara dalam kebebasan beragama. Iklan ini muncul untuk mendukung keberadaan Ahmadiyah yang dinilai sebagai kaum minoritas yang memiliki hak hidup.

Argumentasinya adalah, tidak ada pihak yang bisa memonopoli kebenaran. Setiap orang berhak menafsirkan kebenaran sesuai referensi yang dimilikinya dan mengikuti kebenaran yang diyakininya tersebut. Ini adalah ruang pribadi yang asasi yang tidak bisa diganggunggugat orang atau kelompok orang lain. Ahmadiyah adalah kelompok orang yang memiliki hak itu, untuk itu harus dilindungi.

Itulah konsekuensi nilai demokrasi yang kita anut. Setiap entitas memiliki hak untuk hidup. Karena demokrasi itu hidup dengan ditopang nilai-nilai kebebasan, maka setiap perbedaan yang merupakan ’turunan’ dari kebebasan itu harus diberi tempat.

Sampai di titik ini saya berhenti sejenak. Memang tidak ada yang salah dari demokrasi ini. Karena Tuhan pun memberikan nilai-nilai demokrasi itu kepada manusia. Tuhan bahkan mengakui hak manusia untuk memilih sendiri jalan hidupnya.

Manusia dianggap sudah dewasa dan mampu membedakan dan memilih sendiri mana yang benar mana yang salah. Karena itu harus ada kebebasan untuk pilihan tersebut agar manusia dapat menentukan sendiri jalan hidupnya yang benar dan tidak perlu dipaksa-paksa.

Tuhan percayakan itu kepada manusia. Karena itu, sejak lebih empat belas abad lalu tidak lagi diutus Rasul lain setelah Muhammad SAW untuk mengajari manusia tentang kebenaran. Turunnya para Nabi sejak Adam As sampai Rasulullah sebagai penutup telah mencukupi ajaran tentang kebenaran yang bisa terus dipakai sampai akhir jaman. Karena Tuhan sudah percaya, maka kini terserah manusia.

Tiba-tiba saya tersentak bahwa dalam sebuah bingkai kehidupan kita, tidak hanya diisi dari sebuah bayang-bayang saja, tapi ada bayang-bayang lain. Dalam kanvas kehidupan itu kita tidak hanya melukis sebuah imajinasi tapi juga ada imajinasi lain bahkan banyak ilusi yang ikut mewarnai. Itu semua adalah pilihan-pilihan yang secara sadar ataupun tidak sadar kita tentukan sendiri—tapi tidak memfasilitasi akhir dari bentuk kanvas itu. Semuanya juga adalah imanjinasi, juga ilusi-ilusi.

Maka dalam demokrasi seluruhnya dijamin untuk berekspresi. Semuanya dapat menikmatinya karena ini adalah akses bagi siapa saja untuk melepaskan potensinya. Para mahasiswa menikmati demokrasi dengan bebas berorasi dalam mimbar demo tanpa ada tekanan, Ahmadiyah bebas berdemokrasi meski menyimpang dari ajaran Islam, bahkan kaum homoseksual bebas menonjolkan dirinya sebagai kelompok kecil yang memiliki hak hidup seperti halnya Dorce, Samuel Watimena dan lain sebagainya. Kaum kapitalis juga menikmati demokrasi dengan bebas mendistribusikan barang-barangnya hingga menjadikan rumah kita sebagai konsentrasi konsumsi.

Tapi orang lupa, dalam kebebasan yang diberikan kepada manusia, Tuhan juga menekankan untuk menggunakan akal fikiran. Dalam beberapa ayat hal ini sangat ditekankan; seperti la’allahum yatafakarũn (Q.S.59:21), la’allakum tatafakkarũn (Q.S. 2:219) dan banyak lagi. Dalam terjemahan bebasnya, kira-kira Tuhan mengatakan seperti ini; Kalian (manusia) bebas berbuat apa saja, tapi pakai otakmu...

Tapi demikianlah berlangsung demokrasi kini. Kita, umat Islam, juga umat beragama lainnya dapat menikmati kebebasan itu. Kita bebas berekspresi menjalankan ajaran agama yang kita yakini tanpa harus khawatir akan sikap otoriter yang represif dan membatasi ruang gerak umat beragama. Tapi kebebasan kita itu not for free, ada harga yang harus dibayar.

Kita bebas dan dijamin untuk menjalin ukhuwah Islamiyah, memaksimalkan dan meningkatkan level ubudiyah kita, juga kita bebas menyemai kebaikan untuk sesama. Kita bebas menciptakan surga-surga kita sendiri. Tapi para pelaku kebatilan juga memiliki kebebasan untuk melakukan kebathilan. Dalam demokrasi bukan benar-salah yang menjadi ukuran, tapi apakah sesuatu itu legal secara hukum atau tidak. Begitulah, demokrasi juga menawarkan sebuah utopia, mimpi yang sempurna.


Posting Komentar