Dari Sini Melihat Surga

Dari Sini Melihat Surga



Oleh : Dedi Sahputra


Di sore hari yang penat itu saya kehadiran tamu istimewa. Seorang teman lama yang sudah bertahun-tahun tak ketemu, bertegur sapa dan ngobrol panjang seperti ini. Wajahnya muram durja persis seperti suasana Pearl Harbor setelah diserang Jepang pada perang dunia II. Porak-poranda.

Dengan seketika rasa haus dan lapar saya serasa mendapatkan peluang untuk dikeyangkan. Dia seperti datang untuk mentraktir saya, menyuguhkan hidangan yang sangat jarang bisa dicicipi.

Lelaki itu datang berpuluh kilometer dari rumah saya. Separuh perjalanannya ditempuhnya dengan menumpang Angkot, separuh lagi dia mengandalkan kedua kakinya untuk membopong tubuhnya. Bukan karena dia suka olahraga atau peduli global warming tapi karena uangnya tidak cukup.’’Saya sudah hancur. Sudah berbulan-bulan saya tidak bekerja sejak dipecat dari tempat saya bekerja,’’ katanya.

Dia menceritakan bagaimana dia sudah melamar pekerjaan ke berbagai tempat tapi sejauh ini tidak berhasil. Dia juga sudah mencoba banyak pekerjaan sendiri seperti jual mie balap tapi becanya bertubrukan dan masuk parit, dia sudah coba berdagang pakaian dan perlengkapan dapur tapi rugi. Mau coba jadi supir Betor seperti orang-orang, tapi dia tidak punya keahlian untuk jadi pilotnya. Wajar saja, karena sejak kecil dia memang tidak pernah  dipersiapkan untuk jadi ’orang susah’ sebab hidupnya selalu berkecukupan.

Alih-alih, kemudian pikiran tergerak untuk mencoba profesi baru, menjadi ’dukun’. Dia mengaku seperti mendapat ’kekuatan’ dan bisa menyembuhkan berbagai penyakit yang diderita orang. Atau paling tidak, dia bisa mengurut, sehingga tubuh yang pegal-pegal bisa fresh kembali. Pekerjaan inilah yang diandalkannya menyambung hidup istri dan seorang anaknya, meski kadang ada kadang tidak ada.

Satu hal yang berbeda dalam dirinya dari sebelumnya. Dulu dia memiliki kecenderungan hedonis yang kuat. Tapi sekarang serta merta dia seperti tersentak sadar bahwa hal-hal seperti bersifat remeh-temeh. Ada hal yang jauh lebih besar yang selama ini selalu saja ’memanggil-manggil’ tapi diabaikannya.

Dia terus bercerita panjang lebar hampir tanpa jeda. Teman yang cintai ini seperti ingin menumpahkan seluruh air laut ke dalam bejana yang tak memiliki dasar. Saya hanya diam saja, sambil terus mendengarkan kata-katanya meluncur deras menumpuki saya.

Sungguh, saya harus lebih menyukai tipe tamu yang seperti ini daripada orang yang menawarkan kehangatan, sangat hangat sampai-sampai mengalahkan hangatnya sinar matahari. 

Teman saya yang satu lagi adalah seorang pejabat publik yang tidak saja kesohor punya sikap dermawan, peduli sesama tetapi juga seorang yang alim. Tapi sebagai seorang pejabat publik, hari-harinya disibukkan dengan bertumpuk-tumpuk pekerjaan. Di usianya yang memasuki senja itu dia bahkan harus sering keluar kota meninggalkan keluarganya berhari-hari lamanya.

Sejauh ini dia memang menikmati segala kemegahan dan prestise hasil kerja kerasnya yang dibangun bertahun-tahun sejak masa mudanya itu. Sampai pada suatu titik dia harus dihadapkan pada kenyataan bahwa dirinya harus berurusan dengan masalah hukum. Seketika dia harus meninggalkan semua kebanggaan dan sanjungan orang untuk menetap di hotel prodeo.

’’Saya tidak tahu apakah saya harus merasa sedih atau bahagia. Tapi yang jelas hati dan perasaan saya jauh merasa lebih tenang di sini ketimbang di luar sana,’’ katanya ketika suatu hari saya menjenguknya.

Hidupnya kini bisa lebih teratur, dengan ritme yang ’anggun’. Hubungannya dengan Tuhan juga semakin ’indah’, ibadahnya semakin mantap.  Begitu juga hubungannya dengan keluarga jadi semakin dekat. ’’Saya seperti bisa melihat surga dari sini,’’ katanya.

Terkadang Tuhan memang menempatkan barang yang sangat ’berharga’ di tempat-tempat yang tidak kita duga-duga. Tidak juga harus berada pada tempat yang dianggap prestisius dalam struktur hidup sosial. Atau malah berlawanan dengan tujuan hidup yang selama ini dikejar.

Hanya saja terkadang manusia sering tidak menyukai bahkan mengacuhkan titik-titik tersebut, sampai Allah dengan sifat Ar-Rahiim-nya harus memaksa orang untuk berpindah tempat. Allah SWT seolah telah menetapkan titik-titik di mana manusia bisa berdiam di sana agar ma’rifat-nya bisa menatap kehidupan di kosmos ini secara lebih persis. Titik di mana seseorang berada pada garis lurus dengan Rabb-nya. 


Posting Komentar