Oleh : Dedi Sahputra
Pecahlah sudah bom itu. Menyalak di tengah keramaian para ekspatriat. Asap bercampur debu berhamburan merontokkan segala kemewahan di sekitarnya. Dan mereka pun mati, terluka, cacat.
Yang tersisa adalah sumpah serapah orang yang kutuk mengutuk, ancaman pariwisata yang anjlok, investasi yang akan kekeringan serta isolasi dunia terhadap orang-orang berjenggot dan berjilbab. Dunia pendidikan kita, khususnya pendidikan agama menjadi sasaran yang lebih jauh lagi untuk diobok-obok.
Demikian dahsyatnya akibat bom itu ketimbang bom itu sendiri sampai-sampai setan pun takut datang ke negeri kita. Walau dibujuk rayu sebegitu merdu tak hilangkan ragu mereka.
Inilah kita masa sekarang dan gambaran masa depannya. Dihadapkan pada suatu kondisi yang tidak menguntungkan. Tangan takdir telah menempatkan kita pada posisi ini tanpa bisa mengelak menghindar.
Kita bahkan masih belum tahu siapa, apa dan bagaimana bom itu, mungkin tidak akan pernah tahu. Tapi kita sudah harus menerima berbagai dampak yang diakibatkannya. Masalah teroris, Islamphobia, bom; tiba-tiba saja kembali dipaksakan kepada kita menjadikan kita terdakwa utama. Namun kita harus menghadapinya dengan tidak boleh mengurangi sedikitpun kesantunan.
***
Benar saja. Hanya beberapa jam kejadian bom, media-media Australia langsung menyebut kelompok Islam sebagai pelaku. The Australian tanpa tedeng aling-aling mencurigai Jamaah Islamiyah (JI) berada di balik teror bom di Hotel JW Marriott dan Ritz Carlton. ’Jakarta hotel blasts kill seven, bear mark of Jemaah Islamiah,’ kata mereka dalam judul beritanya.
Padahal tidak ada argumentasi atau uraian indikasi kuat yang melatari kecurigaan itu, kecuali sekadar mengabarkan bahwa ’kecurigaan segera tertuju pada teror JI, pelaku serangan Hotel JW Marriott tahun 2003’. Mereka juga ‘ngarang’ bahwa metode serangan kali ini menunjukkan peralihan strategi JI.
Media Australia lainnya, ABC News, menyajikan judul berita yang tak kalah agitatif ’Fatal Jakarta Blasts: Top U.S. Terror Experts Point to al Qaeda-Connected Group’. Yang ini malah langsung menyebut nama pelakunya, Noordin Mohammad Top.
Tudingan yang sama sinisnya terdengar dari tetangga kita, Singapura. Rohan Gunaratna yang katanya ahli terorisme internasional dari Nanyang Technological University Singapura langsung menuduh kelompok Islam.
Kecepatan mereka menyimpulkan sungguh luar biasa, fantastik. Kalau bukan karena mereka punya hubungan famili atau dongan sahuta dengan para pelaku, pastilah mereka ’pelihara jin’ yang siapa selalu membisiki tentang apa saja. Jadi jangan heran, kalau sebelumpun bom itu meledak, mereka bisa meramalkan di mana dan kapan bom itu bakal meledak.
Tapi..., ajaib. Kesimpulan yang hanya beberapa jam itu, hampir sama persis dengan pernyataan polisi kita setelah dilakukan penyidikan. Kepala Desk Antiteror Irjen Ansyaad Mbai juga menyatakan keterlibatan Noordin M Top.
Coba bandingkan ’karangan’ The Australian soal strategi JI di atas dengan pernyataan pihak berwenang ini: ’meski modus yang digunakan masih konvensional, yakni bom bunuh diri, aksi ini dilakukan dengan cara yang lebih canggih, yakni langsung menyusup ke dalam sasaran’.
***
Pengasuh Pondok Pesantren Al-Mukmin, Ngruki Ustad Abubakar Ba’syir yang telah dipenjara karena dituduh pentolan JI sendiri menyatakan peledakan bom ini merupakan makar orang kafir untuk menyudutkan Islam. Sehingga para aktivis dakwah semakin mendapat tekanan yang lebih represif.
Seperti halnya orang-orang Australia dan orang asing lainnya, Ba’asyir juga menyampaikan prediksinya. Namun bedanya, prediksi ustadz yang disebut sebagai gurunya Amrozi dkk itu tidak pernah jadi kesimpulan hasil akhir penyidikan.
Itu adalah ekspresi, seperti halnya ekspresi masing-masing yang kita punya dalam melihat masalah ini. Apakah kita sekedar mengutuk atau memilih terikut arus agitasi propaganda media, atau menjadikan rangkaian peristiwa untuk meningkatkan kewaspadaan segala yang tidak menguntungkan. Jalan panjang itu mungkin akan kita lalui di depan.
Tapi saya punya keyakinan, kalau semua ini bisa kita lalui dengan semestinya maka akan menjadi momentum perubahan eskalasi politik dunia secara mendasar dengan kita sebagai sebagai pemerannya. Karena kita juga bisa menjadi mujahid, tanpa harus jadi pelaku bom bunuh diri. (ditulis Senin 20 Juli 2009)
Posting Komentar