Idul Fitri Dan Gadis SPG

Idul Fitri dan SPG

Oleh : Dedi Syahputra

Beberapa hari terakhir ini saya menikmati tradisi berlebaran dengan mengunjungi banyak tempat. Dari mulai pesta keluarga di rumah makan mewah sampai bersilaturahim ke sudut-sudut desa, dari rumah ke rumah, sampai orang-orang yang berbondong-bondong mengunjungi saya. Saya menjumpai seribu wajah silih berganti; saling mengucapkan kata maaf.

Beberapa orang yang saya temui memiliki itikad baik yang sangat luar biasa. Mereka begitu tulus memberi dan memohonkan maaf—yang membuat saya merasa ‘malu’ ketika berhadap dengan mereka. Orang-orang ini berasal dari latar belakang yang beragam, ada seorang penaik beca, ada juga yang berasal dari kalangan jet set, ada yang SD pun tak tamat, tapi ada juga yang bertitel dan berpangkat jenderal.

Mata, hati dan pancaran tubuhnya seolah menyeret saya kepada suatu dimensi lain ketika itu. Mereka adalah orang-orang yang telah sampai pada maqam pasca takut dan berani. Puasa intensif yang dilakoni sebulan penuh ternyata membuat mereka mengalami suatu proses ‘peragian spritiualitas’ atau pelekangan kotoran dari jiwa mereka. Jiwa itu kemudian mencari jalan menemukan kemurnian di Idul Fitri dengan merecovery hablumminannas.

Seperti halnya hujan yang turun membasahi bumi, atau seperti bintang yang bersinar di waktu malam, atau ketika gunung harus meletus menyemburkan lahar panas, bukan karena para makhluk Allah tersebut merasa takut atau merasa berani. Tapi karena memang mereka harus melakukan hal tersebut dengan sendirinya. Manusia-manusia seperti ini berjuang melawan dirinya sendiri, melawan kesombongannya, angkara murka dalam dirinya, kesemena-menaannya karena memang mereka harus melakukan hal itu.

Mereka berusaha keras menjauhi sifat arro’aaHustaghnaa (melihat dirinya serba cukup) sebagai pangkal predikat layathghoo (benar-benar melampaui batas, QS.Al-Alaq: 6-7). Sampai pada titik ketika ’mencecahkan’ kakinya di realitas kehidupan, mereka akan melawan setiap ketidakadilan, menghadapi setiap kekuatan yang mengingkari Tuhan, berjuang di lahan politik dan lain sebagainya bukanlah karena dia takut atau berani, tapi seperti hujan dan bintang mereka membasahi bumi dan bersinar karena memang sudah seharusnya demikian.

***

Dalam kompleksitas kehidupan modern, kita menemukan bahwa hampir tidak ada sesuatupun yang berdiri dengan sendirinya tanpa ada ’penopang’ di belakangnya, tanpa ada struktur secara sosial yang mengelilinginya. Maka kemudian kita mengenal dosa individu dan dosa struktural.

Bahwa orang yang sudah memiliki pencerahan secara personal, ketika ditempa di Ramadhan, memiliki tantangan besar menghadapi 11 bulan lainnya dalam kondisi struktural yang terkadang sama sekali tidak mendukung pemahaman spiritualitasnya. Celakanya, ada yang kemudian kalah terjerembab, bahkan ada yang sampai pada level asfalasaafiliin (tempat yang serendah-rendahnya, QS.At-Tin: 4), karena ’baterai’ nya keburu habis.

Maka kegelisahan masyarakat modern sekarang ini adalah ketika dia mendapati dirinya berada di tengah lingkungan pekerjaannya, lingkungan tempat sehari-harinya berinteraksi dipenuhi nuansa kekuasaan yang manipulatif, kolusi otomatik, hipokritisasi dan sebagainya. Maka orang yang sebenarnya memiliki kecenderungan menjadi baik dan saleh, tetapi jika terus berada di lingkungan yang tidak mendukung kecenderungannya dia akan ikut menjadi tidak baik. Inilah rahasia dari nasihat bijak untuk selalu bergaul dengan orang-orang salih agar kita kecipratan berkah.

Tapi kewajiban ekonomi terkadang mengharuskan orang untuk menjadi seorang bartender di sebuah bar penjual khamr. Atau seorang gadis yang harus mengangkat tinggi roknya untuk menjadi seorang sales promotion girl. Meski pada awalnya mereka harus bersujud berlama-lama dalam shalatnya pada jeda pekerjaan mereka, tapi kemudian mereka bisa menjadi sangat menikmati pekerjaan tersebut—suatu sistem yang sebenarnya diciptakan sendiri oleh manusia.

Makna Idul Fitri sebagai sebuah kemenangan ternyata harus difahami sebagai pecut untuk kemenangan lainnya. Kalau Idul Fitri berarti kemenangan individu, maka pecut yang harus ditempa adalah kesadaran untuk kemenangan secara struktural. Karena memang Idul Fitri telah membuat kebersamaan hidup kita sebagai manusia tidak sekedar kumpulan yang disebut masyarakat, tetapi lebih dari itu, Idul Fitri menjadikan kita sebagai suatu umat yang memiliki suatu batasan tentang kebenaran, standar akhlak, moral yang menjadi perekat satu sama lain yang disifati oleh sejumlah nilai-nilai dari Allah SWT.

Posting Komentar