Oleh : Dedi Sahputra
‘’Bentar lagi kita puasa ya..,’’ katanya tak lupa tersenyum. Ba’da shubuh kemarin, seorang jamaah dengan wajah cerah berseri berujar.
Menjelang Ramadhan seperti ini, saya seringkali menemukan semangat yang menggebu-gebu dari para kaum Muslimin. Mereka mengekspresikan dan merasakan semangat atau kegembiraan itu secara berbeda-beda.
Jamaah ini adalah tipe orang yang benar-benar sadar akan melimpah ruahnya hidayah di bulan Ramadhan ini. Oleh karenanya dia tidak ingin kehilangan kesempatan ini sedikitpun. Maka sebelum Ramadhan datang dia sudah meningkatlah intensitas ubudiyahnya, dari mulai shalat Tahajjud, shalat Dhuha, puasa sunat Senin-Kamis, sedekah dan lain sebagainya. Diapun terus menerus memperbaiki hubungannya dengan teman, tetangga dan siapa saja.
Tidak itu saja, dia juga rajin mengingatkan saudara-saudaranya untuk melakukan yang sama. Meskipun pemahaman agamanya biasa-biasa saja, tapi inilah tipe orang yang bergembira dengan datangnya Ramadhan. Mulutnya tidak pernah berucap “aku senang Ramadhan datang’’, tapi sikap dan perilakunya menjawab semua itu lebih pasti.
Seperti Sayyidina Abu Bakar As-Shiddiq yang telah menemukan Allah melalui pengalaman-pengalamannya. Dia mengalami hidup, menapakinya langkah demi langkah, menghayatinya dan dia menemukan Allah. Inilah manusia paripurna itu. Penghayatan pengalamannya membuatnya mengenali kebenaran itu.
***
Ada juga tipe orang yang sangat bergembira ketika Ramadhan datang. Sayangnya dia tidak benar-benar menyadari kalau dia sangat bahagia. Ada sesuatu di dalam dirinya yang sulit sekali dikenalinya melalui uraian kata-kata yang terucap maupun hanya syir di benak.
Karena selalu saja laku didasari oleh rasa yang terungkap oleh kata-kata, maka orang seperti ini akan menjalani kegembiraannya itu tidak dengan sepenuhnya. Rasa dalam dirinya mengenali Allah tetapi akal dan pikirannya tidak mampu menerjemahkannya.
Maka mereka terkadang melihat Allah di segala sesuatu, tetapi terkadang dia hanya melihat dunia di segala sesuatu. Kalau Sayyidina Utsman Ibn Affan meletakkan dunia di tangan kiri dan Allah yang diletakkannya di tangan kanannya. Maka tipikal orang yang saya maksud dia juga meletakkan Allah di tangan kanan dan dunia di tangan kiri, tetapi adakalanya dibuat terbalik, dunia di tangan kanan, Allah di tangan kiri.
Tipe selanjutnya adalah orang yang melihat segala sesuatu dari ukuran perutnya. Orang seperti ini memiliki kecenderungan untuk memikirkan profit. Dia melihat, gelas yang terbayang profit, dia melihat gadis cantik yang terbayang profit, dia melihat kemiskinan dia berpikir profit, dia melihat Ramadhan dan dia berpikir profit. Segala sesuatunya diukur oleh kepentingan dirinya. “Keuntungan apa yang akan kudapat,” dia selalu berujar begitu.
Maka ketika dia puasa, yang terpikirkan adalah, apa untungnya dengan dia berpuasa. Demikian juga ketika shalat, sedekah. Kalau orang seperti ini bertemu Anda, dia juga akan mengukur seberapa berharga Anda bagi keuntungannya. Penghargaan yang ditunjukkannya kemudian bergantung penilaiannya tentang “harga” Anda. Dia tidak akan menyadari human entity Anda yang memiliki keterbentangan luasnya jagat raya yang tersimpan di alam batin Anda.
***
Saya tidak sedang mengelompokkan tipikal orang dalam kategori baik dan buruk. Karena saya lebih cenderung melihatnya sebagai sebuah proses manusia menemukan kesejatiannya.
Saya sendiri dulu, kalau menjelang puasa begini yang terpikir cuma bacaan. Bagaimana senengnya menghabiskan waktu dengan membaca serial Wiro Sableng yang selalu bikin saya ngakak sendiri kayak orang gila.
Karena kebanyakan kita bukanlah manusia sekaliber Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib. Kalau Abu Bakar mengalami dunia hingga menjadi paripurna, maka dalam pandangan Ali yang ada hanya Allah saja, dia tidak melihat dunia sejak awal hidupnya. Ketika beliau melihat istrinya yang tampak Allah, ketika melihat perang yang tampak juga Allah, ketika melihat langit, makanan, pasar, uang yang tampak hanya Allah.
Maka ketika pasukan Muawwiyah yang terpojok itu mengangkat Mushaf Alquran sebagai tanda perdamaian, Ali setuju meskipun dia berujar ‘Kalimatu haqqin uriida bihal baathil` (ini perkataan yang hak tapi digunakan untuk kebatilan). Sebagian kaum Muslimin waktu itu tidak setuju dengan Ali karena memang ini jelas taktik bulus Muawwiyah. Tapi begitulah, mereka tidak melihat apa yang dilihat Ali.
Posting Komentar