Bencana Di Situ

 

Bencana Di Situ



Oleh : Dedi Sahputra

Terjadi lagi. Bencana itu seperti tak berhenti bercanda-canda dengan kita. Kali ini si Situ Gintung yang berbicara. Dia mengeluarkan energi setara dengan 90 Ton TNT dalam waktu singkat. Dengan kecepatan air mencapai 70 Km per jam maka rumah-rumah, kendaraan sertamerta luluhlantak hingga sejauh 2 Km lebih. Kemarin sudah 98 ditemukan tewas dan 102 orang tak ketahuan nasibnya.

Shubuh itu, orang-orang yang terlelap tidur atau yang baru bangun, yang sedang bersiap shalat Subuh ke masjid, yang sedang sujud di masjid, yang sedang memasak untuk keluarga, yang bersiap pergi kerja menjemput rezeki; semuanya terseret arus air. Kalaupun ada yang sedang teler karena mabuk semalaman atau yang baru saja tidur karena kecapek-an karena main gaple atau sedang berzina dengan wanita kesukaan, juga akan terseret gelombang air.

Ketika bencana itu datang, memang tidak memandang apa profesi, pekerjaan, latar belakang pendidikan dan sebagainya. Bencana juga tidak memilih-milih orang kafir, orang yang selama ini hidupnya melarat atau koruptor, politisi busuk dan sebagainya. Bencana akan datang kapan saja, Anda siap atau tidak.

***

Mungkin kalau kita bisa minta, maka orang yang jadi korban bencana adalah orang-orang jahat yang kelakuannya selalu saja nyakiti dan merugikan orang lain. Dan orang baik-baik, orang susah jangan-lah lagi ditimpakan bencana, wong hidupnya saja morat-marit kok malah jadi korban lagi. Tapi lihatlah, orang yang selama ini melarat, yang hidup susah malah sering menjadi objek bencana. Mereka diusir oleh tanggul jebol dari rumah-rumah mereka. Padahal para penjahat kemanusiaan masih sehat-sehat saja di luar sana. Mereka seperti tidak tersentuh oleh bencana.

Kita pasti sudah mengutuk dan bersumpahserapah habis-habisan kalau tidak ada hikmah yang selalu diselipkan Allah dalam setiap kejadian, tak terkecuali bencana. Hingga ketika seorang anak buruh tani di kampung nun jauh di sana yang punya tekad kuat menjadi pintar dan mengangkat harkat dan derajat keluarganya dari lingkaran kemiskinan. Dia kemudian bersekolah dengan susah payah, bekerja sambil kuliah karena uang dari kampungnya jauh dari cukup bahkan tidak rutin diterimanya. Dia harus makan dua kali sehari dan mengumpul setiap Rupiah yang dia punya untuk menutupi kebutuhannya.

Tapi jerih payahnya tidak sia-sia, karena dia berhasil menyabet gelar sarjana untuk kemudian akan ditempatkan bekerja pada perusahaan yang berprestise. Tak lama lagi diapun akan menikah setelah diwisuda. Tapi kemudian Tuhan mengambil nyawanya. Keluarganya menangis menggeru-geru hingga kelopak mata mereka pada bengkak, setiap orang yang mendengar kabarnya juga jadi miris hatinya.

Keluarga tidak akan berhenti tangisnya sampai ketika datang para malaikat membisikkan bahwa karena Allah mencintai anakmu yang hidupnya telah dibersihkan oleh perjuangannya yang gigih dan ketaatannya dalam beribadah. Maka dia mengambil dia sebagai kekasih-Nya.

***

Bencana sepertinya sudah menjadi hal rutin yang selalu kita alami. Banyak orang yang tewas, tapi coba kita lihat tampilan artis kita di televisi atau gaya orang-orang yang keluar masuk mall. Tidak berhentik ketawa-ketiwi, berlenggak-lenggok dan bertepuk bersorak beramai-ramai sambil berseru senang.

Tidak sedikit memang yang merasa prihatin dan ikut berduka atas bencana yang terjadi, sambil diam-diam dalam hati merasa selamat karena tidak menjadi korban. Akal dan logika kita akan menyatakan bahwa kita senantiasa berada jauh dari bencana. Kita jauh dari laut hingga tidak mungkin kena tsunami, kita tidak punya pengalaman gempa bumi atau daerah tempat tinggal kita tidak pernah sekalipun digenangi banjir.

Padahal, orang yang menjadi korban bencana Situ Gintung, tsunami, gempa bumi dan banyak lagi juga mungkin berpikiran yang sama sebelumnya; rangkaian bencana itu sudah lebih dari cukup bagi kita untuk merasakan bahwa tidak ada yang aman dalam posisinya masing-masing.

Hanya saja, yang menjadi korban tidak perlu merasa menjadi pesakitan hingga memurkai Allah, sebaliknya yang tidak menjadi korban jangan merasa selamat. Karena orang yang menjadi korban justru sedang ditagih imannya kepada Allah SWT hingga kalau mereka ikhlas, maka limpahan karunia yang besar menantinya. Kalau mereka istiqomah dalam ubudiyahnya maka dia akan segera berlebaran dengan Allah. Sebaliknya yang seolah-olah selamat dan jauh dari bencana jangan-jangan sengaja dibiarkan oleh Allah agar mereka menumpuk-numpuk kesalahan.

Posting Komentar