Oleh : Dedi Sahputra
Bagaikan gempa yang meluluhlantakkan. Dia berbicara secara senyap, mengabarkan secara sunyi. Sampai engkau merasakan hasil kerjanya menghancurkan segala bangunan keangkuhan yang berdiri membusungkan dada, meratakan ketidaksantunan sosial yang membatasi dengan sekat-sekat, yang memindai dengan tinggi-rendah.
Begitulah puasa featuring iman dalam dada orang-orang Mukmin. Ia dititah menjadi energi yang tak kasat mata. Tapi begitu luar biasa, mengubah batu menjadi air, mengubah panas menjadi sejuk, mengubah amarah menjadi kesantunan.
Bagaikan tsunami yang menggemuruh, dia menyabet, meliuk-liuk tanpa pandang bulu, dan dirimu hanya bisa terbelalak menyaksikkannya menderasi segala sesuatu. Menguasai segala kebisingan dengan hamburan ombaknya, menyentuh setiap yang berbentuk. Sebentar kemudian dia telah melingkupi segala sesuatu, merendaminya dalam kelembutan.
Begitulah puasa dalam dada kaum Mukhlisin. Dia sungguh perkasa mencerabut segala bentuk yang remeh-temeh, sehingga yang ada hanyalah ketenangan, kepasrahan pada suatu kekuasaan yang teramat besar dan mutlak.
Bagaikan udara berhembus sepoi-sepoi. Dia menyejuki sembari memberikan hidup. Tanpa kehadirannya, dirimu dalam kegerahan yang menyengat, bahkan dirimu hanya sebongkah tulang yang diselimuti daging. Dia hadir dalam setiap jeda putaran waktu untuk memberi nafas bagi keseluruhan kehidupan. Begitulah puasa.
***
‘’Oh Ibrahim.., jika Allah telah memberi kesehatan kepadamu, apa yang akan kamu lakukan?,’’ pria itu bertanya dengan tatapan penuh kelembutan.
Senyap sejenak sebelum Ibrahim menangis tersedu-sedu. Wajahnya sangat sedih sekali. Tangis itu membuat pria yang bertanya dan ayah Ibrahim serta seorang yang mengambil gambar mereka juga ikut menangis.
"Demi Allah saya akan melaksanakan shalat di masjid dengan sukacita. Saya akan menggunakan nikmat kesehatan saya dalam segala sesuatu yang akan menyenangkan Allah SWT,’’ ucapan itu kemudian meluncur dari mulut Ibrahim.
Ibrahim Nasser adalah seorang pemuda dari Bahrain. Dia telah lumpuh total sejak lahir dan hanya mampu menggerakkan kepala dan jarinya. Untuk bernafas pun dia harus menggunaan alat bantu yang disambungkan ke saluran pernafasannya di bagian leher. Hari-harinya hanya ditemani laptop di tempat tidurnya. Melalui media internet itulah dia mengenal dan sangat mengagumi Syekh Nabeel Al-Awdi yang menggunakan internet sebagai media dakwahnya.
Karena dia sangat ingin bertemu Syekh Nabeel Al-Awdi, maka ayahnya mengundang sang syekh untuk datang ke rumah mereka. Lihatlah senyum ceria Ibrahim ketika melihat sang syekh membuka dan masuk melalui pintu kamarnya. Merekapun bertukar cerita sampai ketika Syekh Nabeel Al-Awdi mengajukan pertanyaan itu kepada Ibrahim.
***
Seorang saudara mengirim kisah Ibrahim itu beserta gambar-gambarnya. Pesan kuat yang ingin disampaikan adalah pelajaran bagi orang yang punya hati dan mengunakan pendengaran dan penglihatannya. Inna fii zaalika lazikraa lima kaana lahuu qalbun au alqas sam’a wa huwa syahiidun (QS.50:37). Ibrahim penuh kelemahan, tapi sepenggal kisahnya justru memberi pelajaran dan peringatan kepada orang yang jauh lebih kuat.
Dalam konteks menikmati segala sesuatu, sesungguhnya Ibrahim telah menjalani puasa sepanjang hidupnya. Kalau hari-hari kita banyak melihat hal yang bening-bening yang seliweran dari mulai liukan Dewi Persik, goyangan Julia Perez sampai ciuman maut KD-Raul, maka Ibrahim hanya menatapi ruang kamarnya dan media dakwah di internet.
Kalau hari-hari kita mendengar banyak gosip dari mulai anak gadis tetangga yang tiba-tiba tekdung, cerita tentang kawan yang tiba-tiba kaya karena disnyalir piara tuyul sampai cerita tentang rencana kakek di kampung sebelah yang katanya buka lowongan untuk istri keempat. Tapi Ibrahim lebih sering meresapi sepi. Kalau kita makan lima potong tempe sekali telan, Ibrahim cuma bisa sepotong, kalau kita meneguk lima liter air, Ibrahim cuma bisa seteguk.
Begitulah puasa. Dia telah meredam riuh rendah di dalam dada dan gejolak di perut. Keinginan tertinggi orang berpuasa seperti Ibrahim hanya untuk bisa shalat di masjid sebagai wujud ketidaksabaran untuk bertemu Tuhannya. Semoga Allah menganugerahi Anda karomah untuk menyelaminya.
Posting Komentar