Oleh : Dedi Sahputra
Enak saja. Gak bisa begitu dong. Kita ini negara berdaulat, jadi bagaimana mungkin mereka seenaknya menangkapi petugas kita. Di perairan kita lagi. Belum lagi luka-luka yang belum sembuh. Banyak TKI disiksa sampai setengah mati, ada yang benar-benar sampai mati, sebagian lagi tengah menanti kematian di ujung tiang gantungan.
Belum lagi mereka main caplok banyak seni budaya kita, Pulau Sipadan-Ligitan yang telah melayang. Walaupun samar-samar kita mendengar tangisan itu bernada penyesalan: ‘maafkan kami anakku, kami telah menelantarkan kalian hingga diadopsi orang lain’.
Nggak bisa… Pokoknya harus perang. Mereka sudah nglunjak. Ini persoalan harga diri bangsa yang diinjak-injak. Tak perlu selamatkan Siti Nurhaliza pun nggak apa-apa, kita masih punya Dewi Persik, Julia Perez yang dahsyat-dahsyat. Hati ini sudah cukup menahan sakit terus-menerus dilecehkan tetangga seperti itu.
Dengan perang, kita bisa melampiaskan rasa kekesalan yang selama ini kita alami, biar mereka gak macem-macem lagi sama kita, biar gak panggil Indon lagi ke kita, biar tahu rasa. Walaupun dalam hati kita berharap, syukur-syukur mereka takut dan menyatakan maaf serta berjanji tidak mengulangi lagi perbuatan tidak senonohnya itu. Jadi kita bisa kembali merasa besar sebagai bangsa.
Begitulah. Ketika konflik budaya Indonesia-Malaysia berulang, teriakan perang itu dipekikkan di berbagai tempat dengan sangat ringan. Suara itu datang dari arah rakyat. Karena sebagai pemilik sah kedaulatan bangsa ini, rakyat tidak punya jalan keluar lain selain menyatakan perang.
***
Hakim di sebuah negara bagian Amerika Serikat ini cukup nyentrik. Dia tidak saja memiliki pendapat yang pro terhadap Saddam Hussein, tetapi dia juga bergaya ala mantan pemimpin Irak itu. Dengan postur tubuh agar gempal, wajah kearaban dan kumis yang sengaja dipelihara, dia cocok jadi pemeran Saddam Hussein.
Tidak lama setelah perang Irak dikobarkan, saya berkesempatan mengunjunginya sambil berbicara tentang berbagai hal, termasuk perang. Katanya, sebelum keputusan berperang diambil, sebuah negara seperti Amerika biasanya mengajukan proposal perang. Proposal itu berisi antara lain tentang peta kekuatan musuh, seberapa besar kekuatan yang dikerahkan, berapa biaya yang dibutuhkan, termasuk lamanya perang dan jumlah korban di kubuh musuh dan korban di pihak sendiri.
Kesimpulan kalah atau menang perang dilihat dari seberapa dekat kalkulasi yang dibuat dengan kenyataan yang terjadi. Jadi, perang itu didesain dengan sangat ‘dingin’. Merancang pembunuhan ribuan bahkan jutaan orang dan menghancurkan semua yang sudah dibangun selama berpuluh tahun bahkan berabad-abad—dengan tetap merasa sebagai ksatria yang gagah berani di medan tempur.
***
Saya pikir-pikir, ada baiknya juga terjadi ketegangan dengan Malaysia. Orang-orang Indonesia jadi lebih memiliki semangat nasionalisme, walau sedikit, walaupun hanya sebatas teriakan untuk perang. Padahal, selama puluhan tahun rasa nasionalisme anak bangsa ini sudah jadi persoalan. Tidak pernah terangkat, walaupun berbagai cara sudah dicoba, tapi grafiknya justru terus mengalami penurunan.
Ini mungkin momentum seperti yang pernah didesain pemanfaatannya semasa invasi Uni Sovyet ke Afganistan. Dr Abdullah Azzam kemudian menjadikan perang tersebut sebagai tempat sekolah jihad bagi gerakan Islam global, hingga berhasil membuat Uni Sovyet semaput dan harus angkat kaki dari medan tempur.
Kini teriakan perang itu bergema di tengah umat Islam tengah menjalankan ibadah puasa, di tengah puncak-puncak perang besar, yang dikenal dengan perang melawan hawa nafsu. Anda jangan anggap enteng perang ini. Karena perang seperti yang dikorbarkan Amerika di Irak dan Afghanistan hanyalah adalah bentuk-bentuk sub ordinat dari perang melawan hawa nafsu itu.
Perang konvensional itu hanyalah sebuah proses transfer kemeranaan orang-orang tertentu yang ingin supaya orang lain juga ikut merana. Lihatlah dengan seksama wajah-wajah Hitler dan George W.Bush Jr. sang pengobar perang, yang menjadi “ujung tombak” terbunuhnya ribuan nyawa, para tentara, wanita dan anak-anak. Mereka adalah orang-orang yang kalah dalam perang melawan hawa nafsunya.
Mereka adalah orang-orang yang menemukan kepuasannya dengan mempertemukan orang dengan penderitaannya, yang hanya bisa mengalami ‘ejakuasi’ ketika air mata itu sudah bercampur genangan darah, seketika menjadi superior dengan berdiri tegak di bawah tumpukan ketidakberdayaan orang.
Itu sebabnya para ulama berpendapat bahwa melawan orang yang mengobarkan perang seperti para mujahid di Afganistan adalah bentuk jihad—karena merupakan bentuk mempertahankan diri. Saya tidak yakin Anda bukanlah orang-orang seperti Hitler dan Bush Jr. itu. Percayalah, kalau perang itu benar-benar berkobar, Anda pasti menyesal.
Posting Komentar