Oleh : Dedi Sahputra
Inilah di antara isi pidato Sayyidina Abu Bakar Siddik ra ketika diangkat menjadi khalifah: “Jikalau aku dapat menunaikan tugasku dengan baik, bantulah (ikutlah) aku, tetapi jika aku berlaku salah, maka luruskanlah! Hendakklah kamu taat kepadaku selama aku taat kepada Allah dan Rasul-Nya, namun bila mana aku tiada mematuhi Allah dan Rasul-Nya, kamu tidak perlu mematuhiku”.
Ini bukan sekedar retorika, apalagi pidato kampanye yang mendagangkan janji. Ini semacam gantlemen agreement yang penuh konsekuensi di dalamnya. Dalam bahasa Chairil Anwar, Abu Bakar ra mengucapkan kata-katanya dengan “penuh seluruh”. Dan sejarah kemudian mengonfirmasi pernyataan sang khalifah tersebut.
Saya lantas bertanya-tanya, apa yang membuat Sayyidina Abu Bakar ra bisa berkata seperti itu. Ternyata tidak mudah menjawabnya. Karena saya harus terbang ke masa sekitar 250 tahun setelah sang khalifah, tepatnya di zaman hidupnya seorang tokoh yang pernah mengguncang Eropa: Abdullah Muhammad Ibnu Musa al Khawarizmi. Di sana saya menemukan kesimpulan bahwa Sayyidina Abu Bakar ra bisa berpidato seperti itu karena ia telah melalui algoritma untuk menjadi seorang pemimpin.
***
Ada dua wajah, kata Erving Goffman. Yang pertama disebut dengan wajah panggung yang diistilahkannya dengan front region. Wajah ini digunakan di area publik, penuh subjektivitas bahkan setting atau buatan untuk kepentingan panggung. Karena itu dia cenderung temporal.
Wajah kedua disebut dengan front personal yang lebih objektif. Seperti namanya, wajah ini untuk keperluan personal saja, dan karenanya dia digunakan secara limited. Dia merupakan watak asli yang tidak segan berbentuk profan. Karena asli, maka dia lebih berkekalan.
Saya menemukan teori Dramaturgi ini sekembali dari masa al Khawarizmi. Sejak dicetuskan Goffman di pertengahan abad ke 20 Masehi, nyatanya banyak yang menggandrunginya. Atau setidaknya punya pola sama dalam mengejar ambisi jadi pemimpin. Dari mulai orang yang mau jadi presiden, menteri, komisaris BUMN, jadi rektor, sampai yang kepingin jadi Kepling.
Apa yang dipaparkan Goffman menjelaskan bahwa kalau ada yang menunjukkan kesan bahwa dirinya merakyat, peduli, cerdas, punya niat dan hati yang suci dan sejenis maka itu adalah lakon teaterikal di panggung kekuasaan. Karena di belakang panggung dia menyikut, menyuap, berjudi, bila perlu dia nangis-nangis bombay biar orang percaya.
Dua wajah ini saling berlindan sampai ketika mereka benar-benar menjadi seorang pemimpin. Begitulah, nyatanya tidak sedikit di antara orang-orang itu yang mendapatkan apa yang dikejarnya. Rupanya al Khawarizmi bukan satu-satunya referensi algoritma untuk menjadi pemimpin.
***
Algoritma adalah urutan barisan instruksi dan juga langkah-langkah yang logis dalam rangka penyelesaian suatu masalah yang tersusun berurutan dengan sistematika dan dengan cara logis. Dalam menghadapi suatu masalah misalnya, maka didekati dengan suatu model tertentu.
Dari model ini maka disusunlah algoritma, yang dalam bahasa komputer kemudian disebut dengan program. Dari algoritma ini kemudian dilakukan eksekusi-eksekusi sesuai urutan sebelum menghasilkan suatu solusi tertentu.
Adalah al Khawarizmi yang oleh lidah Barat disebut dengan Algorismi. Di antara karyanya yaitu Al Jabar yaitu cabang ilmu matematika untuk penyederhanaan dan pemecahan masalah menggunakan simbol mengganti konstanta dan juga variable. Lagi-lagi oleh lidah Barat, Al Jabar disebut Aritmatika.
Tapi dalam kelulasaan itu Sayyidina Abu Bakar ra, malah mengikat dirinya kepada publik, membatasi sendiri kekuasaannya. Beliau membuka diri untuk meluruskan tindakannya. Anda tahu sesuatu yang diluruskan itu? Kalau ia sudah kadung mengeras, maka akan patah. Dan itu pasti akan sakit sekali.
Maka tahulah saya mengapa pidato pelantikkan Sayyidina Abu Bakar ra itu dilafaskannya penuh seluruh. Karena ia dapatkan jabatan khalifah itu dengan algoritma-nya yang benar. Dia memulai dari nilai yang lurus, melalui proses yang lazim dan lurus, dia tidak menggunakan wajah panggung, karenanya tak perlu menyikut apalagi menyuap.
Algoritma ini ukuran. Siapapun pemimpin tidak akan sanggup mengucapkan sebagaimana Sayyidina Abu Bakar ra. Kalau nekat mereka akan pidato sambil hatinya serasa dicubit-cubit.(Vol.1-20/11/2020)
Posting Komentar