‘Syahwat’ Politik


‘Syahwat’ Politik




Penulis : Dedi Sahputra

Saya masih ingat kalimat yang bertahun-tahun lalu saya dengar ini; Semua pengalaman hidup, sepahit apapun itu, suatu saat akan terasa manis. Maka kita harusnya bersyukur tak habis-habisnya dilahirkan jadi bangsa Indonesia, orang Sumatera Utara. Betapa sedapnya digubernuri Syamsul Arifin, Rudolf Pardede, Almarhum Rizal Nurdin, Almarhum Raja Inal Siregar, terus sampai Krueng Raba Nasution yang lebih dikenal dengan Meester SM.Amin 

Betapa berbunga-bunganya hati kita dirakyati Bung Karno, Pak Harto, Pak Habibie, Gus Dur apalagi, Mbak Mega sampai sekarang Pak SBY. Masing-masing mereka telah memberi keunikan, keluarbiasaan juga kelemahannya yang mewah. 

Selain mereka, kita tak pernah kehabisan simpanan calon pemimpin. Sederet panjang nama lain bisa disebut; dari mulai Wiranto, Prabowo, Jusuf Kalla, Megawati, Hidayat Nur Wahid, Din Syamsuddin, Sri Sultan Hamengkubuwono X, Amien Rais sampai Deddy Mizwar si Jenderal Naga Bonar dan Anwar Fuadi dan lainnya. Bahkan Budi Anduk dan Tukul Arwana sekalipun. 

Di Sumatera Utara kita sama sekali tidak kekurangan stok. Ada Ali Umri, Abdul Wahab Dalimunthe, Chairuman Harahap, RE.Siahaan. Ada juga Gus Irawan Pasaribu, Herry W.Marzuki, HT.Milwan sampai Dharma Indra Siregar dan masih banyak lagi, you name it. Mereka semua aset yang sangat berharga. Kita harus hidup seribu tahun lagi untuk bisa terus mencicipi manisnya jadi rakyat jelata yang dipimpin orang-orang seperti mereka ini. 

Saksikanlah; saya mencintai mereka semua sebagai suatu entitas. Seburuk apapun yang pernah mereka lakukan, akan menjadi sumbangan bagi pengayaan jiwa-jiwa di dalam masyarakat kita. Apalagi jika sebuah kedalam pengabdian, keluhuran budipekerti dan ketulusan yang luar biasa yang menjadi dasar setiap perbuatan mereka. Maka adalah mutiara yang berkilau kemilau, hingga tidak ada alasan bagi kita untuk tidak merasa sedap.

***

Betapapun orang-orang bilang bahwa umumnya pemimpin itu sangat dominan ‘syahwat’ politiknya, ambisi kekuasaannya dan retorika politik hanyalah sebuah retorika semata. Sehingga mereka sering melakukan atau membiarkan saja cara-cara yang kurang terhormat oleh tim suksesnya.

Syahwat seperti ini tentu bukan seperti Yusuf yang digoda Zulaikha, istri Raja al-Aziz. Di sebuah kamar mereka hanya berdua, dan perempuan yang jelita itu menginginkannya, Yusuf pun adalah seorang lelaki perkasa, sangat perkasa. Dan dia bukan sama sekali tidak punya keinginan yang sama.

Tapi tidak. Dia tidak menyalurkan syahwatnya dengan cara-cara yang salah, maka Yusuf pun lari ke pintu dan Zulaikha menarik baju gamisnya hingga koyak di belakang. Sungguh, Yusuf lebih menyukai dijebloskan ke dalam penjara dan memadamkan syahwatnya yang telah dibuat menyala-nyala, karena apa yang ditawarkan kepadanya tidak sesuai dengan misi ubudiyahnya kepada Sang Pencipta. Menjadi manusia agung memang seperti itu, diwarnai pengorbanan sampai Tuhan Yang Maha Agung mengangkat derajatnya, setelah jalan panjang berliku, Yusuf akhirnya menemukan kembali kekasih hatinya, dia menikahi Zulaikha, dan melakukannya. Bukan saja dengan cara yang benar, tapi juga secara terpuji dan mulia.

’Syahwat’ politik itu mungkin lebih mirip Syahwat perang Westerling. Ketika Belanda harus hengkang dari tanah air, diapun harus memendam syahwatnya itu. Sampai ketika tentara sekutu masuk, dia dan pasukannya, Depot Speciale Troepen (unit pasukan khusus) ikut membonceng. ’Syahwatnya’ menemukan tempat berlabuh ketika dia untuk pertama kalinya, setelah diusir, mendarat di Polonia Medan dengan membawa banyak senjata.

Setelah membentuk pasukan di sini, seperti orang yang terpisah lama dengan sang kekasih, dia dengan sangat bersemangat terbang lagi ke Makassar. Di sini Westerling seperti menemukan ‘puncak kepuasannya’ dengan membantai 40.000 orang. Tidak sampai di situ, seperti belum merasa puas, dengan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) buatannya, sambil tersenyum, Kapten Raymond Paul Pierre Westerling membantai puluhan setiap pasukan TNI yang mereka temukan di jalanan di Jawa Barat.

***

Memiliki ’syahwat’ politik tentu suatu kelaziman bagi seorang manusia. Karena sebagai sebuah entitas, kita dibekali dengan sangat banyak sekali bakat dalam diri. Banyak juga cara yang bisa menjadi penyaluran untuk itu. Anda bisa jadi Capres, Cagub, Cawali, Cabub atau menjadi Caleg, atau sekedar menjadi tim sukses.

Yang jadi persoalan adalah bagaimana cara Anda menyalurkan hasrat tersebut. Apakah Anda memilih seperti halnya kisah Yusuf yang menurut Buya Hamka dalam tafsir Al Azhar-nya disebut ahsanal qashashi (sebaik-baik cerita atau jejak langkah yang indah). Atau mungkin Anda cukup merasa senang dengan cara instan, melampiaskan kapan ada kesempatan, seperti Westerling. 

Posting Komentar