Penulis : Oleh Dedi Sahputra
Apa itu dosa besar.....?
Kaum Khawarij berteriak lantang, ’’Kafir...! orang Mukmin yang berdosa besar tidak dapat dikatakan Mukmin lagi, mereka sudah kafir.’’ Maka tempat mereka adalah di neraka.
Tapi tidak begitu dengan kaum Murjiah, mereka juga berteriak tak kalah lantang, ’’Bukan kafir...! mereka memang orang-orang yang melakukan dosa besar, tapi bukan kafir.’’
Maka sekoyong-konyong muncullah Washil bin ‘Atha. Dia bahkan mengabaikan gurunya Hasan al-Basri, seorang ulama terkenal di Basra. Orang Mukmin yang melakukan dosa besar, katanya, berada pada posisi antara Mukmin dan kafir. Mereka bukan Mukmin bukan pula kafir. Dan karena di akhirat tidak ada tempat antara surga dan neraka, maka mereka dimasukkan ke dalam neraka, tetapi siksaan mereka lebih ringan daripada orang kafir.
Pendapat Washil inilah yang kemudian dikenal dengan doktrin Muktazilah, sebuah aliran teologi dalam Islam, yang populer itu; al-Manzilah baina al-Manzilatain (tempat di antara dua tempat). Washil kemudian ’menyempal’ dari Hasan al-Basri dan mendirikan alirannya sendiri (100 H/718 M). Muktazilah mencapai masa keemasan pada masa pemerintahan Abdullah Al-Makmun (198-218 H/813-841 M) yang menjadikan aliran ini sebagai faham resmi negara.
Dalil akal (‘aqliyyah), lebih filosofis dan mementingkan kebebasan adalah ciri utama mereka, sehingga sering juga disebut dengan aliran rasionalis Islam. Mereka pun menyebut Al Quran sebagai makhluk ciptaan Tuhan sehingga tidak qadim.
Meskipun penganut kebebasan, namun sejarah mencatat Muktazilah pernah melakukan al-minhah (inkuisisi), yaitu memaksakan pendapatnya bahwa al Quran adalah makhluk. Mereka yang menentang pendapat ini wajib dihukum.
***
Nuuun... lebih seribu tahun kemudian di Indonesia, gerakan kebebasan kembali dikampanyekan melalui dukungan Barat. Tokoh-tokohnya seperti Nurcholish Madjid, Gus Dur juga Harun Nasution. Harun memasarkan misi ”me-Muktazilah-kan” IAIN dan perguruan tinggi Islam. Mantan Rektor IAIN Jakarta ini memopulerkan tokoh-tokoh Islam liberal dengan sebutan pembaharu.
Dari segi kebebasan, kaum Muktazilah tentu memiliki kesamaan dengan orang-orang liberal. Mereka yang mengagungkan kebebasan berpikir ini terus ”bergerak”. Membentuk berbagai kelompok, salah satunya AKKBB. Melalui pentolannya; Dawam Rahardjo dan Musda Mulia, akhir Januari lalu menggugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait PP No.1/PNPS/1965 yang sudah diundangkan melalui UU No.5/1969 tentang larangan penistaan agama.
Kalau tuntutan mereka ”jebol” maka kelompok serupa Ahmadiyah, Lia Eden dan sejenisnya tidak boleh dihukum. Negara gak boleh ikut campur urusan keyakinan orang lain. Entah.., mungkin mereka berupaya membuka peluang seluas-luasnya untuk umat Islam bertindak anarkis. Sehingga dengan mudah mereka akan mengukuhkan stigma Islam fundamentalis, tekstualis dan sejenisnya. Pada akhirnya mereka akan mengatakan bahwa ajaran Islam selama ini perlu diinterpretasikan ulang karena hanya mengajarkan kekerasan. Nek coyo...
***
Percayakah Anda kalau UU No.5/1969 ini dicabut bakal banyak muncul nabi baru, malaikat-malaikat baru baik dari kalangan pria, wanita maupun waria? Tentu saja, bahkan yang mengaku-ngaku tuhan pun bakal gak kalah banyak. Dan menurut hukum, kita tidak boleh mencampurinya meskipun mereka terang-terangan menistakan agama yang kita muliakan.
Di semua agama, penistaan itu terjadi. Di Kristen ada aliran Children of God dan Jehovah Witnesses. Tahun 2004, sebuah kartun berjudul Jesus Dress Up ditampilkan sebuah website di Amerika. Kartun itu menggambarkan Jesus disalib dengan mengenakan celana pendek dan diberi piyama setan. Protes keras pun tak terbendung dari sekitar 25 ribu orang.
Umat Islam juga tak ”kering” mengalami penistaan dari yang terjadi di luar negeri sampai di dalam negeri. Kasus Salman Rushie, film Fitna-nya politisi Belanda Geert Wilders dan banyak lagi. Semuanya mengatasnamakan kebebasan berbicara dan kebebasan berekspresi. Kebablasan.
Mungkin mereka yang menuhankan kebebasan itu beranggapan bahwa hanya dengan kebebasan maka kebenaran itu bisa didekati. Karena kebebasan membuat orang mengalami proses pencarian kebenaran. Dalam kasus gugatan kaum AKKBB ke MK itu, sejatinya mereka menuntut kebebasan menista agama dan memaksa orang menerima kebebasan itu
Posting Komentar