Hajat Hati

Hajat Hati




Penulis : Dedi Sahputra

Mereka sungguh murah hati. Pandangan matanya, tutur katanya, gesture tubuhnya dan kata-kata yang meluncur dari mulutnya. Ada anak-anak, para gadis, para pemuda, kaum ibu dan bapak-bapak yang berkumpul menyambut kedatangan saya bersama tiga orang teman. Sungguh hati saya jadi ’berbunga-bunga’ karenanya.

Mereka adalah orang-orang yang masuk dalam kelompok masyarakat menengah ke bawah, atau lebih pas-nya adalah kelompok bawah. Ada yang berladang, penarik beca, buruh, penjaja kue dan berbagai bentuk pekerjaan kasar lainnya. Di kampung itu mereka hidup berkelompok, dalam suatu jamaah yang disebut; Ahmadiyah.

Mereka adalah orang yang hidup dalam pengakuannya pada kepemimpinan Mirza Ghulam Ahmad beserta ajaran-ajarannya. Selanjutnya saya tidak bermaksud mengupas tentang apa dan bagaimana ajaran kelompok yang telah dinyatakan sesat oleh MUI ini. Tapi satu hal yang pasti bahwa orang-orang sederhana yang saya jumpai hari itu adalah orang-orang yang juga berusaha mencari kebenaran.

Mereka hanya tahu bahwa ilmu agama yang mereka dapatkan dari orang tua, lingkungannya dan guru-guru mereka. Efek resonansi, di mana ikut bergetarnya suatu benda karena ada benda lain yang bergetar. Mereka beragama karena orang lain beragama—yang Anda boleh menyebutnya starting point—Suatu hal yang sesungguhnya jamak terjadi di lingkungan masyarakat kita.

Tapi dengan segala kerendahan hati saya ingin mengatakan bahwa kita kemudian harus punya perangkat di dalam diri untuk menilai sesuatu kebenaran. Seperti halnya untuk menilai suatu kekhilafan. Maka kalau kita salah tapi kita alpa untuk melengkapi software itu dalam diri, maka kita tidak pernah tahu kalau kita salah.

Tanpa itu kita bisa jadi ’nabi’ yang suka guyon seperti Ahmad Moshaddeq, atau menjadi ’Jibril’ sekaligus ’Imam Mahdi’ dan ’Maryam’ yang doyan makanan Padang dan nasi Rawon seperti Lia ’Eden’ Aminuddin. Kita juga bisa jadi eksekutor atau otak pembunuh Direktur PT.Putra Rajawali Banjaran, Almarhum Nasrudin Zulkarnaen, tanpa merasa bersalah atau menjadi George Bush yang memerintahkan membunuh ribuan orang Irak dan Afganistan dengan tetap merasa sebagai pahlawan.

***

Tapi hidup itu tidak pernah berjalan linier. Tidak pula melulu penuh pendakian atau seluruhnya penurunan tajam. Tidak ada juga manusia biasa yang sepenuhnya selalu benar ataupun selalu salah dalam hidupnya. Sistem keseimbangan yang dibuat Allah SWT adalah; akan selalu ada kebaikan dari ’rimbunan’ kesalahan dan akan ada selalu kesalahan dari ’tumpukan’ kebaikan.

Memang begitulah adanya, manusia tidak pernah mencapai kesempurnaan, mengenali kebenaran itu dalam kondisi kenisbian, dengan rangkaian kata-kata yang terbatas. Itulah sebabnya para sufi lebih suka bersyair, rangkaian kata yang melompati makna, untuk menggambarkan keindahan-keindahan yang ditemukannya.

Tapi itu tetap saja tidak cukup, tidak juga akan pernah kita melihat dengan utuh. Seperti dalam syair lagu Opick; Meski mungkin tak-kan sempurna...

Atau dalam kata-katanya Chairil Anwar; Susah sungguh, mengingatMu penuh seluruh

***

Karena ilmu Allah itu sangat luas hingga berkali-kali air samudra pun, kalau dijadikan tinta tidak cukup menuliskannya. Maka salam takzim bagi para ahli ilmu yang ’kecipratan’ ilmu Allah sehingga kedalaman dan keluasannya sangat sulit diukur. Maka jalan mencari kebenaran dan ilmu itu punya banyak pintu dan banyak penafsiran.

Kita tidak bisa berhenti pada kebenaran dan ilmu yang dianggap sudah mapan. Dan jangan menganggap salah setiap bentuk lain dari kebenaran dan ilmu yang kita fahami selama ini. Tentu saja ini bukan lantas membenarkan tafsiran Lia Aminuddin atau Moshaddeq, liberalisasi agama, faham feminisme ekstrim dan yang sejenisnya. Karena dalam Islam dikenal tajdid sebagai suatu mekanisme pembaruan.

Karena, sekali lagi, ada kebenaran dalam rimbunan kesalahan. Bahwa liberalisasi agama seperti halnya feminisme yang telah membentuk menjadi global theology yang menjadi pendukung utama faham-faham sejenis Lia dan Moshaddeq berakar dari sebuah kemarahan dan kebencian yang bahkan mengeliminasi software dalam diri yang sudah ada. 

Maka orang-orang yang menjadi tuan rumah saya itu sejatinya adalah kelompok orang yang muncul dari pergulatan besar yang terjadi. Karena sebenarnya hati dan jiwa-jiwa mereka juga punya hajat untuk menemukan ilmu dan kebenaran.


Posting Komentar