Utang Melambung Tinggi, Ciri Khas Demokrasi!

Utang Melambung Tinggi,  Ciri Khas Demokrasi!






Penulis : Widhy Lutfiah Marha

Utang luar negeri yang tadinya berada pada level di bawah seribuan triliun rupiah, kini sudah nyaris menyentuh Rp 6.000 triliun per Oktober 2020.Tidak heran jika belum lama ini Bank Dunia memasukkan Indonesia sebagai 10 besar negara berpendapatan rendah dan menengah yang memiliki utang luar negeri terbesar pada tahun lalu. 

Data yang dipublikasikan Bank Dunia dalam laporan "Statistik Utang Internasional (IDS)" pada Senin (12/10) itu menunjukkan Indonesia berada pada peringkat keenam pengutang terbesar. (republika. co. id,  27/12/2020)

Dari data di atas, menunjukkan mirisnya kondisi negeri kita yang kaya akan sumber daya alam ini. Hasil kekayaan alam yang melimpah ruah,  tetapi penguasa tidak menggunakannya untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya.  Mereka justru memberikan pada para kapital untuk mengelola dan menikmatinya.

Hal ini tercermin dalam UU PPA, UU Migas, UU SDA dan UU lainnya yang jelas menunjukkan keperpihakkannya pemerintah dan legislatif kepada para kapitalis. Alhasil dalam membangun negara rezim kapitalis selalu menjadikan utang sebagai solusi. Padahal, dampak peningkatan utang ini jelas akan menyebabkan beban berat pada generasi mendatang, sekaligus menjadi ancaman bagi kedaulatan negeri ini. 

Jika utang semakin tinggi,  jumlah kas negara yang tersedot untuk membayar cicilan utang dan bunganya juga semakin besar.  Akibatnya kapasitas APBN untuk pembangunan dan peningkatan kesejahteraan rakyat seperti militer, pendidikan,  dan kesehatan semakin terbatas.  Pemerintah tentu akan melakukan penekanan pengeluaran dan penambahan pemasukan,  atau dengan peningkatan pajak. 

Penekanan pengeluaran biasanya dilakukan dengan mengurangi subsidi rakyat. Sementara penambahan pemasukan dilakukan dengan menaikkan pajak.  Resiko lainnya,  dengan semakin besarnya ULN, maka pembayaran utang baik pembayaran pokok maupun bunganya juga semakin tinggi.   

Apalagi pada konferensi Tingkat Tinggi (KTT)  G-20 yang digelar secara virtual pada 21-22 November  2020 lalu, sejumlah negara telah sepakat untuk merelaksasi pembayaran utang negara miskin hingga pertengahan tahun 2021, yang seharusnya jatuh tempo pada akhir tahun 2020.

Selain itu,  ULN memiliki dampak yang berbahaya bagi kondisi moneter negara. Apabila utang jangka pendek jatuh tempo, pembay as rannya tidak menggunakan mata uang domestik melainkan terutama harus menggunakan dolar AS.  Padahal dolar AS termasuk hard currency. Negara pengutang tidak akan mampu melunasi utangnya dengan dolar AS karena langka.  Ataupun jika dipaksakan membeli dolar, maka dolar akan dibeli dengan harga yang sangat tinggi terhadap mata uang lokal.  Sehingga akhirnya akan membawa kemerosotan nilai mata uang lokal.  

Sedangkan utang jangka panjang, nilai utang semakin lama jumlahnya semakin menggila karena adanya transaksi ribawi di dalamnya.  Tentu hal ini akan melemahkan anggaran belanja negara pengutang dan membuatnya tidak mampu lagi melunasi utang-utangnya atau dengan kata lain gagal bayar utang.

Pada saat ini,  negara-negara kreditor akan dapat memaksakan kehendak dan kebijakkannya yang sangat merugikan kepada negara pengutang. Inilah yang terjadi p as da negara Zimbabwe,  Nigeria,  Srilanka,  Pakistan yang harus rela sektor vital seperti pelabuhan diakuisi oleh negara pemberi utang, hingga mengganti mata uang mereka dengan mata uang negara pemberi utang.  


Dengan kata lain,  utang yang diberikan oleh negara-negara kapitalis pada negeri-negeri berkembang pada hakikatnya adalah salah satu cara yang ditempuh untuh menjajah secara ekonomi negara-negara yang menerima utang tersebut.  Negara penerima utang akan dijadikan sapi perahan, yang diambil dan disedot segala harta dan kekayaan oleh negara-negara pemberi utang. 


Sementara penguasa tidak bisa berkutik,  sebab ini adalah konsekuensi penerapan demokrasi. Dimana rezim di negara-negara penghutang hanya berfungsi sebagai regulator dan fasilitator bagi para kapitalis.  Sebab sistem politik demokrasi yang berbiaya mahal, menjadikan para kapitalis berperan besar terhadap rezim dalam meraih kursi kekuasaannya. 


Kebijakan mempermudah masuknya utang pun, merupakan salah satu bentuk balas jasa dari penguasa, karena dukungan para kapitalis saat Pemilu.  Hal ini berbeda dengan Islam yang selalu menerapkan hukum-hukum syariat dalam semua aspek kehidupan, termasuk dalam sumber pendapatan negara. Khilafah jelas tidak akan mengambil utang luar negeri sebagai sumber pendapatan negara.


Di dalam negara khilafah Islam, Bayt al-Mal merupakan institusi khusus yang menangani harta yang diterima negara dan mengalokasikannya bagi kaum Muslim yang berhak menerimanya. Setiap harta, baik berupa tanah, bangunan, barang tambang, uang, maupun harta benda lainnya, yang kaum Muslim berhak memilikinya sesuai hukum Islam, maka harta tersebut adalah hak Bayt al-Mal kaum Muslim.


Sistem keuangan negara di dalam pengaturan Islam telah terbukti berhasil mewujudkan kemakmuran, kesejahteraan, dan keadilan bagi muslim dan non muslim selama beberapa abad. Pos-pos pendapatan dalam sistem keuangan Bayt al-Mal terdiri dari tiga pos pemasukan utama yang masing-masing rinciannya memiliki banyak ragam jenis pemasukan.


Pertama, bagian fayi dan kharaj. Fayi adalah salah satu bentuk pampasan perang, dan kharaj adalah retribusi atas tanah atau hasil produksi tanah dimana para pemilik tanah taklukan tersebut membayar kharaj ke negara Islam.


Kedua, bagian pemilikan umum. Kepemilikan umum adalah izin dari al-Shari‘ kepada jama‘ah (masyarakat) untuk secara bersama-sama memanfaatkan sesuatu. Kepemilikan umum meliputi segala sesuatu yang menjadi kebutuhan vital bagi masyarakat, segala sesuatu yang secara alami tidak bisa dimanfaatkan hanya oleh individu secara perorangan, dan barang tambang yang depositnya tidak terbatas, yaitu barang tambang yang jumlahnya sangat banyak.


Ketiga, bagian sadaqah. Bagian sadaqah terdiri dari zakat uang dan perdagangan, zakat pertanian dan buah-buahan, zakat ternak unta, sapi, dan kambing.

Kebijakan fiskal Bayt al-Mal akan membelanjakan anggarannya untuk investasi infrastruktur publik dan menciptakan kondisi yang kondusif agar masyarakat mau berinvestasi untuk hal-hal yang produktif. Pada zaman Rasulullah Saw, beliau membangun infrastruktur berupa sumur umum, pos, jalan raya, dan pasar. Pembangunan infrastruktur ini dilanjutkan oleh Khalifah ‘Umar bin Khattab ra. Beliau mendirikan dua kota dagang besar yaitu Basrah (sebagai pintu masuk perdagangan dengan Romawi) dan kota Kuffah (sebagai pintu masuk perdagangan dengan Persia).

Khalifah ‘Umar bin Khattab ra juga membangun kanal dari Fustat ke Laut Merah, sehingga orang yang membawa gandum ke Kairo tidak perlu lagi naik onta karena mereka bisa menyeberang dari Sinai langsung menuju Laut Merah. Khalifah ‘Umar bin Khattab ra juga menginstruksikan kepada gubernurnya di Mesir untuk membelanjakan minimal 1/3 dari pengeluarannya untuk infrastruktur.

Dengan skema ini pemerintah  menggunakan kekuasaannya untuk membuat fungsi pasar berjalan lancar dan stabil, yaitu dengan membuat berbagai infrastruktur yang berfungsi memperlancar kegiatan ekonomi. Negara juga  berorientasi pada kesejahteraan rakyat, memiliki kebijakan anggaran, menghargai hak milik masyarakat dan menghindari pungutan pajak yang memberatkan. Negara juga mengutamakan keadilan, pembangunan dan kemakmuran serta negara yang menjamin penerapan syariah  berfungsi sebagai instrumen pembangunan dan kesejahteraan masyarakat.

Sejarah gemilang juga diterapkan di masa Daulah Abbasiyah Harun Arrasyid.  Telah tersohor suasana negara di bawah kekuasaan khalifah Harun Arrasyid begitu aman dan damai.  Kesejahteraan rakyatnya begitu terasa, hingga sangat sulit mencari orang yang diberikan zakat,  infak dan sedekah.  APBN selalu surplus, hingga satu riwayat mengatakan khilafah pernah mengalami surplus sebesar 900 juta dinar. Jika hari ini dikonversi dengan harga emas 1 juta/gram, maka 900 juta dinar setara dengan Rp 3.825 triliun.  Bandingkan dengan APBN Indonesia 2020 sebesar Rp 2. 613, 8 triliun.  Masih besar surplusnya khilafah masa Harun Arrasyid.

Sungguh, apabila negeri ini membebaskan dirinya dari jeratan ekonomi kapitalis liberal, membuang solusi utang atas skema pembiayaan pembangunannya lalu beralih menggunakan sistem keuangan Islam Baitul Mal yang telah terbukti kuat dan stabil, maka negeri ini akan terbebas dari setiran asing pada menzalimi umat. 

Dikutip dari widhydotcom


Posting Komentar