Lagi-lagi Indonesia berduka, pada Sabtu, 9 Januari 2021 pesawat Sriwijaya Air dengan nomor penerbangan SJY-182, jurusan Jakarta-Pontianak hilang kontak pukul 14.40 WIB, empat menit setelah lepas landas dari bandara Soekarta-Hatta.
Pesawat yang mengangkut 62 orang itu menyisakan duka yang mendalam bagi kita semua. Karena tragedi tersebut selalu menelan korban seluruh penumpangnya. Hingga kini, pencarian masih terus dilakukan dan mulai membuahkan hasil. Berbagai barang bukti mulai dari serpihan pesawat, kabel, pecahan ban, tumpahan minyak, bagian tubuh, properti milik penumpang dan lainnya. Kotak hitam atau black box yang diduga milik pesawat rute Jakarta-Pontianak itu juga sudah ditemukan lokasinya.
Kita bersedih menyaksikan tragedi besar di awal tahun ini. Tapi kita juga geram kecelakaan pesawat terus berulang, semoga otoritas yang berwenang bisa terus memperbaiki keselamatan penerbangan kita. Jangan sampai ada lagi kecelakaan pesawat, jangan ada lagi korban, jangan ada keluarga yang ditinggalkan orang-orang terkasihnya gara-gara tragedi semacam ini.
Meskipun terluka, kita hanya bisa berdoa. Semoga para korban sudah tenang di sisiNya. Semoga keluarga yang ditinggalkan diberi ketabahan. Semoga sebagai bangsa kita belajar dari kecelakaan besar ini. Bukan hanya mengambil hikmah, tetapi juga mengambil langkah untuk introspeksi dan perbaikan-perbaikan ke depan. Investigasi harus dilakukan, yang bersalah harus ditemukan, jika ini bukan semata kecelakaan tapi ada unsur kelalaian.
Karena, telah banyak contoh ketidaktegasan pemerintah terhadap maskapai penerbangan, misalnya terkait masalah kompensasi kecelakaan pesawat Lion Air JT610 yang tidak kunjung selesai hingga terjadinya kecelakaan lain pada hari ini adalah salah satu contoh lemahnya kontrol pemerintah terhadap maskapai,” pungkasnya.
Kemudian, lanjut Suryadi, berlakunya UU No.11 tahun 2020 Cipta Kerja yang banyak menghapus pasal-pasal didalam UU No.1 tahun 2009 tentang Penerbangan, dimana salah satu contohnya adalah pengubahan Pasal 118 ayat 1 huruf f yang tadinya mewajibkan angkutan udara niaga untuk melaporkan kegiatan angkutan udara setiap bulan sekarang tidak lagi disebutkan secara pasti jangka waktunya, padahal untuk angkutan udara bukan niaga pada Pasal 118 ayat 3 huruf c jangka waktu pelaporan tidak diubah tetap setiap bulan.
Hal ini semakin menegaskan bahwa kontrol dan pengawasan pemerintah sangat lemah terhadap maskapai penerbangan.
Begitulah konsep transportasi dalam sistem kapitalis-sekular menganggap bahwa transportasi hanyalah produk industri yang dipergunakan untuk menghasilkan keuntungan materi sebanyak mungkin. Sehingga, tidak mengherankan jika keamanan serta kenyamanan dalam bertransportasi tidak dipedulikan lagi.
Transportasi menjadi aset yang diswastanisasi dan berfungsi bisnis, bukan lagi sebagai fungsi pelayanan publik oleh negara yang aman dan tidak mengancam nyawa warga negara. Dalam hal ini, negara hanya sebagai fasilitator dengan kacamata komersial, bukan pengendali utama.
Sistem Transportasi dalam Islam
Berbeda dengan kapitalime, Islam memiliki prinsip bahwa pembangunan infrastruktur adalah tanggung jawab utama negara, bukan diserahkan kepada swasta. Mindset negara Islam dalam menyediakan layanan transportasi yang aman dan terjangkau oleh warga negaranya adalah pelayanan negara yang sepenuh hati.
Ketika kepemimpinan Khalifah Umar bin al Khaththab ra. tatkala beliau menjadi kepala negara, beliau pernah berujar, “Seandainya, ada seekor keledai terperosok di Kota Bagdad karena jalan rusak, aku khawatir Allah SWT akan meminta pertanggungjawaban diriku di akhirat nanti.”
Kebijakan transportasi yang aman dan nyaman dalam sistem Islam berlangsung hingga abad ke-19 Khilafah Utsmaniyah.
Adanya pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mutakhir dalam membangun sarana dan prasarana transportasi. Contohnya untuk transportasi udara. Ilmuwan muslim seperti Abbas Ibnu Firnas dari Spanyol melakukan serangkaian percobaan untuk terbang, seribu tahun lebih awal dari Wright bersaudara, sampai sejarawan Phillip K. Hitti menulis dalam History of the Arab, “Ibn Firnas was the First man in history to make a scientific attempt at flying.”
Selain itu, kaum muslimin telah menggunakan jenis kuda dan unta untuk menempuh perjalanan, untuk dilaut mereka juga banyak mengembangkan teknologi kapal. Tipe kapal yang ada mulai dari perahu cadik kecil hingga kapal dagang berkapasitas di atas 1.000 ton dan kapal perang untuk 1.500 orang.
Pada abad 10 M, al-Muqaddasi mendaftar nama beberapa lusin kapal, ditambah dengan jenis-jenis yang digunakan pada abad-abad sesudahnya. Pada abad 19 Khilafah Utsmaniyah masih konsisten mengembangkan infrastruktur transportasi ini. Saat kereta api ditemukan di Jerman, segera ada keputusan Khalifah untuk membangun jalur kereta api dengan tujuan utama memperlancar perjalanan haji (sumut.antaranews.com, 3/7/2019).
Berdasarkan pemaparan di atas, tampak bahwa dalam logika kapitalisme keselamatan jiwa bisa dinomorduakan demi kepentingan ekonomi dan pihak investor. Kapitalisme-sekularisme lebih mementingkan keuntungan yang nantinya akan didapatkan tanpa peduli berapa banyak jiwa yang akan dikorbankan. Sungguh kejam.
Berbeda halnya dengan Islam yang begitu memberi penghargaan terhadap jiwa melebihi nilai bumi dan seisinya. Satu nyawa yang hilang sangat berharga.
Jadi, saatnya mengembalikan kejayaan Islam dalam naungan khilafah yang akan menerapkan syariat-Nya di seluruh lini kehidupan dan mencampakkan kapitalisme-sekularisme yang telah terbukti gagal mengurus dan menjaga umat.
Posting Komentar